KA Gaya
Baru Malam Selatan meninggalkan Kota Surabaya.
SETIAP kali ditanya apa pengalaman paling menarik yang pernah saya
lalui sebagai pengguna jasa kereta api, cerita tentang perjalanan 24 jam
menumpang KA Gaya Baru Malam Selatan yang keluar dari mulut saya. Terjadi pada
tanggal 23 ke 24 Januari 1994, di era Perusahaan Umum Kereta Api (PERUMKA).
Pada hari itu, saya menumpang KA Gaya Baru Malam Selatan, biasa
disingkat GBMS, dari Stasiun Surabaya Kota (SB, +4 mdpl) dengan tujuan Stasiun
Pasarsenen Jakarta. Jam keberangkatan pukul 12.00 WIB. Saya mendapat kursi di
kereta yang kondisinya buruk: pengap, penerangan rusak, berkipas angin yang
tidak dapat berputar ke berbagai arah karena mekanisme pemutarnya rusak, dan semua
jendela di tidak berkaca (pecah). Alamat wajah saya akan menghitam terkena asap
pembakaran solar dari lokomotif CC201 yang berdinas menarik rangkaian GBMS ke
Jakarta.
Sejak diberangkatkan dari SB, saya sudah merasakan ada sesuatu
yang tidak beres pada lokomotifnya. Kecepatannya naik-turun dan jalan kereta
tersendat-sendat dengan bunyi mesin lokomotifnya seperti “ngos-ngosan”.
Berhenti di Stasiun Mojokerto (MR, +22 mdpl), baru diumumkan bahwa lokomotif
mengalami kerusakan dan karena itu seluruh rangkaian GBMS harus menunggu lebih
dari satu jam sebelum diberangkatkan kembali. Penantian panjang itu dalam
rangka menunggu kedatangan lokomotif pengganti dari Dipo Lokomotif Sidotopo
(SDT, +2,5 mdpl), Surabaya.
Meskipun telah mendapatkan lokomotif pengganti yang laik dinas,
tidak lantas berarti rangkaian GBMS yang saya tumpangi itu bakal melaju cepat.
Saat itu, GBMS merupakan salah satu kereta api kelas Ekonomi yang berstatus “paling
menderita” di Lintas Selatan Jawa yang masih berjalur tunggal, lantaran dia
harus berhenti di hampir semua stasiun kecil di sepanjang perjalanannya untuk
persilangan dan persusulan dengan KA-KA berkelas Eksekutif dan Bisnis. GBMS
terkenal sebagai kereta api yang harus mengalah pada kepentingan kelas-kelas di
atasnya, dan ia merupakan satu-satunya KA kelas Ekonomi di Lintas Selatan Jawa
yang melayani perjalanan Jakarta-Surabaya.
Situasi dalam kereta saat itu seperti bukan dalam kereta kalau
dibandingkan dengan keadaan sekarang—setelah PT KAI direstrukturisasi pada masa
kepemimpinan Ignasius Jonan sebagai direktur utamanya. Saya membayangkannya
seperti kabin pesawat pengangkut pasukan pada era Perang Dunia Kedua: gerbong
kereta penuh sesak dengan penumpang dan pedagang asongan dan barang-barang
bawaan penumpang yang tidak jarang melebihi kapasitas. Toilet yang menebar
aroma tidak sedap pun ditempati penumpang di sepanjang perjalanan. Gerbong
kereta penuh sesak tanpa pendingin udara, dengan penumpang merokok di dalam
gerbong. Pedagang asongan hilir-mudik tiada henti-hentinya dari awal hingga
akhir tujuan.
KA Gaya Baru Malam Selatan yang saya tumpangi itu tiba di Stasiun
Pasarsenen, Jakarta, pada jam 12.00 siang. Tepat 24 jam sejak keberangkatannya
dari Stasiun Surabaya Kota!
Tahun 2009, ketika Jonan menjadi direktur utama PT Kereta Api
Indonesia (Persero), secara perlahan namun pasti dunia perkeretaapian Indonesia
berubah dan bertransformasi menjadi perusahaan berorientasi layanan pelanggan.
Sarana dan prasarana kereta api dibenahi dan menjadi moda transportasi paling
diminati masyarakat. Jadwal keberangkatan dan kedatangan kereta api hampir
pasti tepat waktu. Semua kereta api, dari kelas Eksekutif sampai Ekonomi sudah
berpendingin udara, dan penumpang nyaman karena pedagang asongan dilarang
berjualan baik di dalam kereta maupun di areal stasiun.
Transformasi tersebut, tentu saja, juga menyentuh layanan KA Gaya
Baru Malam Selatan. Kereta tersebut sekarang menjadi lebih nyaman, dengan harga
tiket Rp 110.000 untuk perjalanan Jakarta ke Surabaya pergi-pulang, dengan
singgah tidak di semua stasiun yang ada di Lintas Selatan Jawa.©2018
Jl. Kalibata Selatan II, Jakarta Selatan,
12 Oktober 2018
No comments:
Post a Comment