Wednesday, May 29, 2024

Menyebarluaskan Kebudayaan yang Di-enterprise-kan di Jawa Barat

KEBUDAYAAN tidak hanya mencakup seni atau kesenian. Dalam bahasa Indonesia, kata “budaya” berasal dari bahasa Sanskerta “buddhayah”, yang merupakan bentuk jamak dari kata “budhi” yang berarti “budi” atau “akal”. Ada pula dikatakan bahwa asal kata “budaya” adalah “budhi” (akal) dan “daya” (kekuatan); jadi “budaya” adalah perwujudan dari kekuatan akal manusia dalam segala bidang, tidak terbatas pada kesenian saja.

Budaya merupakan suatu pola hidup menyeluruh. Budaya bersifat kompleks, abstrak, dan luas. Banyak aspek budaya turut menentukan perilaku komunikatif. Unsur-unsur sosial-budaya ini tersebar dan meliputi banyak kegiatan sosial manusia.

Kebudayaan merupakan keseluruhan yang kompleks, yang di dalamnya terkandung pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, hukum, adat istiadat, dan kemampuan-kemampuan lain yang didapat seseorang sebagai anggota masyarakat. Di ranah Subud, kebudayaan mendapatkan nilai atau isi yang berbeda daripada kebudayaan pada umumnya, karena anggota Subud melahirkan kebudayaan sebagai “gerak hidup yang tertuntun oleh Latihan Kejiwaan”.

“Jadi, terang bahwa kabudayan dan kabudayaan itu hakikatnya adalah sesuatu daya, daya kekuatan hidup yang lahir, yang menampakkan, tapi asal dari jiwanya... Kita supaya dapat menunjukkan kabudayan asli yang kabudayan dari jiwa, sehingga pertunjukan itu bukan hanya menarik hati para penonton, tetapi menjadikan sehingga penonton itu insaf tentang hidupnya. Ini. Insaf tentang hidupnya. Jadi, walaupun melihat saja, walaupun mendengar saja, tapi dapat merubah kesalahan-kesalahan atau tindakan-tindakan yang salah yang dilakukan menjadi baik. Inilah kebudayaan.” (Bapak, 71 TJD 8)

Atas dasar semua inilah, SICA Indonesia meluncurkan komunitas-komunitas yang kegiatan-kegiatan para anggotanya mencakup bukan saja laku kesenian, tetapi juga yang “umumnya tidak dipandang sebagai laku budaya”, seperti memasak, kajian sejarah dan politik, penyayang hewan, traveling, dan pelestarian lingkungan hidup. Melalui komunitas-komunitas ini, para anggota Subud Indonesia dapat menemukan dan/atau menyalurkan bakat masing-masing melalui laku budaya sebagai gerak hidup yang tertuntun Latihan Kejiwaan.

Pada satu titik dalam proses penemuan tersebut, anggota dapat saja meng-enterprise-kan kebakatannya untuk kemaslahatan masyarakat luas. Inilah yang menjadi alasan utama mengapa di Subud Indonesia, lembaga SICA bergandengan tangan dengan SES.

Pengurus SICA dan SES Indonesia baru-baru ini melakukan kunjungan ke Bandung, ibukota Provinsi Jawa Barat, dan kota tetangganya, Cimahi, sekaligus menghadiri Musyawarah Wilayah yang diselenggarakan Komisariat Wilayah IV Subud Jawa Barat. Berangkat dari Wisma Subud Cilandak pada siang hari, 24 Mei 2024, enam anggota pengurus SES-SICA Indonesia serta satu pembantu pelatih menempuh perjalanan bermobil selama sekitar tiga setengah jam.




Pertama, kami mendatangi Cabang Bandung Selatan, yang hanya dihadiri oleh empat anggota dan satu pembantu pelatih (dari sekitar 30 anggota cabang tersebut), karena anggota-anggota lainnya sedang bersiap-siap untuk menghadiri Muswil Komwil IV Jawa Barat keesokan harinya. Bagaimanapun, kelima anggota cabang tersebut menunjukkan minat yang sangat besar dan kuat atas apa yang kami tawarkan—terutama karena mereka baru paham mengenai “kebudayaan Subud” yang bukan sekadar kesenian belaka. Satu anggota Cabang Bandung Selatan menyatakan kesediaannya untuk menjadi perwakilan SES-SICA di cabangnya, yang akan meneruskan penyebarluasan program komunitas SICA.

 


Meninggalkan Cabang Bandung Selatan pada tengah malam, kami selanjutnya mengunjungi Kelompok Cilengkrang di Bandung Timur. Kelompok ini memang terbiasa melakukan Latihan tengah malam, sehingga kedatangan kami disambut secara luar biasa. Dalam gathering yang digelar pasca Latihan bersama dan makan (tengah) malam, kedua ketua SES-SICA mempresentasikan program-program pemberdayaan dan keberdayaan anggota dalam kebudayaan maupun enterprise. Kelompok Cilengkrang juga menyambut baik tawaran SES-SICA Indonesia.

 



Setelah gathering semalam suntuk di Cilengkrang, dan menyisakan waktu tidur yang relatif singkat, yang ajaibnya tidak membuat kami lelah dan mengantuk, kami meluncur ke sebuah hotel resort di sebelah utara Bandung, dimana Muswil Komwil IV Jawa Barat diselenggarakan selama dua hari (25-26 Mei). Kedua ketua SES-SICA Indonesia masing-masing mendapatkan slot waktu di hari kedua untuk mempresentasikan program “kebudayaan yang di-enterprise-kan” berbasis komunitas, masing-masing selama sepuluh menit.

 


Meninggalkan lokasi Muswil Komwil IV Jawa Barat pasca penutupan acara, kami, para pengurus SES-SICA Indonesia pergi menuju Cabang Cimahi. Cimahi adalah sebuah kota yang terkurung daratan yang berlokasi sebelah barat kota Bandung yang lebih luas, dan termasuk kawasan Bandung Raya. Kami disambut oleh ketua cabang, tiga anggota (yang datangnya bergantian), dan satu pembantu pelatih. Sedikitnya anggota cabang yang hadir dikarenakan sebagian besar anggota cabang baru saja menghadiri Muswil seperti halnya kami.

 


Selama ini, di Cabang Cimahi tidak ada perwakilan SICA, karena mereka memiliki anggapan yang keliru, bahwa kebudayaan merupakan suatu kegiatan berbiaya besar lantaran mereka menganggap kebudayaan hanya kesenian belaka, yang menuntut mereka harus membentuk kelompok tari, musik atau paduan suara. Setelah mendapatkan penjelasan mendetail dari kedua ketua SES-SICA Indonesia, Cabang Cimahi baru bangkit kesadaran sekaligus semangatnya untuk melaksanakan program “Kebudayaan yang Di-enterprise-kan” berbasis komunitas. “Ini hal baru buat kami, dan benar-benar menarik!” komentar pembantu pelatih cabang tersebut.

 



Cimahi menjadi tujuan akhir kami, dan setelah Latihan bersama serta makan malam, pada pukul 21.00 kami berpamitan untuk pulang ke Jakarta, dan berjanji akan kembali lagi setelah grup tersebut melaksanakan program dari SES-SICA Indonesia.

Direncanakan dalam waktu dekat ini, menyambut peringatan ulang tahun ke-123 Bapak, para anggota pengurus SES-SICA Indonesia akan berkeliling Jawa Tengah, Daerah Istimewa Yogyakarta, dan Jawa Timur, untuk menyebarluaskan gagasan “Kebudayaan yang Di-enterprise-kan” ke 14 cabang yang ada di Komisariat Wilayah V dan VI.©2024

 

Pondok Cabe, Tangerang Selatan, 30 Mei 2024

Wednesday, May 22, 2024

Kembar Rasa

Zaman dahulu

Kita pernah bertemu

Pernah menjadi satu

Pernah bercumbu

Berpadu merasakan rindu

 

Ku tak mengira

Satu jiwa membelah dua

Ku tak menyangka

Meski baru berjumpa

Saling mencinta kita bisa

 

Kembar rasa tak berlalu

Berasal dari suatu waktu

Di kala dahulu kita memadu janji

Tetap terpatri di hati

Kita mengulang yang telah jadi

Sejalan bakti kepada Ilahi...

 


Pondok Cabe, Tangerang Selatan, 23 Mei 2024 

Thursday, May 16, 2024

Nilai Pelajaran Sekolah Bukan Jaminan Masa Depan Cerah

PADA 17 Mei 2024 malam, saya mengomentari status Facebook seorang saudara Subud dengan kisah masa lalu saya yang cukup menggelikan—yang tiba-tiba terlintas di ingatan saya saat saya ingin mengomentari postingannya.

Saya mengikuti Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru (Sipenmaru) pada tahun 1986, lalu tahun berikutnya saya ikut Ujian Masuk Perguruan Tinggi Negeri (UMPTN).

Saya lolos Sipenmaru 1986 dan diterima di Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan (IKIP; kini Universitas Negeri Jakarta/UNJ) Negeri Jakarta di Jurusan Pendidikan Sejarah, Fakultas Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial (FPIPS).

Tahun berikutnya, saat mendaftar untuk UMPTN, yang tempat pendaftarannya berlokasi di SMA Negeri 68 Jakarta Pusat, saya sempat ditolak panitianya karena kata dia percuma saya ikut UMPTN, lantaran Nilai Ebtanas Murni (NEM) saya di bawah rata-rata, sehingga menurutnya tidak mungkin saya bisa diterima di perguruan tinggi negeri (PTN).

Sambil mencibiri si panitia, saya tunjukkan kartu mahasiswa IKIP Jakarta saya sebagai bukti bahwa saya sudah diterima di PTN tahun sebelumnya meskipun NEM saya jeblok. Si panitia UMPTN heran dan berucap, “Lah, kok bisa?” Dia akhirnya mengizinkan saya mendaftar untuk menjadi peserta UMPTN.

Nyatanya, saya lolos dan diterima di Jurusan Sejarah, Fakultas Sastra (FS; sejak tahun 2002 menjadi Fakultas Ilmu pengetahuan Budaya/FIB) Universitas Indonesia.

Moral of the Story: Usaha tidak mengkhianati hasil. Jangan biarkan nilai pelajaran sekolah menghalangi usaha Anda.©2024

 

Pondok Cabe, Tangerang Selatan, 17 Mei 2024

Tuesday, May 14, 2024

Catatan Dari Voice Call Dengan Pembantu Pelatih Subud Surakarta

BERIKUT catatan yang saya buat dari hasil obrolan saya dengan Pak Rochgianto, sesepuh Subud Cabang Surakarta, Jawa Tengah, melalui WhatsApp Voice Call pada 14 Mei 2024:

  • Kebudayaan yang mati adalah kesenian apa saja yang tidak berubah-ubah, mandek di situ saja. Subud menghasilkan kebudayaan yang hidup, yaitu kebudayaan yang terbimbing Latihan Kejiwaan, yang senantiasa berubah, berwarna-warni dan tidak hanya kesenian saja keluarannya.
  • Falsafah Obah Nalika Panembah, bergerak dalam melakukan apa pun selalu ingat/menyembah Tuhan. Itu cara hidupnya orang Subud.
  • Latihan jam tiga dini hari lebih baik daripada waktu-waktu lainnya karena, menurut YM Bapak (disampaikan melalui Pak Darto), pada jam itu banyak orang sudah tidur, sehingga kita Latihan tidak menyerap daya-daya dari pikiran banyak orang yang masih melek seperti halnya pada jam-jam yang masih “sore”.
  • Pak Rochgianto: Kita Latihan itu “menciptakan berserah diri” (berusaha) atau “masuk ke dalam keadaan berserah diri”? Arifin: Masuk/terserap ke dalam keadaan berserah diri. Pak Rochgianto: Itu yang benar. Seperti halnya salat, kita tidak berusaha khusyuk, tapi terserap ke dalam kekhusyukan. Hanya orang yang sudah menerima Latihan yang bisa melakukan itu.
  • Jangan sering-sering testing, apalagi untuk menentukan apakah sesuatu atau seseorang baik atau tidak baik. Pak Rochgianto sejalan dengan para pembantu pelatih sepuh Surabaya yang jarang testing. Membiasakan diri untuk merasakan diri pada saat melakukan kegiatan adalah jauh lebih utama, karena dengan begitu kita dilatih untuk me-niteni dan mengenali daya-daya apa yang mempengaruhi diri kita.
  • Latihan tidak bisa dipaksakan pertumbuhannya, karena itu wilayahnya Tuhan. Bila seseorang Latihannya masih di daya benda atau nabati misalnya, dia tidak bisa dipaksa dengan cara apa pun untuk ke daya jasmani atau rohani. Pemaksaan adalah caranya akal dan pikiran. (Studi kasus: Simulasi Latihan dalam program “Siapa Aku?” dari SICA Indonesia.)
  • Bukan tugas pembantu pelatih untuk mengarahkan anggota; itu adalah pekerjaan Tuhan. Pembantu pelatih hanya mendampingi anggota untuk bisa menerima sendiri--dan hanya kalau si pembantu pelatih benar-benar sabar, tawakal, dan ikhlas.©2024


Thursday, May 9, 2024

Pembaruan

PAGI ini, 10 Mei 2024, saya merenungkan kata “perbaikan”. Kata itu sebenarnya menyesatkan, pada kandungan kata “baik”-nya, yang merupakan sebuah nilai budaya, bukan sejatinya manusia atau sesuatu yg alamiah, “dari sononya”. Seolah dengan memperbaiki diri kita akan menjadi baik. Saya googling asal usul kata “repair” (Ind., perbaikan), ternyata berasal dari kata Latin “reparo” (= pembaruan).

Proses kita yang terbimbing Latihan akan memperbarui diri kita, luar-dalam, alih-alih memperbaiki untuk menjadi baik (secara nilai budaya), karena yang dari Tuhan sudah benar, meski yang tampak oleh mata lahir kita atau akal pikir kita “buruk”.©2024

 

Jl. Ikan Mungsing VI A, Perak Barat, Surabaya, 10 Mei 2024

Sunday, May 5, 2024

Dokter-Dokter yang Tidak Biasa

BEBERAPA kali saya mengikuti testing dari Ibu Rahayu ada pertanyaan “Bagaimana jika saudara menjadi dokter?”

Saya tidak pernah menerima apa pun terkait hal itu, sehingga selama testing di pertanyaan itu saya hanya berdiri memandangi tingkah saudara-saudara Subud yang bukan dokter tapi gerak-geriknya menggambarkan pekerjaan seorang dokter sebagaimana biasanya: Memeriksa dengan stetoskop dan/atau menyuntik.

Lama-kelamaan, karena setiap kali testing dengan pertanyaan “Bagaimana jika saudara menjadi dokter?” dan ekspresi fisik para anggota selalu sama (memeriksa dengan stetoskop dan/atau menyuntik), saya menyimpulkan bahwa mereka sejatinya terpengaruh oleh persepsi mengenai pekerjaan dokter yang biasa, dan tidak bergerak karena bimbingan jiwa.

Mengapa saya menyimpulkan begitu? Karena saya tahu benar para dokter yang telah menerima Latihan Kejiwaan tidak lagi “biasa-biasa saja”. Mereka menjadi dokter yang luar biasa dengan cara penanganan pasien yang berbeda daripada umumnya, yang bahkan mungkin tidak diajarkan di fakultas kedokteran.

Saya mengenal sejumlah anggota Subud Indonesia yang berprofesi dokter. Di cabang asal saya, Surabaya di Jawa Timur, saja pernah ada delapan anggota yang berprofesi dokter—dokter umum maupun spesialis. Masing-masing menceritakan pengalaman kejiwaan mereka saat menangani pasien, dan tidak ada satupun dari pengalaman itu melibatkan gerakan memeriksa dengan stetoskop dan/atau menyuntik.

Saya saksikan dengan tercengang bagaimana seorang dokter, yang datang ke hall untuk Latihan, didekati satu anggota yang ingin berkonsultasi. Si anggota menceritakan keluhannya perihal keadaan tidak enak di anggota tubuhnya. Mata si dokter bergerak seperti sedang melarik tubuh si anggota, tak sekalipun menyentuhnya, dan kemudian berkata bahwa si anggota menderita sakit ini dan itu. Tanpa dibarengi menulis resep si dokter Subud mengeluarkan satu strip pil dari saku kemejanya dan memberikannya kepada si anggota. “Minum satu setelah makan, kamu akan cepat sembuh. Serahkan pada Tuhan,” kata si dokter. Beberapa hari kemudian, saat muncul di hall si anggota sudah sembuh!

Ada dokter muda, ketika sedang menjalani magang di ruang instalasi gawat darurat (IGD) sebuah rumah sakit umum daerah, sempat panik karena datang pasien yang sudah di ambang kematian karena kasus keracunan. Dokter utama sedang tidak ada, sementara si dokter magang tidak tahu dan tidak berani mengambil tindakan medis apapun karena akan menyalahi prosedur. Dia akhirnya duduk di samping tubuh pasien yang terbujur tidak bergerak di ranjang, menggenggam tangan si pasien dan si dokter magang yang juga anggota Subud, memasrahkan diri. Dia merasakan vibrasi Latihan meliputi dirinya, dan tiba-tiba si pasien terbangun. Tidak jadi mati.

Seorang dokter umum berusia muda menyambut satu pasien yang memasuki ruang praktiknya. Sejak si pasien membuka pintu, si dokter mendapat pemberitahuan dari dalamnya bahwa si pasien menderita stres klinis yang penyebabnya tidak diketahui. Jiwa si dokter membocorkan resep obat rahasia: Ajak si pasien mengobrol. Itu dilakukannya dan setelah beberapa belas menit, si pasien berkata, “Dok, saya rasa saya sudah sembuh.”

Para dokter Subud memang tidak biasa. Mereka tidak selalu memeriksa dengan stetoskop dan/atau menyuntik seperti yang selalu diekspresikan anggota bukan dokter dalam testing kejiwaan dari Ibu Rahayu.©2024

 

Pondok Cabe, Tangerang Selatan, 6 Mei 2024

Itu Masalah Mereka, Bukan Masalahmu

KEMARIN siang, ketika para anggota pria baru memasuki hall untuk Latihan bersama dan saya nongkrong saja di teras timur Hall Subud Cilandak, datanglah satu anggota yang sedang “tidak berkenan” dengan saya. Sebut saja namanya Mukidi. Dia melihat saya tapi menghentikan langkahnya sekitar lima meter dari tempat saya duduk, dan mengobrol dengan anggota lainnya di depan bangku kayu sebelah toilet wanita.

Saya merasakan Mukidi enggan bertemu saya tapi saya didorong oleh jiwa saya untuk tetap bersikap baik ke dia, seolah tidak ada apa-apa. Saya baru-baru ini terkesan oleh sebuah quote, “Jika orang-orang tidak suka padamu, itu masalah mereka, bukan masalahmu.”

“Buktikan Subudmu!” kata jiwa saya. Maka ketika Mukidi jalan ke pintu hall saya sapa dia, saya dekati, saya ucapkan maaf lahir dan batin dan peluk dia. Kami mengobrol sejenak, tentang mengapa saya belakangan tidak Latihan.

Sore, saya bertemu, sebut saja, Mukado, di Rumah Wing Bodies, kompleks Wisma Subud Cilandak No. 22C. Dia datang agak telat dan sejak masuk ke ruang acara Peluncuran Komunitas-Komunitas SICA (Subud International Cultural Association) Indonesia, walaupun melihat saya, duduk agak di sebelah saya dan kemudian pindah ke kursi di depan saya, dia tidak mau menyapa, bahkan membuang muka. Dia pun sedang “tidak berkenan” dengan saya. Selesai acara pun dia langsung kabur. Saya hanya mengiringi langkah Mukado dengan senyum.

Ya, begitulah kehidupan. Baik-buruk, orang maupun peristiwa, silih berganti atau datang bersamaan. Kita cukup berserah diri dengan sabar, tawakal, dan ikhlas.©2024

 

Pondok Cabe, Tangerang Selatan, 6 Mei 2024

Thursday, May 2, 2024

Latihan Untuk Tidak Latihan

MALAM ke-27 Ramadan yang jatuh pada hari Sabtu, 6 April 2024, menandai satu episode mengejutkan dalam kehidupan Subud saya. Pada Latihan bersama di Hall Cilandak malam itu, sekitar pukul 22.30, saya menerima bahwa saya untuk sementara tidak boleh Latihan di hall manapun.

Terkejut dengan penerimaan tersebut, saya menghentikan sejenak Latihan saya saat itu dan kemudian mengulanginya. Lagi-lagi, saya menerima hal yang sama: Saya tidak boleh Latihan di hall manapun untuk sementara waktu.

Setibanya di rumah, selewat jam satu dini hari, 7 April 2024, saya mengirim pesan WhatsApp kepada dua pembantu pelatih Subud Cabang Surabaya yang dahulu melayani saya selama ngandidat hingga dibuka, yaitu Pak Rahardjo Basuki Soejanto Luwiharjo dan Mas Heru Iman Sayudi. Dalam jawaban beliau (pukul 02.51 WIB), Pak Yanto menulis: “Itulah aplikasi Latihan apa yang dikatakan sebaiknya duapuluh empat jam dalam salah satunya ceramah Bapak. Tapi harus waspada jangan sampai yang dinamakan krisis.”

Mas Heru menjawab pada pukul 03.38 WIB: “Iya, aku nangkep isinya. Yang penting tidak terikat dengan yang mengikat supaya bisa tumbuh dan dikenali bedanya secara ruang dan waktu sehingga mudah untuk segera bisa di-titeni karena memang jiwa tumbuh terus dan tidak bergantung raga.”

(Kelak, dalam pembicaraan per telepon, Mas Heru mengatakan bahwa Latihan saya kebanteran. Meskipun saya Latihan hanya dua-tiga kali seminggu, yang masih seturut dosis yang dianjurkan Bapak, menurutnya satu kali Latihan saya sangat kuat, sehingga harus dikurangi kuantitasnya.)

Pak Yanto selanjutnya, pukul 02.53 WIB, menelepon saya. Saat itu, beliau baru selesai sahur. Dalam pembicaraan per telepon itu, intinya saya diharapkan untuk melatih diri tidak Latihan dalam pengertian umum, yaitu di hall maupun di luar hall (termasuk di rumah sendiri), karena saya sedang menerima terus-terusan. Pak Yanto mengatakan bahwa beliau telah menerima tentang keadaan saya sejak beberapa hari sebelum saya sendiri menerimanya.

Ego saya tentu saja memberontak terhadap kenyataan ini. Pasalnya, saya sedang getol Latihan meskipun dalam proporsi sewajarnya (dua kali seminggu), dan saya sangat membutuhkan Latihan bersama. Energi Latihan membuat hidup saya lebih hidup!

Dalam chat via WhatsApp bertanggal 14 April 2024, dengan satu saudara Subud yang pernah mengalami, ia mengungkapkan “solusi” untuk menggantikan Latihan seperti biasa: “Ya, duduk saja sambil lerem, rileks... Nanti bentuk Latihan datang tapi bukan seperti Latihan yang biasa...”

Menjelang penerimaan malam ke-27 itu saya memang merasakan getaran Latihan yang lebih daripada biasanya, di luar kehendak saya, dan saya menerimanya di mana saja, bahkan saat mengendarai motor. Sempat saya merasa takut, karena fokus saya pada penerimaan pengertian-pengertian baru dan mata lahir saya “diselubungi” penglihatan akan hal-hal gaib serta isinya orang-orang (yang terlintas di pikiran saya). Pak Yanto berpesan agar saya tidak takut, karena takut menghalangi bakti kepada Tuhan.

Beliau juga berpesan agar saya tidak menceritakan apa yang saya lihat pada diri orang-orang, untuk meredam kesombongan spiritual. Intinya, saya harus mulai berlatih mengendalikan diri, berlatih untuk tidak Latihan seperti di hall karena Latihan saya sedang berjalan 24 jam.©2024

 

Pondok Cabe, Tangerang Selatan, 2 Mei 2024

Wednesday, May 1, 2024

Dari Klien ke Mitra Kerja ke Sahabat

 


PERTAMA kali saya mengenal beliau, pada 22 Agustus 2013, adalah pada saat event peluncuran buku A Journey to Gold: Mencapai PROPER Emas, Menyemai Kebajikan, Melindungi Lingkungan, yang saya tulis dan edit dalam kapasitas sebagai ghostwriter.

Saat makan siang, saya minta lewat satu staf CSR PT Indocement Tunggal Prakarsa Tbk. untuk diperkenalkan kepada Manajer atau Kepala Divisi Corporate Social Responsibility perusahaannya. Jean Christophel Prihyanto namanya. Orangnya ramah, suka melucu dan mencandai setiap topik pembicaraan meski isi candaannya serius dan mengena.

Perkenalan di ajang event yang diselenggarakan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan itu berlanjut menjadi hubungan klien-vendor—Pak Jean mewakili PT Indocement Tunggal Prakarsa Tbk. dan saya sebagai ujung tombak PT Asta Nindya (li9ht—The IDEAS Company). Kerja sama kami langgeng dalam melahirkan karya-karya kreatif berupa publikasi yang mempromosikan tanggung jawab sosial dan lingkungan (TJSL) yang diemban Indocement maupun TJSL secara umum.



Hubungan klien-vendor ini berjalan hingga akhir tahun 2016, dimana Pak Jean mengundurkan diri dari Indocement untuk merintis perusahaan konsultan program dan komunikasi CSR. Beliau menggandeng saya, yang sejak 2012 telah menimbun banyak pengalaman dengan sustainability communication dan CSR branding.

Kemitraan kami membentuk hubungan persahabatan yang unik. Saya menjadi lawan tangguh beliau dalam brainstorming. Analisis Pak Jean yang kritis juga membantu saya menyempurnakan ide-ide saya untuk proyek komunikasi pembangunan berkelanjutan bagi klien-klien kami.

Di waktu senggang saat bersama mengunjungi suatu daerah untuk pekerjaan, kami berbincang mengenai hidup—beliau sering bertanya tentang aktivitas saya di Subud dan bagaimana Latihan Kejiwaan mempengaruhi kehidupan saya. Beliau tertarik tapi merasa belum tergerak untuk masuk Subud.

Saya diapit oleh Pak Rasyid (kiri) dan Pak Jean (kanan), duduk di atas atap instalasi pembangkit listrik tenaga mikrohidro di Dusun Sumberkapung, Desa Andungbiru, Kecamatan Tiris, Kabupaten Probolinggo, Jawa Timur, yang dirintis dan dikembangkan Pak Rasyid. Foto dibuat pada 4 Maret 2017.

Saya terakhir berjumpa dengan Pak Jean ketika kami blusukan di Kabupaten Sukoharjo, Jawa Tengah, untuk memetakan keadaan sosial dan lingkungan yang terdampak operasi pabrik PT Sri Rejeki Isman Tbk. (Sritex), pada 11-12 Agustus 2018. Stamina beliau luar biasa, gesit bergerak, sangat antusias saat berinteraksi dengan para petani dan pengrajin di desa-desa binaan CSR Sritex. Sehingga saya tak menyangka ketika mendapat kabar bahwa tidak lama setelah tahun 2018 Pak Jean terkena serangan jantung yang mengakibatkan beliau koma berlarut-larut.

Pagi ini, saya mendapat kabar via WhatsApp dari adik saya—yang seangkatan dengan Pak Jean di Sekolah Tinggi Akuntansi Negara (STAN)—bahwa mantan klien, mantan mitra dan sahabat selamanya itu telah berpulang. Semoga Tuhan menerima amal saleh almarhum. Aamiin.©2024

 

Pondok Cabe, Tangerang Selatan, 2 Mei 2024


Aku Tetap Mencintaimu

Aku tetap mencintaimu

Betapapun aku tak mengerti bagaimana bisa terjadi

—dan kau tersandung benci karena tak menyadari

Tapi, bukankah cinta tak perlu arti?

Tak perlu alasan dan landasan,

tak butuh pesan dan kesan?

Aku tetap mencintaimu,

walau kau tak lagi peduli

 

Aku bercinta lewat getar rasa diri

yang terpancar dari jiwamu

yang mengenal jiwaku

bahkan jauh sebelum kita ada

Rasa kasih telah mengarus dari titik semuanya bermula

Mungkin pendahulu kita sumbernya,

mungkin sudah menjadi kehendakNya

Tak pernah jelas dan pasti

Tapi, aku tetap mencintaimu,

walau kau tak lagi peduli

 

Kau terus hadir dalam mimpi,

Bayangmu memenuhi diri,

betapapun aku berusaha kuat menghindari

Kurasakan hadirmu, hidupmu sehari-hari

Galau mengharap kesah gelisahmu berhenti

Kurasakan itu semua, walau tak kuingini

Doa lirih kupanjatkan atas namamu, kembaran jiwaku

Dan aku tetap mencintaimu,

karena dengan begitu aku mencintai diriku...

 

Pondok Cabe, Tangerang Selatan, 1 Mei 2024