Wednesday, August 27, 2025

Hari Ini, 32 Tahun yang Lalu

 


UNIVERSITAS Indonesia (UI) dulu benar-benar kawah candradimuka cendekia. Seleksi masuknya sangat kompetitif, membuat orang yang biasa-biasa saja, yang Nilai Ebtanas Murni (NEM)nya di bawah rata-rata, seperti saya, ibarat pungguk merindukan bulan kalau berkhayal kuliah di UI.

Ketika mendaftar untuk menjadi peserta Ujian Masuk Perguruan Tinggi Negeri (UMPTN) 1987, saya bahkan sempat ditolak oleh panitianya lantaran nilai NEM saya yang di bawah standar. Padahal tahun 1986 saya diterima di Jurusan Pendidikan Sejarah Fakultas Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial (FPIPS) Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan (IKIP) Negeri Jakarta (sekarang bernama Universitas Negeri Jakarta/UNJ) juga melalui jalur Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru atau Sipenmaru (sampai 1986 masih bernama Sipenmaru, sedangkan tahun berikutnya dinamai UMPTN). Saya tunjukkan kartu mahasiswa IKIP Jakarta saya dan menggugat panitia UMPTN 1987 yang menolak saya, bahwa saya nyatanya bisa ikut Sipenmaru 1986 dan diterima di perguruan tinggi negeri (PTN) pula.

Hebohlah para anggota panitia UMPTN 1987 yang pendaftaran area Jakartanya di SMA Negeri 68, Jl. Salemba Raya No. 18, Jakarta Pusat, itu. Mereka berunding dan memutuskan bahwa saya merupakan “kasus khusus” yang akhirnya diperbolehkan mendaftar kepesertaan UMPTN 1987.

Singkat cerita, saya lolos UMPTN 1987, diterima di pilihan pertama saya, Jurusan Sejarah Fakultas Sastra Universitas Indonesia (FSUI; tahun 2002 berganti nama menjadi Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya UI/FIBUI). Karena saya mahasiswa biasa-biasa saja, dengan tingkat intelektualitas rata-rata, masa kuliah saya di UI selama 12 semester (enam tahun) berlangsung seperti “merangkak di jalan berbatu yang tajam”. Berdarah-darah! Saya dua kali terancam dropout (DO) karena Indeks Prestasi Kumulatif (IPK) saya di Semester I (1,71) dan III (1,72) di bawah rata-rata (1,75), sehingga di Semester II dan IV saya merelakan waktu luang saya untuk belajar dan belajar. Untungnya, saya didampingi beberapa sahabat yang tidak bosan menyemangati saya.

Momok paling menakutkan bagi mahasiswa FSUI saat itu adalah Ujian Komprehensif (populer disebut “kompre” saja), yaitu ujian lisan seluruh matakuliah jurusan. Tidak sedikit teman-teman saya dari berbagai jurusan dan angkatan di FSUI yang bertumbangan saat menghadapi kompre. Jika tiga kali gagal kompre, mahasiswa masih diberi kesempatan satu kali lagi lewat presentasi makalah. Bila kali keempat gagal juga, si mahasiswa terpaksa harus dropout.

Nah, yang meruntuhkan mental saya adalah kenyataan bahwa beberapa teman saya yang pintar-pintar justru berguguran saat kompre, dan harus dropout. “Lha, bagaimana dengan saya yang ‘kecerdasannya di bawah rata-rata’ ini bila yang sangat pintar saja gagal?!” pikir saya.

Satu-satunya jalan, ya memperkuat ibadah saya kepada Tuhan Yang Maha Kuasa, di samping belajar sungguh-sungguh di bawah bimbingan dari dua sahabat saya yang sudah lolos lubang jarum kompre. Mereka menggembleng saya, yang hanya mempunyai waktu dua minggu untuk menuntaskan 57 bacaan wajib kompre. Meski melelahkan dan membuat saya stres, tetapi saya pantang menyerah, karena bayangan di benak saya betapa kecewanya orang tua saya bila tidak jadi menyaksikan saya diwisuda sarjana.

Alhasil, meski nilainya tergolong minim, saya berhasil lulus kompre pada kesempatan pertama. Salah satu dosen penguji, Pak Soetopo Soetanto (alm.) melihat bahwa saya telah menangis saat menunggu hasil pengujian saya di luar ruangan kompre. Saya menangis karena saya merasa tidak maksimal dalam menjawab pertanyaan-pertanyaan para dosen penguji yang mencecar saya. Hari itu, 11 November 1992, menjadi hari yang takkan pernah saya lupakan.

Setelah kompre, saya beristirahat sebulan untuk meredakan ketegangan mental akibat ujian lisan itu. Januari 1993, saya mulai menyusun skripsi saya, di bawah bimbingan Kolonel Inf. Drs. Saleh A. Djamhari (alm.). Skripsi saya bertema sejarah militer sehingga pembimbingnya pun seorang perwira TNI Angkatan Darat yang sehari-harinya berdinas di Pusat Sejarah (Pusjarah) ABRI (kini TNI) sebagai Kepala Dinas Penelitian dan Penulisan (Kadislitsan), yang bangunan kantornya bersebelahan dengan Museum Satria Mandala di Jl. Gatot Subroto, Jakarta Selatan. Sebagian besar momen bimbingan skripsi saya berlangsung di Pusjarah ABRI.

Penyusunan skripsi saya relatif mulus, terutama karena pengumpulan dan penelitian bahan-bahannya telah saya lakukan dua tahun sebelumnya. Untuk itu, saya harus blusukan ke Purwokerto dan Yogya, karena topik skripsi saya adalah tentang aksi-aksi gerilya dan anti gerilya di Jawa Tengah bagian barat selama Agresi Militer Belanda II (1948-1949).

Skripsi saya disidangkan pada 7 Juli 1993 dan saya dinyatakan lulus dengan nilai B. Saya bisa saja mendapat nilai A, tetapi ada pernyataan di dalam skripsi saya bahwa Letnan Kolonel Soeharto (kelak menjadi Presiden RI) terlibat dalam PKI Musso, sedangkan saat saya sidang skripsi masih di era Orde Baru, dan salah satu penguji juga berstatus pengajar di Lembaga Ketahanan Nasional (Lemhannas). Si penguji memberi saya peringatan keras agar pernyataan itu, yang berdasarkan wawancara saya dengan mantan komandan pasukan Siliwangi yang hijrah dari Jawa Barat ke Yogyakarta pasca Perjanjian Renville 17 Januari 1948, dihapus saat perbaikan skripsi.

Saya benar-benar lega pada 7 Juli 1993 itu, karena saya utamanya telah memenuhi harapan orang tua saya—yang telah pontang panting dalam usaha mereka untuk membiayai kuliah saya, dan bahwa khayalan saya mengenai kebanggaan orang tua saya saat menyaksikan saya diwisuda sarjana di Balairung UI Depok akan menjadi kenyataan.©2025


Pondok Cabe, Tangerang Selatan, 28 Agustus 2025

No comments: