|
Foto saya pada 24 Oktober 2015, ketika masih bernama "Anto". |
BAGIAN paling sulit dari eksistensi saya sebagai anggota
Perkumpulan Persaudaraan Kejiwaan Susila Budhi Dharma (PPK SUBUD) ternyata adalah
menjelaskan kepada orang non-SUBUD mengenai perubahan nama saya.
Setelah saya dibuka di Wisma SUBUD Cabang Surabaya, di Jl.
Manyar Rejo No. 18-22, Surabaya, Jawa Timur, pada 11 Maret 2004, sejumlah
pembantu pelatih (PP) atau helper
mulai memanggil saya “Mas Dwi” atau “Dik Dwi”. Hal itu tentu mengherankan saya,
sebab, meskipun nama belakang saya memang “Dwiastoro”, tapi nama belakang saya
tidak pernah menjadi acuan bagi orang-orang yang sudah lama atau baru mengenal
saya. Saya biasa dipanggil “Anto”, baik tanpa maupun dengan embel-embel “Mas”
atau “Bang” atau “Dik” mendahului panggilan tersebut.
Saya pun memprotes panggilan “Mas/Dik Dwi” tersebut kepada
beberapa PP yang melontarkannya, yang dijawab oleh mereka bahwa nama “Anto”
sudah tidak lagi cocok untuk saya. Menurut mereka, “Anto” itu mengacu pada
kanak-kanak. Dengan saya tetap menggunakan nama tersebut, mereka khawatir
pertumbuhan kejiwaan saya akan terhambat; saya akan berkembang menjadi pribadi
yang kekanak-kanakan.
Nama “Anto” menurut yang pernah dituturkan mendiang Ibu saya,
Animah binti Radjab (1933-1996), merupakan turunan dari “Ananto”. “Ananto”
berasal dari “Ananta”, dan “Ananta” dari “Ananda”. Meski berbau “anak”, tapi “Anto”
sebenarnya bernuansa “anak dari”, yang mengacu pada aspek keturunan. “Dwiastoro”
jika diurai terdiri dari “DWI” (dua), “AS” (singkatan dari Animah dan Slamet,
nama Ibu dan Ayah saya), dan “TORO” (penjawaan dari “TARA” yang merupakan
akronim dari nama kedua kakek saya, Tamihardjo dan Radjab). Jadi, “Anto
Dwiastoro” bermakna “anak kedua dari Animah dan Slamet, serta cucu dari
Tamihardjo dan Radjab".
Memprotes cara para helper
di SUBUD Cabang Surabaya yang bersikeras memanggil saya “Mas/Dik Dwi”, saya pun
melayangkan email ke ibu.letters@gmail.com, alamat email Ibu Siti Rahayu
Wiryohudoyo. Ibu Rahayu adalah putri tertua dari pendiri PPK SUBUD, Yang Mulia
Bapak Muhammad Subuh Sumohadiwidjojo, yang kini dituakan dan melakoni peran—walau
tidak sepenuhnya sama—sebagaimana yang dijalankan YM Bapak terhadap para
anggota SUBUD. Email saya berisikan pengaduan kepada Ibu Rahayu atas ulah para
PP di SUBUD Cabang Surabaya yang seenaknya mengganti nama saya.
Itu email yang ganjil, mengingat bahwa para anggota SUBUD
mengirimkan email ke Ibu Rahayu selain untuk mendapatkan jawaban atas
pertanyaan-pertanyaan mereka menyangkut Latihan Kejiwaan juga merupakan saluran
untuk meminta “nama jiwa”, menggantikan nama lahir dari anggota. Sedangkan
email yang saya kirimkan justru memprotes penggantian nama saya secara
semena-mena oleh sejumlah PP di SUBUD Cabang Surabaya.
Meminta dan mendapatkan nama jiwa merupakan hal yang lumrah di
komunitas SUBUD; para anggota dapat memintanya pada YM Bapak atau Ibu Rahayu.
Ada segelintir kejadian di mana anggota tidak memintanya, tapi YM Bapak atau
Ibu Rahayu tiba-tiba memanggil yang bersangkutan dengan nama jiwa yang spontan
diterima YM Bapak atau Ibu Rahayu ketika menjumpai yang bersangkutan. Nama YM
Bapak pun pernah mengalami perubahan. Ketika beliau kecil, kakeknya, RM
Soemowardojo, memberinya nama “Soekarno”. Tapi karena sering sakit dan lemah,
nama YM Bapak diganti dengan “Muhammad Subhi”. Menjadi “Subuh” lantaran orang
Jawa pada umumnya tidak dapat melafalkan ejaan Arab dengan baik.
Penggantian nama tidak harus disertai dengan penggantian
dokumen resmi negara menyangkut identitas kita, seperti kartu tanda penduduk
(KTP), paspor, surat izin mengemudi (SIM), dan lain-lain. Yang penting, nama
jiwa itu digunakan sebagai panggilan lisan atau, dalam teks tidak resmi,
tulisan. Ada yang mencantumkannya di awal sebagai nama depan, namun ada pula
yang menggunakannya di tengah, menyusul nama depan.
Selama sekian tahun berlatih kejiwaan dan aktif sebagai
anggota maupun pengurus nasional dari PPK SUBUD Indonesia, saya tidak merasakan
kebutuhan untuk mengubah nama lahir saya dengan nama jiwa. Saya merasa nyaman
saja; berbeda dengan kebanyakan anggota, yang sudah meminta nama jiwa beberapa
saat setelah mereka dibuka, menerima Latihan Kejiwaan pertama kalinya. Saya
merasa nyaman menyandang nama “Anto”, nama yang diberikan oleh kedua orang tua
saya, Animah binti Radjab dan Slamet Widjaja (1930-1995).
Saya pernah mendengar dari penuturan ayah saya, bahwa beliau
ketika kecil pun mengalami perubahan nama, yang alasannya mirip dengan YM
Bapak. Ayah saya, kabarnya, ketika dilahirkan diberi nama “Ki Islam”. “Ki”
adalah sapaan kepada orang tua atau guru yang menjadi panutan, contohnya Ki
Hajar Dewantara yang merupakan pelopor pendidikan bagi kaum pribumi Indonesia
di era kolonial Hindia Belanda. Pemberian nama “Ki Islam” barangkali mewakili harapan
kakek saya, Eyang Tamihardjo, agar ayah saya ketika dewasa menjadi seorang guru
agama Islam yang menjadi panutan.
Bagaimanapun, ayah saya “keberatan” nama, yang membuat beliau
sakit-sakitan dan lemah semasa kecil, sehingga atas saran orang pinter, Eyang Tamihardjo mengubah nama
beliau sesuai nama gunung yang menjulang tinggi yang tampak dari bagian depan
rumah kakek saya di Purwokerto Utara, Kabupaten Banyumas, Jawa Tengah, yaitu
Gunung Slamet. Segera setelah ayah saya berganti namanya menjadi “Slamet Widjaja”,
maka beliau pun tumbuh menjadi pribadi yang tegar dan gagah sebagaimana gunung
yang menyandang nama yang sama. Dan ayah saya tidak pernah menjadi guru agama
Islam, melainkan berkarir sebagai bintara lalu perwira menengah di TNI Angkatan
Darat.
Meskipun saya nyaman menyandang nama “Anto”, dan tidak
menginsafi sesuatu yang mengganggu pada diri saya dengan menggunakan nama
tersebut, rupanya orang lain melihatnya. Kenalan saya dan istri, Ibu Prof. Dr.
Ir. Suhartati Wardhana, SU, yang merupakan seorang PP dari SUBUD Cabang
Purwokerto, Jawa Tengah, yang kerap ke Jakarta dan selama di Jakarta kerap
ditemani istri saya berbelanja, mengungkapkan kepada istri saya, bahwa beliau “melihat”
(dengan mata hati) bahwasanya dalam gerak-gerik saya menampakkan sosok seorang
anak kecil. “Mas Anto itu, saya lihat, kalau lagi makan, bicara, atau jalan,
seperti anak kecil,” ungkap Bu Tati Wardhana kepada istri saya suatu ketika.
Hal itu pun disampaikan istri saya ke saya, tapi saya mengacuhkannya. Saya
senang dengan nama yang bermakna “anak kecil”, karena dunia kanak-kanak
berkonotasi dengan kreativitas yang tinggi, spontanitas, serta keberanian
menjadi diri sendiri—yang “gue banget”.
Pada bulan-bulan terakhir tahun 2017, saya mulai merasakan
sesuatu yang janggal: Saya benar-benar merasakan diri seperti anak kecil ketika
mencandai seseorang, mem-bully seseorang,
atau ketika saya tidur-tiduran atau berjalan-jalan sendirian. Di situlah saya
mulai mempertimbangkan untuk meminta Ibu Rahayu melakukan testing kejiwaan atas
nama lahir saya—jika tidak sesuai, maka saya memohon agar diberikan nama jiwa. Secara
kasual, saya tanya-tanya ke saudara-saudara dan saudari-saudari SUBUD saya
tentang pengalaman mereka sebelum dan sesudah menerima nama jiwa dari Ibu
Rahayu.
Pada tanggal 2 Maret 2018, saya mengirim email kepada Ibu
Rahayu—saya mengharapkan sesuatu yang istimewa ketika saya memperingati 14
tahun keberadaan saya di SUBUD, pada 11 Maret 2018. Email jawaban Ibu Rahayu
masuk pada hari Senin, 12 Maret 2018 pukul 16.38 WIB, yang menyatakan sebagai
berikut:
Sdr. Anto Dwiastoro,
Terima kasih atas email saudara tertanggal 2 Maret 2018.
Nama untuk saudara, ARIFIN yang artinya “bijaksana”.
Nama ini dapat saudara pergunakan
di lingkungan Subud saja, sedangkan untuk di KTP dan surat-surat penting
lainnya, saudara dapat tetap memakai nama lama.
Demikian jawaban dari saya, semoga dapat saudara terima dengan baik.
Ibu,
Siti Rahayu Wiryohudoyo
|
Foto saya pada 5 April 2018, setelah menggunakan nama "Arifin. |
Awalnya, ketika menerima email jawaban
Ibu Rahayu tersebut—saya lagi mengobrol dengan seorang desainer grafis di
kantor saya—saya terkejut dan ingin tertawa terpingkal-pingkal. Pasalnya, nama dari
dua saudara SUBUD yang kerap saya bully
di media sosial maupun live adalah “Arifin”.
Satu Arifin di Palangkaraya, satunya lagi di Wisma SUBUD Cilandak. Saya sempat
merasa pemberian nama “Arifin” sebagai nama jiwa saya ada kaitannya dengan
perilaku buruk saya dengan mem-bully dua
saudara SUBUD tadi. Namun, kemudian, setelah saya rasakan sendiri, nama itu
indah dan berwibawa, membuat saya—mudah-mudahan—menjadi pribadi yang mantap,
berpengetahuan, dan bijaksana sejalan dengan kehendak Tuhan Yang Maha Esa. Pada
hari itu juga saya umumkan nama jiwa saya di grup-grup WhatsApp SUBUD yang saya
ikuti, dan semua akun media sosial saya pun saya cabut nama “Anto”-nya, dan
menggantinya dengan “Arifin”; Arifin Dwiastoro Slamet.©2018
Jl. Kalibata Selatan
II, Jakarta Selatan, 9 April 2018