DALAM sebuah lokakarya jurnalistik, tahun
2004, di sebuah universitas swasta di Surabaya, Jawa Timur, saya tampil sebagai
narasumber untuk sesi “Pengembangan Kreativitas”. Pada sesi tersebut, saya
mengajak para peserta—yang terdiri dari para penggiat jurnalisme kampus—untuk mengalihkan
fungsi benda-benda yang sudah dikenal memiliki fungsi tertentu. Misalnya, ember
untuk mewadahi air, pena untuk menulis, kursi untuk duduk, tangga untuk
mencapai ketinggian yang tidak dapat diraih oleh tangan kita, buku untuk media
baca, dan lain-lain.
Banyak peserta tidak pernah memikirkan atau
terpikir untuk mengalihkan fungsi dari benda-benda yang telah mereka ketahui
memiliki fungsi yang sudah umum. Dalam rangka pengembangan pola pikir kreatif,
dalam sesi tersebut, saya tantang para peserta untuk menemukan fungsi-fungsi
lain daripada yang sudah dikenal selama ini dari benda-benda yang
dibagi-bagikan panitia. Tentu saja, hal ini tidak mudah bagi sebagian besar
peserta—mereka belum terbiasa menggunakan sesuatu yang tidak sesuai kegunaan
sejatinya.
Berdasarkan pengalaman-pengalaman yang pernah
saya lalui, mengalihkan fungsi suatu benda dari fungsi sejatinya ke fungsi yang
kreatif dapat dilakukan hanya bila kita berada dalam keadaan terdesak atau
darurat. Lazim saya saksikan seorang anak memayungi kepalanya dengan ember
ketika kepanasan atau kehujanan. Pena untuk mengorek-ngorek lubang di kayu meja
yang kotor. Kursi sebagai pijakan kaki untuk mencapai ketinggian jika tangga
tidak tersedia. Tangga sebagai tiang jemuran. Buku sebagai pengganti bantal
(seperti kebiasaan saya bila tidur di ruang kerja).
Pendekatan kreatif ini bisa kita terapkan
untuk apa saja, dan dalam berbagai kondisi, tidak harus darurat atau mendesak.
Saya punya pengalaman unik baru-baru ini,
sejak masa karantina akibat pandemi COVID-19 diberlakukan di Jakarta—mulai pertengahan
Maret 2020. Akibat pandemi ini, terjadi panic buying terhadap sejumlah barang yang dipandang paling dibutuhkan untuk
melindungi kesehatan, seperti penyanitasi tangan (hand sanitizer), masker, vitamin C, dan sejumlah tanaman
rempah-rempah (yang dipercaya dapat mencegah penularan virus dan kuman). Istri
saya kebetulan membeli penyanitasi tangan yang tidak mengandung alkohol—sementara
produk-produk penyanitasi tangan lainnya mempromosikan kandungan etanol/alkohol
yang tinggi, karena senyawa organik itu diyakini dapat membunuh kuman dan
bakteri penyebab penyakit—yang disebut “strong
acid water pH 2.5”.
Saya mempunyai luka di bagian pergelangan
kaki kiri yang tidak kunjung sembuh, sejak tiga tahun yang lalu. Banyak kenalan
saya yang mengatakan bahwa itu akibat diabetes, tapi setelah dicek darah saya, gula
darah saya hanya 116 yang tergolong normal. Diperkirakan oleh dokter, karena
itu, penyebabnya adalah penyumbatan pembuluh darah lantaran badan saya yang
gemuk. Untuk mengatasi kegemukan, saya cukup rajin melakukan kegiatan fisik
(tidak harus olahraga, tetapi sesuatu yang tidak membosankan dan berguna,
seperti menyapu dan mengepel lantai rumah). Untuk merawat luka tersebut, saya
rajin menyemprotkan minyak klentik (minyak kelapa yang diolah secara
tradisional) untuk mencegah kulit di area luka mengering, yang membuat pedih.
Strong Acid Water pH2.5 (selanjutnya
saya sebut SAW-2.5) yang dibeli istri saya, meskipun dimaksudkan sebagai
penyanitasi tangan, iseng saya semprotkan pada luka di pergelangan kaki kiri
saya. Saya pikir, itu air biasa yang diproses sedemikian rupa hingga memiliki
daya pengobat. Tindakan saya yang didasari keisengan itu ternyata menyebabkan
kulit-kulit mati terangkat dan menutup luka terbuka.
Saya terkejut dengan fenomena ini. Saya
ceritakan ke istri saya, yang pada gilirannya mendorong saya untuk memesan
SAW-2.5 via seorang saudari Subud Jakarta Selatan yang rutin mempromosikan
produk sejenis di laman Instagramnya. Dia juga mengirimkan foto dari label
produk tersebut yang antara lain memastikan bahwa SAW-2.5 memang dapat
mengangkat kulit mati, merawat dan menyembuhkan luka terbuka.
Saya pun memesan sebotol SAW-2.5 ukuran satu
liter dan sejak itu rajin saya semprotkan pada luka saya—pagi, siang, dan malam—yang
berangsur-angsur sembuh. Saya alihkan fungsi penyanitasi tangan bebas alkohol ke
pengobat luka terbuka yang tak kunjung sembuh meski telah saya derita selama tiga
tahun. Saya yakin, “ketidaksengajaan” atau “keisengan” saya dalam mengalihkan
fungsi sebuah produk medis alternatif itu merupakan bimbingan Tuhan. Bapak
Subuh dalam salah satu ceramah beliau, juga mengatakan bahwa yang berasal dari
jiwa itu biasanya berupa pikiran dan perasaan, perkataan atau perbuatan yang
spontan, tanpa dipikir-pikir atau direncanakan. Puji Tuhan!©2020
Green Permata
Residence, Pondok Cabe III, Tangerang Selatan, 19 April 2020