PADA acara sarasehan dan Latihan
Kejiwaan malam Tahun Baru 2004 ke 2005, di Wisma SUBUD Surabaya, Jl. Manyar
Rejo 18-22, Surabaya Timur, Pembantu Pelatih Nasional (PPN) Pria Komisariat
Wilayah (Komwil) VI Jawa Timur-Bali-Sulawesi saat itu, Bapak Soenardi Soesasmito,
menggelar testing kejiwaan bagi para
anggota pria. Saya termasuk di antara 20 anggota pria yang mengikuti testing tersebut.
Testing diadakan di ruangan (hall) Latihan wanita di bangunan rumah
di sudut tenggara areal Wisma SUBUD Surabaya. Yang paling saya ingat, dan menjadi
topik bahasan dalam artikel saya ini, adalah pertanyaan testing “Apakah yang dapat menjadi sumber nafkah saudara?” Dari
keduapuluh pria yang ada di dalam hall
itu, hanya saya yang menerima secara kuat dan jernih. Telunjuk tangan kanan
saya langsung mengacung dan mulai bergerak seperti kapur pada papan tulis,
menuliskan sesuatu yang saya tidak tahu apa. Sementara itu, mulut saya berucap
terus-terusan “tulis-tulis-tulis-tulis-tulis... tulis ini, tulis itu...
tulis-tulis-tulis-tulis!”
Selesai testing, Pak Nardi menghampiri saya untuk memberi selamat. “Bagus
sekali, hanya Anda yang bisa menerima dengan jelas,” kata beliau.
Ada secuil rasa bangga dengan pujian
beliau, dan secuil takjub karena dapat mengalami rasa testing kejiwaan. Saat itu, saya baru hampir sepuluh bulan aktif
berlatih kejiwaan, sejak dibuka di Hall Surabaya pada 11 Maret 2004. Pengalaman
testing kejiwaan ternyata luar biasa, terutama bagi sisi dalam saya.
Bagaimanapun, saya kecewa pada jiwa saya, saya kecewa pada Tuhan, kok saya diarahkan untuk menjadikan
menulis sebagai sumber nafkah saya.
Selama ini, saya beranggapan bahwa
menulis tidak dapat diandalkan untuk menjadikan saya kaya-raya. Saya terobsesi
pada kekayaan harta, sejak dahulu, dan menjadi penulis tidak pernah menjadi
impian saya, karena penulis tidak bisa menghasilkan uang yang banyak. Hanya
penulis naskah iklan (copywriter)
yang saya tahu merupakan profesi bergaji besar; karenanya, saya bangga menjadi copywriter, tapi tidak bidang-bidang
menulis lainnya.
Di situlah letak kekecewaan saya
terhadap penerimaan testing yang luar
biasa itu. Mengapa Tuhan menghendaki saya menjadi penulis?
Sekarang, saya bisa memastikan:
Mengapa tidak?
Dalam prosesnya, saya memang memiliki
bakat istimewa dengan kata-kata dan jalinan kalimat. Saya menyadari bahwa
kata-kata yang saya gunakan dan kalimat-kalimat yang susun dengan kata-kata
tersebut mengandung suatu kedalaman dan “pancaran energi” yang dapat
mempengaruhi orang sedemikian rupa, hingga mendorong aksi dan reaksi dari orang
tersebut. Ini sungguh menakjubkan. Tulisan saya “hidup”, demikian sejumlah
saudara SUBUD dan klien-klien saya berpendapat.
Bagi saya sendiri, menulis merupakan
sarana penggalian diri, sarana mengungkapkan kedalaman diri saya—hanya apabila
saya menjadi diri saya sendiri saat menulis. Saya memetik banyak sekali
pelajaran dan momen kontemplatif selama proses penulisan yang saya kerjakan.
Dan ternyata, tidak banyak yang memiliki bakat menulis dengan kedalaman
citarasa yang dapat menyentuh sisi-sisi terdalam dari pembacanya. Sayalah salah
satu penulis yang memiliki bakat tersebut. Itu hanya bisa terjadi berkat
bimbingan Tuhan yang mengisi diri saya melalui Latihan Kejiwaan yang saya
lakukan secara rutin.©2018
Jl. Kalibata Selatan
II, Jakarta Selatan, 16 Oktober 2018
*Naskah asli ditulis
di Memo dari HP saya.