PADA 6-9 Desember
2009, saya dan Pak Toni Sri, seorang anggota SUBUD Cabang Jakarta Selatan yang
berprofesi fotografer dan desainer grafis, diundang Bupati Jayapura saat itu,
Habel Melkias Suwae, untuk menyertai beliau dalam kunjungan ke distrik
terpencil di pedalaman hutan hujan Mamberamo. Distrik Airu namanya, yang secara
administratif masuk di wilayah Kabupaten Jayapura, Provinsi Papua.
Keterpencilan distrik ini disebabkan oleh keterbatasan akses darat ke sana,
hanya dapat via Sungai Nawa yang merupakan daerah aliran sungai dari Sungai
Mamberamo, sungai terpanjang di Papua dengan panjangnya yang mencapai 640 kilometer.
Perjalanan dengan perahu bermotor memakan waktu sembilan sampai sepuluh jam.
Naik pesawat kecil dari Bandar Udara Sentani bisa, tapi mendaratnya cukup
mengerikan, yaitu di landasan berumput yang menanjak, yang kadang terhalang batang-batang
pohon tumbang.
Ada tujuh perahu kayu
panjang bermotor yang berangkat dari dermaga perkebunan sawit Sinar Mas di Kampung Lereh, Distrik Kaureh, Kabupaten Jayapura, yang dilalui Sungai Nawa. Perjalanan bermobil dari Kota
Sentani, ibukota Kabupaten Jayapura, ke perkebunan tersebut memakan waktu hampir empat jam
melalui hutan lebat, padang rumput, dan jalan berbatu yang cukup curam. Karena sampai di
perkebunan Sinar Mas sudah gelap, maka rombongan Bupati bermalam di mess pekerja perkebunan.
Ada cerita lucu
juga ketika menginap di mess. Saya
dan Pak Toni diabaikan; kami dibiarkan mencari sendiri tempat untuk tidur
sambil menenteng dan memanggul barang-barang kami yang cukup berat. Para staf Kabupaten sibuk mengangkut
barang-barang Pak Bupati. Tapi kami pasrah saja, dan di saat pasrah itulah
keajaiban terjadi: Pak Bupati menghendaki saya dan Pak Toni sekamar dengan
beliau. Sontak semua staf Kabupaten mengambil alih barang-barang kami untuk
dibawa ke kamar, ada yang menawari untuk memijat kami, membuatkan kami minum,
dan menghidangkan beragam makanan yang lezat di meja makan yang hanya untuk
Bupati dan Sekretaris Wilayah Daerah—sementara anggota rombongan lainnya makan
nasi bungkus. Selama makan, Pak Bupati berkonsultasi ke saya dan Pak Toni
tentang bagaimana mengembangkan potensi wisata Kabupaten Jayapura. Usai makan
malam, para wartawan mengerubungi kami untuk menanyakan apa pokok pembicaraan
kami dengan Bupati.
Di kamar, Pak
Bupati bercerita ke saya dan Pak Toni tentang keluarganya, tentang anak-anaknya, tentang pertemuan pertama beliau dengan istrinya. Di kamar
itu, saya dan Pak Toni menyaksikan sisi pribadi Pak Bupati, yang mungkin tidak
pernah ia perlihatkan kepada para pejabat dan staf di lingkungan Kantor
Kabupaten Jayapura.
Keesokan paginya,
rombongan berangkat ke Kampung Aurina II, salah satu dari empat kampung di
wilayah Distrik Airu, dan satu-satunya kampung yang masih cukup aman untuk
dijangkau dengan perahu. Kawasan yang akan dituju rombongan juga menjadi medan
gerilya Organisasi Papua Merdeka (OPM), sehingga empat anggota Brigade Mobil
(Brimob) Kepolisian Republik Indonesia, dua orang anggota Komando Pasukan
Khusus (Kopassus) TNI Angkatan Darat, dan satu orang Bintara Pembina Desa
(Babinsa) berpakaian sipil dan bersenjata lengkap menyertai perjalanan
rombongan ini.
Tujuh perahu
motor yang berangkat dari dermaga Sinar Mas mengangkut 57 orang anggota
rombongan, termasuk Pak Bupati, saya, dan Pak Toni, serta bahan makanan dan
cadangan BBM untuk motor perahu. Di sepanjang perjalanan selama sembilan jam
itu, saya hanya duduk menghadap ke depan. Ruang di dalam perahu hanya cukup
buat saya duduk, tidak bisa bergerak ke sana kemari. Bahkan untuk menjulurkan
tangan ke luar perahu sebaiknya tidak dilakukan, karena sungai dipenuhi buaya
yang siap mencaplok apa saja yang tampak di permukaan air.
Tiba di Kampung
Aurina II (penduduk Papua yang merupakan masyarakat nomaden telah mendirikan
kampung ini untuk menggantikan kampung sebelumnya, Aurina, yang lokasinya di
pinggir Sungai Nawa menyebabkan kampung terlalu sering dilanda banjir. Aurina
II berlokasi di balik sebuah bukit di tepi Sungai Nawa yang berfungsi sebagai
tanggul alami), saya dan Pak Toni dipersilakan untuk menempati satu bangunan
bedeng kayu bersama staf Kabupaten. Bedeng itu sehari-harinya merupakan rumah
dinas bagi kepala Distrik Airu bila berkunjung ke kampung tersebut. Bedeng itu
kentara benar sifat kedaruratannya: Dinding triplek, lantai dari papan kayu
yang tidak rapat, menyisakan celah-celah yang dapat diakses oleh hewan-hewan
kecil. Membayangkan seekor ular atau kalajengking menemukan jalan via
celah-celah di lantai bedeng dan mematuk siapa pun yang berada di
ruangan itu saat dia tidur, membuat saya bergidik.
Ketika malam tiba, para
anggota rombongan dan penduduk Kampung Aurina II menikmati perayaan Natal
bersama Bupati dengan menu makan berupa papeda, sayur bunga pepaya, daging rusa bakar, dan ikan
bakar. Daging rusa itu sumbangan dari kepala kampung yang memburunya di hutan,
sedangkan ikan dipancing para anggota Brimob di Sungai Nawa di depan dermaga
Kampung Aurina II. Sungai Nawa dihuni banyak sekali ikan, sehingga kita cukup
melempar benang kail dan umpan, dan dalam hitungan detik ikan sudah terpancing.
Usai perayaan Natal, semua
anggota rombongan memilih untuk segera tidur. Tidak ada hiburan lain di kampung
terpencil itu. Karena ponsel tidak mendapat sinyal, listrik mengandalkan genset
yang 15 menit sekali mati karena kehabisan solar, sementara keadaan kampung di
malam hari gelap gulita lantaran dikelilingi hutan hujan dengan pohon-pohon
yang mencapai ketinggian lebih dari 100 meter dengan batang-batang yang bisa
dilingkari sepuluh orang dewasa bergandengan tangan, tidur adalah pilihan
terbaik.
Ketika akan tidur, semua staf
Kabupaten mengeluarkan perkakas anti malaria dan hewan berbisa masing-masing: Kelambu dan
krim anti nyamuk. Hanya saya dan Pak Toni yang tidak membawa kedua benda itu,
karena ketika masih di Jakarta kami tidak menyangka bahwa kunjungan Bupati akan
sedramatis itu. Saya dan Pak Toni saling menatap. Pak Toni sambil tertawa
sarkastik berkata: “Ya udah ya To,
kita berserah diri aja ya.”
“Iya, Pak, Latihan Kejiwaan aja sebelum tidur. Semoga nggak dipatuk ular atau diisap darah
kita sama nyamuk malaria,” kata saya disusul senyum kecut dengan perasaan keki,
terutama karena tak satu pun staf Kabupaten yang satu ruangan dengan kami
menawari krim anti nyamuk dan/atau kelambu. Saya dan Pak Toni tidur juga tanpa
alas; jadi, badan kami bersentuhan langsung dengan papan-papan bercelah yang
merupakan lantai dari bedeng panggung itu. Meski berada di permukaan tanah,
tetap saja hewan melata dapat merayap ke celah-celah di antara papan untuk
mengakses ruangan di mana kami tidur. Kepala kami juga tidak dimanja oleh keempukan bantal, sehingga kami terpaksa menyangganya dengan ransel kami masing-masing.
Entah karena kepasrahan kami
atau Latihan Kejiwaan yang selalu bersama kami, ketika bangun keesokan paginya
saya dan Pak Toni mendapati kenyataan bahwa semua staf Kabupaten yang tidur
seruangan dengan kami telah menerima gigitan nyamuk dan serangga lainnya (termasuk
sejenis kumbang yang gigitannya dapat menyebabkan kulit melepuh dan bengkak).
Mereka semua garuk-garuk kepala, bingung dengan kenyataan bahwa mereka tetap
digigit serangga meski menggunakan kelambu dan kulit mereka telah diolesi krim
anti gigitan serangga. Sedangkan saya dan Pak Toni bebas dari gigitan apa pun,
padahal tidur dalam kondisi berisiko (tidak terlindungi).
Apakah Latihan Kejiwaan
(baca: kepasrahan kepada Tuhan) yang melindungi saya dan Pak Toni dari ancaman
hewan berbisa di tengah hutan Papua masih menjadi misteri bagi saya. Tetapi
ketika di lain-lain kesempatan saya praktikkan sikap berserah diri dalam
menghadapi hal-hal yang biasanya menakutkan atau mengkhawatirkan, hal-hal
tersebut malah menjadi jinak bagi diri saya.©2018
Jl. Kalibata Selatan II, Jakarta Selatan, 28 November 2018