TAHUN 1996, saya mengundurkan diri sebagai karyawan
sebuah biro iklan multinasional papan atas Indonesia yang berbasis di Jakarta.
Dengan identifikasi “mantan copywriter
Lintas” saya berani melamar ke duapuluhan biro iklan di Jakarta, dan
berdasarkan identifikasi itu pula 16 di antaranya memanggil
saya untuk diwawancara. Sebagai “lengan periklanannya” Unilever, Lintas (Lever
International Advertising Services) waktu itu didaulat sebagai
universitasnya insan periklanan, yang bahkan karyawan yang dipecat sekalipun
berpeluang besar untuk ditangkap agensi-agensi bergengsi lainnya.
Salah satu pihak yang menghubungi saya adalah pengarah
kreatif eksekutif (executive creative
director/ECD) sebuah biro iklan multinasional. Sang ECD, ketika
mewawancarai saya, menepis tawaran saya untuk memperlihatkan portofolio karya
iklan yang pernah saya buat bersama tim kreatif Lintas. “Tidak perlu, saya
sudah tahulah kualitas Anda sebagai jebolan Lintas!” kata sang ECD dalam aksen Aussie yang kental.
Awalnya, saya memang bangga
menyandang identifikasi “mantan copywriter
Lintas”, tetapi lama kelamaan kok terasa
mengganggu, tidak membebaskan malah membebani, karena orang jadinya
berekspektasi lebih dari saya, melampaui kemampuan saya yang sebenarnya. Akhirnya,
saya bertekad bahwa saya harus dikenal dan diterima sebagai diri sendiri, tanpa
embel-embel apa pun. Rasanya, lebih membanggakan dan membahagiakan jika
orang-orang menyambut saya sebagai teman mereka lantaran saya adalah saya,
bukan saya dengan identifikasi tertentu.
Idealisme seperti itu agaknya sulit dikembangkan,
karena saya berada di lingkungan di mana identifikasi jauh lebih penting dari
apa pun. Sepertinya, tanpa identifikasi kita tidak punya eksistensi. Dengan
pengalaman 17 tahun (tahun
2011, ketika saya menulis artikel ini) menangani
merek dan pemerekan (branding), saya
dapat memastikan bahwa itu benar adanya. Menurut Dan Ariely, penulis Predictably Irrational: The Hidden Forces
That Shape Our Decisions (2010), kita selalu mengira keputusan-keputusan
yang kita ambil adalah berdasarkan alasan-alasan yang masuk akal, padahal tidak
selalu begitu. Hampir selalu ada alasan yang “bukan aslinya Anda” ketika Anda
memilih merek yang satu dan bukan merek yang lain, atau memilih apa pun dalam
hidup Anda, termasuk suami/istri, pacar, sekolah, pekerjaan, rumah, mobil dan
lain sebagainya. Menurut Ariely, kita selalu mengidentifikasi diri dengan
sesuatu di saat ini atau di masa lalu, yang pada gilirannya mempengaruhi
pilihan-pilihan kita.
Kita cenderung senang dan bangga diidentifikasi
sebagai bagian dari sesuatu, walaupun tak jarang sesuatu itu semu. Adik saya
tadinya bangga sebagai pengguna Nokia E63. Belakangan, ia muncul di hadapan
saya dengan Blackberry Bold dan Samsung Galaxy Mini, sedangkan Nokia E63-nya ia
pensiunkan. Pengalaman saya di dunia branding
membuat saya sudah menduga jawaban adik saya, waktu saya tanya mengapa ia
mengganti Nokia E63-nya dengan BB dan Galaxy Mini: Identifikasi sebagai bagian
dari komunitas pengguna BB dan telepon seluler (ponsel) layar sentuh lebih
membanggakan daripada idealisme untuk bertahan sebagai dirinya sendiri yang
sebenarnya lebih suka pakai Nokia E63.
Padahal bila dicermati lebih jauh, landasan bagi identfikasi
itu bersifat “holografis” (terlihat tetapi sejatinya tidak ada). Coba deh, tanyakan para pengguna BB mengapa mereka menggunakan BB (atau
tanyakan pada diri Anda sendiri, jika Anda kebetulan menggunakan BB). “Ada Blackberry Messenger-nya sih, jadi gampang dalam berkomunikasi. Gratis
pula!” jawab rata-rata dari mereka.
Gampang berkomunikasi dengan siapa? Dengan sesama
pengguna BB tentu saja, bukan dengan pengguna merek ponsel pintar lainnya atau
ponsel apa pun, tetapi justru itulah persepsi yang sengaja ingin ditanamkan di
benak konsumen oleh pemasar merek bersangkutan. Tampaknya mereka amat berhasil
dalam melakukannya. Strateginya simpel saja: Para pengguna BB dipengaruhi
sedemikian rupa lewat upaya branding untuk
mengidentifikasi diri mereka sebagai bagian dari komunitas yang eksklusif, yang
bila tidak tergabung di dalamnya mereka dianggap bukan warga dunia virtual (netizen) yang hebat! Mereka juga diminta
untuk mengajak sebanyak mungkin teman atau relasi mereka untuk bergabung dengan
mereka di komunitas tersebut—tak jarang dengan taruhan hubungan pertemanan
bakal berakhir bila ajakan mereka ditepis.
Hebat benar nih
industri komunikasi merek, puji Tuhan! Berarti profesi saya di bidang branding bakal semakin dibutuhkan di
masa depan…
Spiritualitas dalam Kemasan
IDENTIFIKASI telah pula merambah ke dunia spiritual
yang tadinya bebas dari yang serba semu seperti itu. Spiritualitas baru bisa
diklaim sebagai “hakikat” (kebenaran mutlak) justru ketika padanya tidak
dilekatkan identifikasi macam apa pun. Ironisnya, justru klaim-klaim hakikat
berasal dari organisasi-organisasi spiritual, yang untuk keperluan identifikasi
merasa perlu diorganisasikan, diberi nama merek (brandname), ditata dan distruktur sedemikian rupa, sehingga
sebenarnya sifat hakikat dari spiritualitas menjadi kabur.
John Naisbitt bilang, “Spirituality yes, organized
religion no—spiritualitas ya, agama yang terorganisasi tidak,” ketika abad
ke-21 merangkul dunia, yang waktu itu diramalkan akan mengalami perubahan
radikal dengan berakhirnya agama-agama yang terorganisasi lantaran umatnya
memilih jalan spiritual yang tidak dikekang kewajiban dan kepatuhan apa pun.
Bagi masyarakat Barat, agama dipandang sebagai suatu gerakan yang
terorganisasi, memiliki landasan yang terstruktur, teratur rapi, yang jika
dilanggar akan menyebabkan si pelanggar celaka, sedangkan spiritualitas dipandang
merupakan wilayah yang bebas nilai, bersifat open-source (bisa diakses siapa saja tanpa batasan) karena
sumbernya bisa apa saja—tidak melulu pengalaman ketuhanan.
Sejatinya, spiritualitas memang tidak terorganisasi
lantaran spiritualitas merupakan produk dari pengalaman pribadi masing-masing
pejalan. Tetapi kini, bertentangan dengan ramalan Naisbitt di atas, tendensi
yang tampak adalah spiritualitas yang terorganisasi, yang karena orang Barat
tetap beranggapan bahwa hanya agama yang memiliki sifat terorganisasi maka
tendensi spiritualitas demikian dicap experiential
religiosity atau keberagamaan yang didasari oleh pengalaman pribadi dengan
yang transenden (Tuhan, realitas tertinggi, Rahasia, Unsur ke-11, atau apa pun
namanya).
Dewasa ini, karena manusia butuh identifikasi,
organisasi-organisasi spiritual bermunculan dengan mengusung ajaran (sebenarnya
sih nasihat, tetapi derajatnya
dinaikkan menjadi ajaran untuk menghargai) para pendirinya. Dalam berbagai segi,
organized spirituality ini tak
ubahnya organized religion, dengan
struktur kekuasaan yang mengendalikan jalannya organisasi, serta sistem
kependetaan dan nilai-nilai yang menata pertumbuhan spiritual anggota.
Di sektor spiritualitas yang terorganisasi ini, sama
seperti agama dalam perkembangannya jauh setelah penerima wahyu meninggal, Tuhan
tidak lagi Maha Kuasa lantaran dikuasai oleh organisasi dan penguasa di
dalamnya. Orang-orang di dalam organisasi ini mengatur kapan sesuatu merupakan
kehendak Tuhan dan kapan yang bukan! Kini, bukan cuma ada AMDK (air mineral dalam
kemasan), tetapi juga ada SDK, spiritualitas dalam kemasan—spiritualitas yang dijual
dalam kemasan macam-macam warna dan selera, dan masing-masing merek mengklaim
dirinya lebih baik daripada yang lain-lainnya, tak ubahnya consumer goods.
Menaksir Cinta
ILMU psikologi membedakan antara naksir (infatuation) dan
cinta (love): Yang tersebut pertama
adalah perasaan suka pada seseorang yang dilandasi identifikasi-identifikasi
tertentu, seperti wajahnya tampan/cantik, senyumnya memukau, baik hati,
bicaranya bermutu, tulisannya menginspirasi, jenius, hobinya sama, dan
lain-lain. Sedangkan “cinta” timbul tanpa perlu identifikasi apa-apa—suka saja!
Dengan wawasan ini, saya kira Anda bisa mulai menaksir cinta Anda kepada
sesuatu atau seseorang, apakah bebas identifikasi atau tidak.
Saya sangat suka menulis, dan sampai sekarang saya
belum menemukan alasan yang tepat untuk menjelaskan kepada orang lain mengapa
saya menyukainya. Dahulu, semasa sekolah di Negeri Belanda, saya memang jago
dalam pelajaran mengarang sampai guru-guru saya berdecak kagum, tetapi saya
kira itu bukan alasan yang tepat untuk menjelaskan mengapa sekarang saya sangat
suka menulis, sebab saat itu hingga tamat kuliah saya memandang menjadi penulis
bukanlah apa yang saya cita-citakan (lagi-lagi lantaran identifikasi mengenai kehidupan
penulis yang kurang menjanjikan secara ekonomi).
Hidup pada hakikatnya tidak memerlukan identifikasi,
karena manusia pun dilahirkan tanpa embel-embel apa pun. Bila Anda dapat
mengerahkan perasaan dan pemikiran, perkataan dan perbuatan untuk diri sendiri
maupun untuk kepentingan umum tanpa identifikasi apa-apa, Anda telah melampaui
kemelekatan, terbebas dari penderitaan, dan mencapai keabadian.©2011
Pondok Jaya, Mampang Prapatan, Jakarta Selatan, 2 Oktober 2011