OSENG-oseng labu
siam/manisa kadang dimasak mendiang ibu saya sebagai lauk makan siang di rumah.
Bagaimanapun, dulu, saya tidak menyukainya. Sama seperti kebanyakan anak-anak,
saya tidak suka sayur. Saya mulai menyukai suatu sayuran apabila ada contoh
yang dapat menggugah selera saya. Contohnya ya oseng-oseng labu siam/manisa ini.
Dari sama sekali tidak suka sampai jadi tergila-gila. Penyebab kesukaan saya
adalah seorang kuli bangunan.
Dulu, semasa
sekolah dasar kelas lima (1978-1979), saya hampir
setiap hari bermain ke rumah sahabat saya, Beben namanya, di perkampungan padat
di daerah Pondok Karya, Mampang Prapatan, Jakarta Selatan. Menghuni sebuah
rumah petak bersama ayah-ibu dan kedua adik laki-lakinya, Beben bertetangga
dengan satu keluarga yang dikepalai seorang lelaki yang berprofesi kuli
bangunan.
Suatu siang, sepulang
sekolah, saya kembali main ke rumah Beben. Ketika saya dan Beben sedang bermain
di depan rumah petak sahabat saya itu, si kuli bangunan pulang dan melepas
lelah di ruang depan rumahnya. Istrinya muncul dari arah dapur, membawakan
sepiring nasi dengan lauk oseng-oseng labu siam/manisa yang menggunung. Si kuli
bangunan pun menyantap makan siangnya dengan lahap hingga tidak menyisakan
barang sebutir nasi pun di piringnya. Pemandangan itu menggugah selera saya
akan oseng-oseng labu siam/manisa yang tadinya saya tidak suka.
Sorenya, ketika sudah
pulang ke rumah orang tua saya sendiri, saya bilang ke ibu saya, bahwa saya
ingin dimasakkan oseng-oseng labu siam/manisa. Ibu saya bengong dan kemudian
berkata, “Tumben?!” ©2018
Kalibata Selatan II, Jakarta Selatan, 12 Februari 2018
No comments:
Post a Comment