PADA suatu ketika, belasan tahun yang
lalu, saya berhenti percaya pada eksistensi suatu Tuhan. Saat itu pula, saya
berhenti beragama. Saya benar-benar memutuskan hubungan dengan apa pun yang
umumnya dipercaya sebagai Tuhan. Hal itu ketika saya belum menemukan Latihan
Kejiwaan. Dasarnya adalah kekecewaan saya terhadap Tuhan, karena apa pun yang
saya minta melalui doa kepadaNya tidak dikabulkanNya.
Tetapi, dalam proses yang saya lalui
setelah saya dibuka di SUBUD, saya juga pernah berhenti percaya pada Tuhan. Kejadiannya
antara tahun 2009 dan 2011, dan saat itu saya tengah menjalankan tugas sebagai
Wakil Sekretaris Nasional dalam Pengurus Nasional Perkumpulan Persaudaraan
Kejiwaan (PPK) Susila Budhi Dharma (SUBUD) Indonesia. Jadi, hal itu di mata
para anggota SUBUD menjadi suatu ironi, sehingga saya pun di-bully. Ada yang melontarkan sinisme
langsung ke saya: “Pengurus perkumpulan yang beriman kepada Tuhan Yang Maha Esa
kok tidak percaya Tuhan?”
Saya, tentu saja, mengabaikan kritik
dan cercaan tersebut. Percuma saya memberikan keterangan apa pun, karena toh mereka tidak mengalami apa yang
sedang saya lalui. Hal itu bahkan membuat saya sendiri syok. Saya tekun
melakukan Latihan Kejiwaan dua-tiga kali seminggu, sedangkan Latihan Kejiwaan
dikatakan Bapak Subuh sebagai “kebaktian kepada Tuhan Yang Maha Esa”, tetapi
pada saat yang sama saya tidak percaya pada Tuhan.
Bedanya dengan yang sebelum masuk
SUBUD—di mana saya menjadi ateis karena kecewa pada Tuhan, ketika sudah
menerima Latihan Kejiwaan ketidakpercayaan saya pada eksistensi Tuhan merupakan
suatu proses pembersihan dari Tuhan yang terbentuk di pikiran saya oleh
ajaran-ajaran lama (dari orang tua, guru agama, dan ustad). Seorang saudara
SUBUD yang mempelajari memetika, menyebut keilahian hasil pengajaran
turun-temurun itu sebagai “Tuhan meme*”, sedangkan yang dialami dalam
Latihan Kejiwaan adalah suatu eksistensi gaib, “Tuhan yang bukan meme”, sehingga setiap pelatih (orang
yang melakukan Latihan) kejiwaan mendapatkan pengalaman ketuhanan langsung yang
berbeda-beda dari satu orang ke orang lainnya. Tidak ada pemahaman yang sama
mengenai Tuhan dan ketuhanan di dalam SUBUD; tiap orang mempercayaiNya sebagaimana
yang dia terima dalam Latihan Kejiwaan dan dalam praktik kehidupan sehari-harinya
dengan tuntunan Latihan Kejiwaan.
Nah, saya saat itu dibersihkan dari
segala sesuatu yang saya ketahui tentang Tuhan hasil dari pelajaran orang lain
ke saya. Sebagai pelatih kejiwaan, seharusnya saya mempercayai eksistensi Tuhan
berdasarkan pengalaman saya sendiri, karena kepercayaan berdasarkan teori
(bukan pengalaman sendiri) hanya akan menghambat keterhubungan saya dengan
kekuasaan Tuhan atau zat yang maha kuasa yang meliputi diri dan hidup saya,
lahir dan batin. Dalam keadaan tidak percaya Tuhan meme, justru energi Latihan Kejiwaan saya kian kuat, kencang,
merasuk diri, dan bimbinganNya pun terasa jernih dan jelas.
Di saat Musyawarah Nasional PPK SUBUD
Indonesia di Semarang, Jawa Tengah, pada tanggal 5-7 Maret 2010, saya sempat
menceritakan yang saya alami pada seorang saudara SUBUD dari Cabang Yogyakarta,
yang rupanya mengalami hal serupa pada saat itu. Dia membenarkan bahwa Latihan
Kejiwaannya menjadi lebih kuat, lebih dahsyat efeknya, ketika dia tidak
mempercayai Tuhan. Kami berdua saat itu tidak memahaminya mengapa bisa begitu.
Ajaran agama tumpat dengan meme tentang Tuhan, lengkap dengan
sifat-sifatNya—yang sebanyak yang dapat terpikirkan oleh manusia. Tuhan yang
saya alami bersifat tak terbatas, tetapi pikiran kita mengenai Dia membuat
Tuhan amat terbatas. Dia ada di sisi yang baik maupun yang buruk; terserah Dia,
sedangkan kita hanya bisa berserah diri kepada kehendakNya. Tanpa penyerahan
diri, kita malah akan tersesat oleh pengertian-pengertian kita yang amat
terbatas. Seperti teman saya, yang suatu ketika datang ke rumah saya untuk
mengungkapkan kebingungannya terhadap satu ayat dalam Al Qur’an, yang
menyatakan bahwa bila Tuhan menghendaki kita untuk mendapat petunjuk, tetapi
juga bisa Dia menyesatkan kita. “Kalau Mas jadi saya, apa yang akan Mas
lakukan?” tanya teman saya itu ke saya.
“Gue
akan berserah diri kepada Tuhan dengan sabar, tawakal, dan ikhlas. Emangnya siapa gue, kok berani-beraninya
ngatur-ngatur apa yang Tuhan boleh
dan nggak boleh lakukan?” jawab saya
dengan santai tetapi pasti.
Pengalaman hidup saya sejak menerima
Latihan Kejiwaan menunjukkan bahwa manusia hanya bisa mengikuti bimbingan Tuhan
dengan sabar, tawakal, dan ikhlas. Berbeda dengan agama yang berteori bahwa
bila kita berbuat baik, maka Tuhan akan membalas kita dengan kebaikan (sering
diterjemahkan sebagai rezeki harta yang berlimpah atau kesehatan yang
sempurna), ajaran hidup dengan bimbinganNya, sebagai “produk” dari penyerahan
diri kita membuat saya menyaksikan bahwa kita tidak bisa menyogok Tuhan lewat
perbuatan baik. Bila mau berbuat baik, berbuat baiklah dengan bimbinganNya,
bukan dengan nafsu dan kehendak akal pikir kita.
Tuhan itu spirit gaib yang tidak dapat
dipikirkan, dan tidak dapat disaksikan oleh panca indera; adalah mustahil
mendekati Tuhan dengan daya benda (akal pikir). Kosong adalah satu-satunya
jalan untuk tersentuh oleh kekuasaan Tuhan. Dan kosong hanya dapat dicapai
apabila saya berperasaan sabar, tawakal, dan ikhlas.©2018
*) Meme (dibaca “mim”) adalah ide,
perilaku, atau gaya yang menyebar dari satu orang ke orang lain dalam sebuah
budaya.
Jl. Kalibata Selatan
II, Jakarta Selatan, 21 November 2018
No comments:
Post a Comment