Tuesday, May 27, 2025

Jiwa Sudah Tahu Lebih Dulu

SAYA mau berbagi pengalaman yang rada kocak berikut ini...

Saya berniat puasa sembilan hari (9H) mulai Senin kemarin, 26 Mei, hingga Selasa depan, 3 Juni. Saya biasa melakukan puasa 9H bila saya merasa diri saya sudah seperti “kapal pecah”—berantakan, kacau galau, dan lelah batin. Mengapa sembilan hari? Alasannya cukup konyol: Karena saya suka angka sembilan.

 

Dorongan untuk puasa 9H saya terima di tengah Latihan saya di Wisma Barata Pamulang pada hari Sabtu, 24 Mei, lalu, dan saya rasakan kemudian apakah ini nafsu belaka atau memang bimbingan. Saya mengetahui pastinya hanya setelah saya jalani.

 

Tiba-tiba semalam, saya kok merasa ingin meneruskan puasanya sampai Kamis, 5 Juni. Saya pun melakukan testing dan menerima bahwa saat ini diri saya bukan lagi “kapal pecah”, melainkan ibarat Bumi yang dihantam meteor raksasa, sehingga puasa 9H tidak cukup—saya harus menambah lagi jumlah harinya. Karena perasaan saya enak saat menjalankan puasa sejak Senin kemarin, maka saya tidak menolak “tawaran” untuk berpuasa sampai 5 Juni.

 

Baru sejam yang lalu saya diberitahu adik saya bahwa mulai 28 Mei sampai 5 Juni bagi kaum muslim dianjurkan untuk puasa sunah Dzulhijah. Informasi itu saya dapat setelah saya menolak ajakan kakak saya lewat WhatsApp Group (WAG) keluarga untuk mengisi long weekend besok (Kenaikan Isa Almasih 29 Mei dan cuti bersama dalam rangka Kenaikan Isa Almasih 30 Mei) dengan kemping. Saya menolak karena saya lagi puasa.

 

“Tumben kamu puasa Dzulhijah? Alhamdulillah, kamu sudah insaf,” komentar adik bungsu saya yang hajah. Saya tidak mau membahas lebih jauh lagi di WAG tersebut, karena siapa yang bakal bisa mengerti bahwa jiwa sudah tahu lebih dulu.©2025

 

 

Pondok Cabe, Tangerang Selatan, 28 Mei 2025

Membiasakan Diri Mengendapkan Nafsu

BELAKANGAN ini, saya kerap merenungkan bagaimana saya dapat memperbaiki perilaku saya, meningkatkan kualitas hubungan saya dengan istri dan anak, membantu anak dalam tumbuh-kembangnya, dan menyikapi berbagai kegiatan profesional maupun sosial saya.

Tidak sengaja (tapi saya tidak percaya “kebetulan”), ketika beberapa jam lalu membaca ulang PDF majalah Subud Voice edisi April 2025, pada artikel dari Suryadi Mai yang berjudul “Essential Factor for Practising Latihan” (Faktor Penting dalam Melakukan Latihan) saya menemukan kutipan dua kalimat dari ceramah Ibu Rahayu yang menggugah saya, sehingga saya mencari ceramah utuhnya. Saya cuplik yang lebih panjang daripada yang dicuplik Suryadi Mai, sebagai berikut...

 

“Di dalam Latihan, kita dilatih untuk bisa mengendapkan nafsu-nafsu. Hingga, kalau di dalam Latihan, kita bisa merasakan kekosongan di dalam diri kita dan terisi oleh sesuatu yang membangkitkan rasa diri. Dan rasa inilah yang sebetulnya harus saudara bawa, yaitu di dalam mengerjakan segala sesuatu di dalam kehidupan saudara sehari-hari.

 

Kalau saudara sudah dapat membiasakan diri untuk dapat mengendapkan nafsu tadi, maka tidak ada persoalan, tidak ada ketidakharmonisan, atau tidak ada ketidakrukunan di dalam group saudara. Juga di dalam kehidupan rumah tangga, di dalam pekerjaan, di dalam rapat-rapat karena kebiasaan ini tidak akan merugikan orang itu, bahkan kadang-kadang akan menguntungkan dirinya.”

 

Karena suatu kebiasaan mengikuti nafsu yang tidak bisa dikendalikan, akan membuat orang itu mempunyai karakter—artinya pertumbuhan nafsu tadi—karena dibiarkan akan menjadi karakter dari manusia tadi. Jadi, sebetulnya karakter itu bukan karakter yang tumbuh dari jiwanya, tapi karakter yang saudara bentuk karena nafsu yang tidak dapat saudara kendalikan. Dan buktinya, saudara-saudara, yang dapat kita lihat, bahwa Tuhan tidak menghendaki nafsu itu tertanam di dalam diri saudara.

 

Misalnya, kalau saudara seorang bapak, artinya bapak yang masih mempunyai anak-anak, kalau saudara membenci seseorang—apa perbuatannya, apa rupanya—nanti kalau punya anak, kenapa bisa terkena anak itu? Ya, ini contoh yang biasa yang dapat dilihat. Yang karakter itu, mungkin bukan karakter dari bapaknya dan ibunya.

 

Tetapi mengapa anak itu mendapat karakter yang tidak dipunyai bapak dan ibunya? Yaitu, karena tertanam dalam diri saudara suatu kebencian hingga dapat menurun, atau tercetak, di dalam anak yang saudara lahirkan. Jadi, ini suatu contoh saja. Jadi, terang bahwa tindak-tanduk manusia sehari-hari itu yang akan membentuk jiwa saudara yang asli, yang saudara punyai sendiri.

 

Kalau orang-orang Subud sudah banyak yang dapat melakukan ini—artinya melakukan bisa mengendapkan nafsu-nafsu tadi—maka kami percaya bahwa di Subud betul-betul ada kerukunan seperti apa yang diharapkan. Karena dengan tidak menonjolnya nafsu-nafsu itu, maka segala panca indra, dan segala sesuatu yang ada di dalam diri saudara, akan terisi oleh jiwa saudara.

 

Hingga apa yang saudara kerjakan, atau saudara lakukan, dapat memberi amal bagi sesama manusia. Artinya amal, yaitu kebaikan bagi sesama manusia. Dan tentu saja, ini sesuatu tugas manusia yang mulia apabila saudara dapat melakukan sesuatu atas segala yang ada pada diri saudara untuk memperbaiki orang lain. Karena dengan demikian Tuhan akan memuji saudara.

 

Karena di dalam melakukan segala sesuatu saudara tidak perlu... artinya menguji Tuhan, karena Tuhan adalah Yang Serba Ada dan Maha Kuasa. Tetapi kalau saudara dapat membuat sesuatu yang baik bagi manusia, dimana manusia itu adalah makhluk Tuhan, maka tentu saja saudara akan mendapat kemurahan dari Tuhan. Tentu saja kemurahan ini macam-macam, yaitu dapat membangkitkan jiwa saudara, yang dapat saudara bawa nanti apabila saudara harus pulang.” (Chiba, Jepang, 4 Mei 2004—04 TYO 05) ©2025

 

 

Pondok Cabe, Tangerang Selatan, 27 Mei 2025

Saturday, May 24, 2025

Latihan Kejiwaan dan Gangguan Mental

RABU lalu, 21 Mei 2025, saya mengirim pesan WhatsApp ke salah satu pembantu pelatih (PP) yang menjadi saksi pembukaan saya, yang kini tinggal di kampung halamannya, Madiun, (secara administratif dia adalah PP Cabang Surabaya): “Aku kalau nggak punya Latihan Kejiwaan, dengan situasiku saat ini (ekonomi dan rumah tangga) rasanya pengen bunuh diri.”

Dulu, sekitar tujuh tahun sebelum saya masuk Subud, saya pernah menderita anxiety disorder yang saya sendiri tidak bisa tandai. Yang menandai justru bos saya di biro iklan tempat saya bekerja, yang kebetulan salah satu anaknya yang masih remaja juga menderita anxiety disorder. Beliau merujukkan saya ke psikiater di Kalibata untuk mendapat penanganan.

Selama menderita anxiety disorder, saya tidak bisa mengendalikan diri saya, persis seperti mobil yang remnya blong. Medikasi dengan obat tidur dan penenang yang diresepkan psikiater hanya menenangkan saya selama sekitar 12 jam saja, dan selanjutnya saya kembali dicekam kecemasan. Saat itu, yang bisa sedikit banyak menyamankan saya adalah orang-orang yang dengan sabar mendampingi dengan mendengarkan keluh kesah saya tanpa penghakiman. Saya belum menikah saat itu, tetapi sudah mempunyai calon istri, yang sama sekali tidak mengetahui keadaan saya karena saya tidak bercerita kepadanya.

Si psikiater mengatakan ke saya bahwa bila saya ingin sembuh itu semua tergantung saya mau atau tidak. “Yang bisa menyembuhkan Anda hanya Anda sendiri,” kata si psikiater, yang membuat saya sempat mengamuk. “Lho, Dok, kalau semua tergantung saya, ngapain saya harus ke sini?!” kata saya, membentak si psikiater. Tapi saat itu saya juga teringat artikel dari psikolog ternama Indonesia, Prof. Dr. Sarlito Wirawan Sarwono di koran Kompas dimana beliau menulis “Manusia pada dasarnya bisa berubah, hanya bila itu berasal dari dirinya.”

Si psikiater selanjutnya menyarankan agar saya melakukan apa saja yang ingin saya lakukan selama, terutama, saya mencintai diri saya sendiri—sehingga tidak akan melukai atau membunuh diri saya sendiri. “Kalau Anda mau kabur dari semua yang bikin Anda tertekan, lakukan saja!  Masalah bukan untuk dihadapi, tapi untuk diabaikan kalau kita nggak mau,” kata psikiaternya.

Untungnya, ketika saya menemukan Subud dan akhirnya dibuka saya sudah tidak depresi lagi dan ketika kadang rasa tertekan muncul saya akan menjauh dari penyebabnya. Yang Mulia Bapak juga memberi nasihat agar ketika sesuatu atau seseorang membuat kita tertekan saat itulah sebaiknya kita berhenti berurusan dengannya. Makin lama saya di Subud dan rajin dan tekun melakukan Latihan, saya merasa tidak perlu susah payah lagi berusaha mengelola diri, karena hal itu sudah diambil alih oleh Latihan saya. Saya tinggal rileks saja, seperti yang dianjurkan PP yang saya WhatsApp hari Rabu lalu.

Menilik pengalaman saya ini, saya jadi paham mengapa sebaiknya peminat yang ingin masuk Subud yang menderita gangguan mental agar disembuhkan dahulu. Bukan Latihan tidak bisa mengatasinya tapi dikhawatirkan si peminat belum ada keinsafan bahwa kesembuhannya tergantung sepenuhnya pada dirinya sendiri.2025

 

Pondok Cabe, Tangerang Selatan, 25 Mei 2025

Tuesday, May 20, 2025

Aliran Tak Berujung: Menjelajahi Dinamika Sungai Mamberamo

Ditulis oleh Anto Dwiastoro (sejak 12 Maret 2018 berganti nama menjadi Arifin Dwi Slamet) untuk buklet berjudul Endless Flow: Exploring the Dynamics of the Mamberamo River pada Desember 2009.

 


(Be)cause love is an endless flow

that leaves no afterglow

to the beauty of our life

far away where passions rife

 

~Antichrisis, lirik An Endless Flow

                    

MAMBERAMO. Nama itu selalu mengganggu pikiran saya. Kedekatan daerah itu membangkitkan rasa ingin tahu dan keinginan untuk menggali lebih banyak pengetahuan. Mengapa demikian? Mengapa Mamberamo begitu dijaga? Apakah karena buaya diburu di sana? Apakah karena penduduk asli yang berbahaya? Saya tidak suka pertanyaan-pertanyaan yang tidak terjawab.

Saat itu, Bupati Jayapura, Papua, Habel Melkias Suwae mengajak saya untuk ikut bersamanya dan rombongan, mengunjungi Distrik Airu, daerah yang sebagian besar belum berkembang di kabupaten itu, yang sebagian besar berada di wilayah Sungai Mamberamo. Kami menyusuri wilayah yang luas dengan medan yang hampir belum tereksplorasi. Di sana tinggal suku-suku yang hingga saat ini hampir sepenuhnya tidak tersentuh oleh dunia luar.

Dengan perjalanan ke Mamberamo itu, kami belajar untuk mengantisipasi hal-hal yang tidak terduga. Ini adalah tempat yang dinamis untuk mendapatkan pengalaman yang tak ada habisnya. Jadi, penting bagi Anda untuk mengeksplorasi rencana perjalanan.


Langkah Unik Seorang Bupati

SAYA hadir di sana bersama bupati dan rombongan, serta wartawan. Lokasinya di dermaga sungai di perkebunan kelapa sawit Sinar Mas seluas 13.000 hektar di Lereh Lembah Juk, Distrik Kaureh, Kabupaten Jayapura. Hari itu Senin, 7 Desember 2009.

Kami mengenakan rompi pelampung dan menaiki enam perahu panjang bermotor, yang masing-masing berkapasitas sepuluh hingga 15 orang. Perahu-perahu itu terbuat dari satu batang pohon Matoa yang keras dan utuh. Perahu-perahu itu tidak memiliki lunas yang membentang di bagian tengah, dari haluan hingga buritan, sehingga tidak memiliki kendali arah dan stabilitas. Keberadaan lunas justru membantu perahu untuk bergerak maju, alih-alih tergelincir ke samping.

Namun, inilah yang terjadi pada perahu kami yang tidak memiliki lunas. Kami seperti bermain untung-untungan di mana para peserta menjaga kestabilan perahu dengan meletakkan bagian bawah perahu di sisi yang benar. Jika beruntung, perahu tidak akan terbalik begitu menyentuh air. Dalam kasus saya, saya harus menggeser bagian bawah perahu dari satu sisi ke sisi lain; tergantung sisi mana yang mulai tergelincir, saya hanya mengambil yang sebaliknya. Bayangkan melakukan itu selama delapan jam, di mana pilihan untuk melompat ke air dan melanjutkan perjalanan dengan berenang sama sekali tidak mungkin. Sungai itu dipenuhi ikan dan juga buaya!

Kami menuju pegunungan di selatan, dan berlayar menyusuri Daerah Aliran Sungai (DAS) Nawa. Perjalanan itu seakan tiada akhir. Lancar dan anggun, waktu berlalu begitu cepat. Sebagian besar waktu selama perjalanan, saya memperhatikan Habel Melkias Suwae. Bupati Jayapura yang berusia 53 tahun itu memiliki banyak misi yang harus diselesaikan untuk membangun daerah dan masyarakat di bawah kepemimpinannya. Dilantik sebagai bupati Jayapura untuk masa jabatan kedua (2006-2011), Habel berkomitmen untuk mengembangkan kabupaten yang maju dan mandiri lebih baik daripada lima tahun lalu dan memberdayakan masyarakatnya melalui alokasi dana Otonomi Khusus.

Habel sendirilah yang menggagas program pemberdayaan distrik dan kampung, yang telah berhasil dilaksanakan di kabupaten tersebut, terbukti dengan meningkatnya taraf ekonomi masyarakat. Pada masa jabatan keduanya, ia akan melanjutkan program pembangunan yang telah dilaksanakan lima tahun sebelumnya untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat di daerah ini.

Berpikiran terbuka, jujur, dan egaliter, Habel menerima setiap ide dan gagasan yang disampaikan kepadanya selama dapat mendukung keberhasilan pembangunan di daerahnya. Memprioritaskan pariwisata sebagai salah satu cara meningkatkan perekonomian merupakan salah satu langkah unik yang diambilnya. Hal ini dinilai unik, karena pada umumnya kepala-kepala daerah lain di Indonesia lebih menitikberatkan pada pertanian atau industri. Berkat dukungan berbagai pihak, Habel justru menempatkan pertanian dan industri dalam konteks pariwisata.

Sering menghabiskan akhir pekannya dengan memancing, Ketua Dewan Pimpinan Daerah Papua dari Partai Golkar ini gemar bersikap praktis. Alih-alih menunggu informasi dan data dari pimpinan dinasnya, Habel menggagas ekspedisi Mamberamo hanya untuk mengetahui apa yang dibutuhkan warganya dan langkah apa yang harus diambil untuk memajukan daerah tertinggal di Kabupaten Jayapura.

Kecamatan Airu terdiri dari empat desa—atau kampung, karena masing-masing kampung memiliki tidak lebih dari 20 rumah, yaitu Aurina, Hulu Atas, Muara Nawa, dan Pagai. Kampung-kampung ini tersebar dari DAS Nawa hingga wilayah Sungai Mamberamo.

Persebaran penduduk kabupaten ini terpusat di wilayah yang menjadi pusat pemerintahan dan pusat perekonomian. Hal ini dapat dilihat di Distrik Sentani. Sebagai pusat pemerintahan dan perekonomian, Distrik Sentani memiliki jumlah penduduk terbanyak, sedangkan jumlah penduduk terkecil terdapat di Distrik Airu.

Kabupaten Jayapura membawahi 19 distrik, termasuk Distrik Airu yang dikunjungi Habel saat ekspedisi Mamberamo. Sebagian dari kami dalam rombongan belum pernah ke sana sebelumnya. Habel pernah ke sana dalam kapasitasnya sebagai ketua DPRD provinsi. Tak heran jika ia hanya duduk santai namun tegap di perahunya selama perjalanan, meski arus sungai agak deras.

Di akhir perjalanan perahu selama delapan jam, kami menemukan Kampung Aurina I, yang penduduknya nomaden dan dikenal sebagai pejuang Sungai Mamberamo. Di sana kami bermalam, dengan rencana untuk melanjutkan perjalanan keesokan paginya. Namun, kami harus menelan kekecewaan setelah diberitahu oleh seorang warga setempat—yang dijuluki “Tuan Mamberamo”, orang yang tahu segalanya tentang sungai tersebut—bahwa Mamberamo sedang marah. Saat air pasang, akan muncul pusaran air. Dan kampung berikutnya yang akan kami kunjungi terletak di muara DAS Nawa (maka nama kampung tersebut adalah Muara Nawa atau “Mulut Nawa”), yang juga merupakan titik pertemuan sungai Nawa dan Mamberamo.

 

Gubuk-gubuk di Kampung Aurina II, sebuah kampung dengan penduduk nomaden di Distrik Airu, Kabupaten Jayapura, Papua.


Dengan bijaksana, Habel memutuskan bahwa kami akan tinggal di Aurina hingga hari Rabu, lalu kembali ke dermaga di perkebunan kelapa sawit Sinar Mas. Selama waktu itu, Habel meresmikan gereja baru kampung itu, gedung sekolah, dan balai kampung. Sementara itu, kami mengisi waktu luang dengan mengikuti kelompok berburu, yang terdiri dari beberapa tentara, polisi, serta penduduk Kampung Aurina. Saya mengamati kontras dalam teknologi yang digunakan untuk berburu: para tentara dan polisi mengandalkan kecanggihan senapan serbu mereka, sementara penduduk setempat masih menggunakan busur dan anak panah. Namun, keduanya menunjukkan keefektifan praktis dalam menguasai perburuan.

Selain itu, saya dan mitra saya hanya berkeliling, dan belajar tentang kehidupan kampung terpencil yang masih belum terjangkau listrik dan air bersih. Penduduk setempat bergantung pada panel surya yang dipasang di atap rumah-rumah sementara mereka, atau generator bertenaga diesel. Sumber daya alam kampung itu sangat melimpah. Penduduk desa sangat bergantung pada sumber daya ini.

 

Perahu-perahu yang terbuat dari batang pohon di dermaga Kampung Aurina I, Distrik Airu, Kabupaten Jayapura, Papua. Dermaga kayunya hancur tersapu banjir besar yang melanda DAS Nawa.


Rumah dari Ketua Adat Kampung Aurina I, Distrik Airu, Kabupaten Jayapura, Papua.

Orang Papua menjunjung tinggi perilaku baik dan hubungan dengan alam. Misalnya, jika ada orang yang membuang sampah sembarangan di sungai dan merusak lingkungan, maka mereka akan mendapatkan balasan berupa banjir yang berasal dari sungai. Orang Papua diajarkan oleh para leluhur mereka untuk meminta bantuan roh leluhur. Hutan, pohon besar, batu, gunung, dan benda alam lainnya juga merupakan bagian dari sistem lingkungan alam Papua. Itulah konsepsi tentang kehidupan, lingkungan, dan habitat.

Landasan Pacu yang Miring

JARAK yang jauh dan letak geografis menjadi kendala tata kelola pemerintahan baik di tingkat distrik maupun tingkat kabupaten. Kepala distrik yang biasa disapa “Pak Distrik” mengatakan bahwa kampung terdekat dengan Aurina, Muara Nawa, berjarak empat jam perjalanan. Dua kampung Airu lainnya, Hulu Atas dan Pagai, terletak di tepi Sungai Mamberamo. Ketiga desa tersebut tidak dapat dijangkau dengan perahu saat air pasang, yang sering kali menyebabkan pusaran air yang dapat menenggelamkan perahu yang nekat memasukinya. Pak Distrik juga mengatakan bahwa ia membutuhkan waktu seharian untuk mencapai kantornya dari Aurina dengan perahu bermotor berkekuatan 150 tenaga kuda.

Pilihan lainnya adalah pesawat kecil berbaling-baling, yang sebagian besar lepas landas dari Bandara Sentani di Jayapura. Setiap kampung memiliki landasan pacu sendiri di sekitarnya; yang kami temukan di Aurina berupa hamparan rumput, dikelilingi dedaunan dan semak belukar. Landasan pacu terletak di sebidang tanah yang miring di separuh bagian lainnya, jadi pesawat kecil yang mendarat di landasan pacu harus menanjak, dan meluncur menuruni bukit saat lepas landas!

Sebuah lahan terbuka yang miring antara Kampung Aurina I dan dermaganya berfungsi sebagai landasan pacu bagi pesawat-pesawar kecil yang membawa pasokan makanan dan obat-obatan untuk penduduk kampung.

Masalah transportasi menjadi salah satu alasan mengapa Distrik Airu masih menjadi daerah terbelakang di Kabupaten Jayapura. Masyarakat setempat di Aurina, misalnya, hanya mengandalkan perahu kayu bertenaga manusia untuk mencapai pusat ekonomi terdekat, yang biasanya memakan waktu tiga hingga lima hari. Jika air pasang dan mereka harus melawan arus, waktu tempuhnya akan jauh lebih lama. Selama ini, penyediaan logistik diurus oleh Pak Distrik yang berangkat sendiri ke Jayapura melalui sungai atau, jika anggaran memungkinkan, menggunakan pesawat.

Apotek Terbesar di Dunia

HUTAN hujan tropis dijuluki sebagai “apotek terbesar di dunia”, karena banyaknya obat-obatan alami yang ditemukan di sana. Dibentuk pada tahun 2004 sebagai hasil pemekaran Kabupaten Jayapura, Distrik Airu hampir seluruhnya ditutupi oleh hutan hujan yang masih alami. Pandanus conoideus, atau buah merah, adalah buah tradisional dari Papua, yang melimpah di hutan hujan Airu. Penduduk setempat menyebutnya kuansu, dan secara tradisional diyakini sebagai suplemen yang baik sebagai obat kulit dan mata, dan untuk mengobati cacingan.

Hutan merupakan potensi sumber daya bagi distrik dan kabupaten, serta bernilai ekonomis karena menghasilkan berbagai jenis hasil perkebunan dan juga sebagai habitat satwa liar. Oleh karena itu, kawasan ini juga berpotensi sebagai destinasi ekowisata. Apalagi mengingat hutan hujan tropis dunia yang semakin menipis dan berdampak pada pemanasan global.

Lebih dari separuh spesies tumbuhan dan hewan di dunia ditemukan di hutan hujan. Hutan hujan mendukung berbagai macam fauna termasuk mamalia, reptil, burung, dan invertebrata. Diperkirakan bahwa jutaan spesies tumbuhan, serangga, dan mikroorganisme masih belum ditemukan di daerah tersebut. Namun, kami berdua berhasil menemukan beberapa rusa dengan tanduk yang sudah tumbuh, kasuari, dan babi hutan muncul di antara pepohonan dan semak belukar. Beberapa buaya terlihat berenang di sungai atau berjemur di tepi sungai yang berlumpur, yang menjawab pertanyaan kami, mengapa tidak ada yang berenang di sungai. Elang botak, yang sudah punah di tempat-tempat lain di kepulauan Indonesia, masih dapat terlihat terbang atau hanya berdiri santai di dahan pohon. Kami belum pernah melihat kakatua koki (Cacatua galerita) dan bangau putih di luar kebun binatang sebelumnya, tetapi ada banyak dari mereka, “bebas seperti burung”, di sekitar DAS Nawa.

Lembah Sungai Mamberamo yang luas merupakan rumah bagi berbagai masyarakat terpencil dan keanekaragaman hayati yang luar biasa. Pada tahun 1990-an, Pemerintah Indonesia berencana membangun bendungan hidroelektrik besar di Mamberamo yang akan menenggelamkan sebagian besar wilayah tersebut. Rencana ini ditangguhkan setelah krisis keuangan Indonesia tahun 1998-1999, tetapi ada kekhawatiran dari kelompok-kelompok lingkungan bahwa rencana tersebut dapat dihidupkan kembali di masa mendatang.

Wilayah Mamberamo juga secara umum merujuk pada beberapa pegunungan di dekatnya, termasuk Pegunungan Van Rees dan Foja (juga dikenal sebagai Foya), yang menjadi subyek penilaian biologis cepat terkini yang dilakukan oleh Conservation International, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, dan Universitas Cenderawasih. Tim ilmiah tersebut menemukan spesies burung baru pertama dari Nugini dalam 60 tahun, dan kekayaan tanaman dan hewan baru lainnya. Pegunungan Foya tampaknya merupakan gudang keanekaragaman hayati yang luar biasa di dunia.

Keberhasilan ekspedisi ini menantang kami untuk kembali! Mamberamo memperkaya perjalanan kami dengan berbagai kemungkinan baru. Sama seperti sungai, aliran pengalaman yang akan didapatkan seseorang saat menyusuri daerah ini tidak ada habisnya.©2025


Diterjemahkan di Pondok Cabe, Tangerang Selatan, 20 Mei 2025

“Doors to the Unknown”

Kutipan kata pengantar saya untuk buku meja kopi Doors to the Unknown—The Story of Sentani in the Jayapura Regency of Papua (Jakarta: TSA Komunika, 2009)


SAYA belum pernah ke Papua ketika diminta menulis buku tentang Sentani di Kabupaten Jayapura, Papua, bagian Indonesia dari Nugini. Namun, saya mendengar banyak hal—yang negatif, dari jauh. Perang suku, kerusuhan, pembunuhan, pemberontakan, serta upaya memecah belah yang dilakukan oleh apa yang disebut Organisasi Papua Merdeka. Saya telah bertanya kepada orang-orang yang pernah ke Papua; sering kali menemukan kerajinan tangan dari tempat paling timur di kepulauan Indonesia ini—koteka (sarung penis khas Papua), kain kulit kayu yang dicat, dan dayung kayu berukir.

Tentu saja saya sudah membaca tentang Papua, berdiskusi tentang Papua, menulis selebaran dan naskah video profile tentang pariwisata di Sentani dan Festival Danau Sentani, dan dalam dua tahun terakhir ini, menyaksikan berbagai acara yang sedang berlangsung, atau tampaknya sedang berlangsung, di layar televisi. Saya sudah banyak melihat Papua di majalah dan film dokumenter, beberapa di antaranya meyakinkan keasliannya, juga banyak film layar lebar yang didramatisasi dan gambar-gambar statis Papua yang tak terhitung jumlahnya: foto dan lukisan dengan tingkat realisme yang bervariasi. Namun, saya belum pernah ke Papua sebelumnya. Dan saya semakin yakin bahwa saya tidak punya banyak gambaran tentang seperti apa tempat itu sebenarnya.

Tak satu pun dari pernyataan ini dan tak satu pun dari pengalaman ini yang luar biasa. Karena sangat, sangat sedikit orang Indonesia, apalagi ekspatriat, yang telah belajar secara langsung pengetahuan tentang Papua, dan khususnya Sentani, yang melambangkan kemegahan tanah kelahiran mereka. Namun, saya perlu bersentuhan langsung dengan Papua sebelum saya dapat mulai menulis buku ini. Pada saat yang sama ketika saya menginjakkan kaki di Sentani, seperti orang lain yang belum pernah ke sana sebelumnya, saya merasa telah membuka pintu menuju hal-hal yang tidak diketahui.

Menghabiskan waktu seminggu di antara orang Papua yang tinggal di daerah Danau Sentani serta di bagian lain Kabupaten Jayapura secara tak terduga membuat saya menyadari bahwa saya telah bersentuhan dengan banyak hal yang sebelumnya tidak saya ketahui. Saya belajar sejarah saat kuliah, terutama sejarah pertempuran yang terjadi di Indonesia selama pendudukan Jepang (1942-1945) dan Perang Kemerdekaan (1945-1949), tidak satu pun dari sejarah tersebut yang membuat saya mengetahui apa yang terjadi di bagian lain Nusantara selain Jawa dan Sumatera. Hal ini mungkin karena sejarah Indonesia sengaja dirancang untuk menjadi “berpusat pada Jawa”, karena dua presiden pertama Indonesia adalah orang Jawa.

Jadi, di sanalah saya berdiri—seorang pria keturunan Jawa dan Sumatera, yang belum pernah ke bagian wilayah Indonesia yang lebih jauh dari Jawa, Bali, Kalimantan Timur dan Tengah. Tempat ini, yang dikenal sebagai Irian Jaya adalah provinsi terbesar di Indonesia, namun hampir tidak ada orang Indonesia yang mengenal apa yang ada di balik pintunya. Pers telah menjadi sumber informasi utama tentang Papua selama ini, dan apa yang muncul di layar televisi, di halaman majalah dan surat kabar berita, atau radio sebagian besar adalah apa yang dianggap layak diberitakan dalam hal masyarakat yang tergila-gila pada sensasi. Pantai yang menakjubkan, peristiwa sejarah yang mengagumkan, wajah-wajah adat yang ramah, permukaan danau yang besar dan berkilauan, dan festival budaya yang diadakan setiap tahun di tepi sebuah danau tentu saja tidak termasuk di dalamnya.

Buku ini mengisahkan pengalaman saya dan mitra saya selama satu minggu menjelajahi Kabupaten Jayapura, khususnya Distrik Sentani, yang membangkitkan semangat kami untuk memulai perjalanan menemukan sisi Papua yang indah. Pengalaman ini akhirnya membawa kami untuk membuka pintu ke hal-hal yang tidak diketahui.©2025


Diterjemahkan di Pondok Cabe, Tangerang Selatan, 20 Mei 2025

Gaya Hidup Sederhana Pak Dja’i

Ditulis dalam bahasa Inggris oleh Anto Dwiastoro (sejak 12 Maret 2018 menjadi Arifin Dwi Slamet) untuk Mata edisi ke-4 (Maret 2002), buletin resmi PT Grand Interwisata (anggota PT Dharmala Intiland).


Masyarakat Tengger tidak bisa dipisahkan dari Gunung Bromo. Wong Tengger, sebutan untuk masyarakat asli Tengger yang tinggal di pegunungan sekitar Gunung Bromo, dikenal tidak memiliki kasta dan mencintai kehidupan yang damai. (Sumber: Medium.com)

 

MENJALANI hidup sederhana dan tidak memiliki pikiran yang kacau, seperti yang dilakukan kebanyakan orang modern, adalah rahasia awet muda. Setidaknya, itulah pandangan pribadi Soedja’i, kepala adat masyarakat Tengger. Dikenal di kalangan masyarakat Tengger dengan sebutan Pak Dja’i, dukun (sebutan setempat untuk “ketua adat”) Tengger itu berpendapat bahwa cara hidup sederhana yang dilakukan oleh masyarakat yang telah hidup selama berabad-abad di Pegunungan Tengger (Bromo-Semeru) mampu menciptakan keharmonisan dan kedamaian, yang jarang ditemukan di dunia kontemporer.

 

Lahir di desa Ngadisari, Bromo, 70 tahun lalu (artikel ini aslinya ditulis tahun 2002), warga asli Tengger ini terlihat jauh lebih muda dari usianya yang sebenarnya. Apa resepnya agar tetap awet muda? “Saya menjalani hidup sederhana dan menghindari pikiran yang kacau,” kata Pak Dja’i kepada saya.

Dalam wawancara eksklusif dengan ketua adat Tengger yang memimpin empat desa Tengger dengan jumlah penduduk di bawah 1.500 jiwa itu, Pak Dja’i menyampaikan banyak ajaran moral yang sudah dipraktikkan oleh masyarakat Tengger sejak zaman nenek moyang mereka.

Pak Dja’i bangga karena pemuda Tengger saat ini masih melestarikan adat istiadat yang diwariskan oleh leluhur mereka. Pak Dja’i sendiri tidak tahu persis mengapa para pemuda masih meneruskan tradisi “pulang kampung”, meskipun saat ini ada beberapa anak Tengger yang memilih untuk bersekolah di banyak daerah lain di Jawa Timur. “Mereka selalu kembali ke Tengger. Meskipun mereka sudah berpendidikan, mereka memilih untuk bertani di kampung halaman, daripada mencari pekerjaan di kota. Saya tidak tahu mengapa,” jelas Pak Dja’i. Yang lebih mengejutkan adalah meskipun Bromo telah menjadi tujuan wisata internasional, yang menyebabkan menjamurnya bisnis perhotelan di daerah tersebut, orang Tengger tidak tertarik untuk bekerja di bidang lain selain bertani.

“Di sini ada tradisi berkumpul keluarga di rumah, di mana dalam situasi seperti itu orang tua mendekatkan anak-anaknya dengan ajaran moral,” imbuh mantan anggota DPRD Probolinggo periode 1982-1997 itu, yang salah satu putrinya menikah dengan orang luar, dan suaminya memilih tinggal di Tengger untuk menjadi petani. “Mungkin ini salah satu hal yang menyebabkan pemuda Tengger selalu rindu untuk pulang kampung.”

Masyarakat Tengger, diakui Pak Dja’i, memiliki tradisi saling menghormati dan menghargai antar sesama manusia selama berabad-abad. Itulah sebabnya tidak pernah muncul konflik di antara masyarakat Tengger. Pak Dja’i memberikan contoh toleransi beragama antara masyarakat desanya yang beragama Hindu dengan masyarakat desa tetangga yang beragama Islam. Untuk melestarikan budaya dan adat istiadatnya, meskipun masyarakat Tengger berperilaku secara terbuka, mereka tetap menjalankan kebiasaan hidup yang diwariskan dari satu generasi ke generasi berikutnya.

Cara hidup yang sederhana dan jauh dari konflik juga membuat permukiman Tengger menjadi tempat yang tertib dan damai. “Kalau motor diparkir di depan rumah dengan kunci starter masih menyala atau tidak dikunci, saya jamin tidak akan ada yang mencuri,” tutur Pak Dja’i yang menjadi kepala adat secara turun temurun dari ayahnya. “Kejahatan di sini hanya dilakukan oleh orang luar,” imbuh bapak tiga anak ini. Kok bisa? Pak Dja’i menekankan pentingnya takut akan karma, yaitu sesuatu yang buruk yang menimpa seseorang karena perbuatan di kehidupan sebelumnya. “Kalau saya mencuri satu jarum, suatu hari saya harus membayarnya dengan kapak. Dan harga satu kapak lebih mahal daripada harga satu jarum,” tutur Pak Dja’i mencontohkan tentang karma.

“Manusia harus takut kepada kekuasaan Yang Maha Kuasa,” kata Pak Dja’i menjelaskan prinsip moral yang diterapkan oleh masyarakat Tengger dalam kehidupan sehari-hari. “Yang Maha Kuasa akan menilai perilaku kita di dunia ini.” Masyarakat Tengger yang sepenuhnya sadar akan keberadaan Tuhan, karenanya akan selalu menjaga perilaku baiknya. Hal itu akan terlihat ketika Anda mengunjungi permukiman Tengger, di mana masyarakatnya bersikap ramah dan menyambut Anda.

Budaya dan adat Tengger, khususnya ajaran moralnya, telah dipelajari dan diteliti oleh banyak orang luar, yang kabarnya menjadi dasar kursus penataran P4 (Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila) pada masa Orde Baru (1967-1998). “Orang Tengger tidak mengerti apa itu kursus P4, karena sila Pancasila sudah ditaati orang Tengger sejak lama,” kata Pak Dja’i, yang juga menjelaskan bahwa Tengger bukanlah suku, sebagaimana kebanyakan orang luar menyebutnya, melainkan masyarakat. Suku memiliki bahasanya sendiri, tetapi orang Tengger berbicara bahasa Jawa sebagaimana orang Jawa lainnya.©2025


Diterjemahkan oleh Arifin Dwi Slamet di Pondok Cabe, Tangerang Selatan, 20 Mei 2025

Penundaan yang Menyelamatkan

“Karena itu jalan yang sebaik-baiknya tidak lain daripada apabila manusia dengan seluruh yang ada dalam dirinya suka berhenti, suka berhenti, suka diam dengan sadar, dengan tenangnya. Maka di situlah manusia akan dapat menerima, akan dapat merasakan sentuhan hidup, sentuhan daya hidup yang meliputi seluruh alam, seluruh dirinya."

 

~Bapak Muhammad Subuh, San Francisco, Amerika Serikat, 26 Maret 1958

 

 

SESEORANG pernah berkata, “Saya tidak mendoakan kesehatan atau kekayaan kepada orang-orang. Saya mendoakan mereka beruntung. Karena orang-orang di Titanic dalam keadaan sehat. Mereka kaya. Tapi mereka tidak beruntung.”

 

Itu membuat Anda berhenti dan berpikir.

 

Pasca serangan teroris terhadap World Trade Center di New York City, Amerika Serikat, 11 September 2001, banyak orang menyampaikan cerita. Cerita tentang bagaimana mereka selamat, bukan karena pilihan, tapi karena kebetulan.

 

Seorang pria hidup karena dia mengantar putranya pada hari pertamanya di taman kanak-kanak. Yang lain selamat karena gilirannya membawa donat ke tempat kerja. Ada orang lainnya yang ketinggalan kereta. Ada yang terjebak kemacetan. Seorang wanita terlambat bangun tidur karena alarm jamnya tidak berbunyi. Ada yang tidak sengaja menumpahkan kopi ke bajunya dan harus ganti baju. Ada orang yang mobilnya tidak mau menyala mesinnya. Ada yang kembali ke rumah untuk menjawab panggilan telepon. Satu orang terlambat karena anaknya sangat lamban. Dan ada seorang pria yang tidak bisa mendapatkan taksi.

 

Itu hanya hal-hal kecil. Hal-hal biasa. Namun momen-momen kecil itu mengubah bagaimana hari itu berlangsung.

 

Sejak saya membaca cerita-cerita ini, saya mulai berpikir secara berbeda.

 

Sekarang, jika saya terlambat, jika saya melupakan sesuatu dan harus kembali ke tempat semula, jika pagi saya kacau tanpa alasan yang jelas, saya mencoba mengingatkan diri saya sendiri: Mungkin ini bukan nasib buruk. Mungkin saya berada tepat di tempat yang saya inginkan. Mungkin ada sesuatu yang melindungi saya dari apa yang bahkan tidak dapat saya lihat.

 

Jadi, jika lain kali segala sesuatunya tidak berjalan sesuai keinginan Anda, kunci mobil hilang, lalu lintas macet parah, rencana Anda berantakan, berhentilah sebentar. Tarik napas. Mungkin ini bukan suatu kemunduran. Mungkin hidup sedang membantu Anda secara diam-diam.

 

Karena terkadang, Penundaan yang membuat kita frustrasi justru yang akan menyelamatkan kita.©2025

 

 

Pondok Cabe, Tangerang Selatan, 20 Mei 2025

Saturday, May 17, 2025

Campur Tangan Tuhan

SAYA menjadi copywriter awalnya bukan karena saya pernah bercita-cita menjadi copywriter. Selepas kuliah enam tahun di Jurusan Sejarah Fakultas Sastra Universitas Indonesia, saya benar-benar tidak tahu apa yang harus saya lakukan dengan ilmu saya maupun hidup saya. Cita-cita masa kecil menjadi tentara sudah pupus sejak tamat SMA, tersisa fokus saya pada sejarah militer dan kajian strategi perang.

Lantaran tidak sengaja membaca surat panjang yang sedang saya tulis untuk pacar saya (saya menjalin hubungan jarak jauh antara Jakarta dan Surabaya), sahabat dan teman kuliah saya yang kala itu sedang bertamu ke rumah saya berkomentar, “Tulisan lo mengalir, enak bacanya. Seharusnya lo menjadi copywriter di biro iklan.”

Saya tidak memiliki gambaran sama sekali di benak saya saat itu tentang apa itu copywriter. Teman saya juga tidak terlalu memahaminya, tetapi ia menyarankan saya berbicara dengan teman-teman kami di universitas yang telah menjajal profesi tersebut.

Saya tidak melakukan sarannya itu. Tetapi, sepertinya ada campur tangan Tuhan dalam hidup saya, kira-kira setahun setelah teman saya melontarkan komentar itu saya terseret ke dunia periklanan menyusul sebuah biro iklan mencari ahli sejarah lulusan universitas untuk meneliti dan menuliskan 25 tahun sejarahnya. Duapuluh empat Oktober 1994, saya mulai menjejakkan kaki di industri periklanan. Belum tersedianya ruang kerja buat saya menyebabkan saya sementara harus bekerja di ruangan perpustakaan.

 

Perpustakaan Matari Advertising dan kepala perpustakaannya, Ibu Emiwaty Kuntjoro-Jakti, istri dari Dorodjatun Kuntjoro-Jakti yang merupakan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian pada Kabinet Gotong-Royong (2001-2004). (Sumber: Sonofmountmalang.wordpress.com)


Pemandangan lumrah yang saya saksikan tiap hari kerja selama saya menempati Perpustakaan Matari Advertising di lantai tiga gedung Puri Matari 1, Jl. HR Rasuna Said No. 5, Kuningan, Jakarta Selatan. (Sumber: Sonofmountmalang.wordpress.com)

Karena periklanan masih merupakan sesuatu yang sangat asing bagi saya, keberadaan saya di perpustakaan saya manfaatkan seoptimal mungkin untuk mempelajari industri berbasis komunikasi ini dengan membaca semua buku dan majalah yang ada di koleksinya. Delapan buku copywriting merebut perhatian saya dan khususnya buku Alastair Crompton yang berjudul The Craft of Copywriting memastikan saya bahwa saya ingin mengukir karir saya di periklanan sebagai copywriter. Tigapuluh tahun sejak itu saya masih melakukannya dan belum merasa ingin berhenti.©2025


Pondok Cabe, Tangerang Selatan, 17 Mei 2025

Sunday, May 4, 2025

Latihan di Subud Ranting Pamulang

 

Pendopo Wisma Barata Pamulang.

SAYA mulai rutin melakukan Latihan Kejiwaan di Subud Ranting Pamulang pada 14 Desember 2022. Sejak tanggal itu dan seterusnya, tiap Rabu malam dan Sabtu malam saya mengendarai sepeda motor saya dari rumah saya di Pondok Cabe ke Wisma Bharata Pamulang, di Jl. Wisma Barata No. 39, Pamulang Barat, Tangerang Selatan, sejauh 6,9 kilometer.                     

Suasana hening Wisma Barata yang membuat saya senang menyambanginya untuk Latihan rutin saya tiap minggu, sehingga untuk mendapatkan atmosfer itu saya kerap tiba satu jam lebih awal dari waktu Latihan. Kopi hitam nikmatnya sudah tersedia di meja di teras Rumah Bapak. Kabarnya kopi itu sudah melegenda sejak lebih dari 15 tahun lalu, dan uniknya, tidak ada yang tahu, bahkan para asisten rumah tangga Ibu Rahayu, apa nama merek dari kopi tersebut.

Latihan di Pamulang dilakukan berbarengan waktunya untuk pria dan wanita, di dua tempat yang berbeda. Hari Rabu pukul 20.00 s.d. 21.00 WIB pria di Rumah Bapak, sedangkan wanita di Pendopo; dan hari Sabtu pukul 20.00 s.d. 21.00 WIB pria di Pendopo dan wanita di Rumah Bapak.

Lokasi Hall Subud Pamulang dapat ditemukan di Google Maps. Berikut tautannya: https://maps.app.goo.gl/tnW1wwLV1zzJPcnU9?g_st=aw

Tersedia tempat untuk parkir mobil dan sepeda motor di areal Wisma Barata. Karena merupakan kawasan residensial, maka para anggota Subud yang melakukan Latihan di Wisma Barata Pamulang tidak diperkenankan untuk nongkrong atau berada lama-lama di sana. Kecuali pada hari Sabtu Wage malam hari, dimana pengurus Ranting Pamulang menggelar Wagean dengan pemutaran rekaman ceramah Bapak atau Ibu Rahayu, Latihan bersama dan ramah-tamah yang diwarnai dengan makan malam secara prasmanan. Itupun dibatasi hanya hingga jam 23.00.

P.S.: Postingan ini untuk menjawab demikian banyaknya pertanyaan dari anggota Subud di berbagai daerah dan negara mengenai jadwal Latihan di Subud Ranting Pamulang.


Latihan at the Pamulang Subud Group

I started doing the Latihan Kejiwaan routinely at the Pamulang Subud Group on December 14, 2022. From that date onwards, every Wednesday and Saturday night I ride my motorbike from my house in Pondok Cabe to Wisma Barata Pamulang, at Jl. Wisma Barata No. 39, West Pamulang, South Tangerang, a distance of 6.9 kilometers (4.2 miles).                     

The quiet atmosphere of Wisma Barata makes me feel delighted to visit it for my weekly routine Latihans, so to get that atmosphere I often arrive an hour earlier than the Latihan time. The tasty aromatic black coffee is already available on the table on the terrace of Bapak’s house. It is said that the coffee has been legendary for more than 15 years, and uniquely, no one knows, not even Ibu Rahayu’s household assistants, what the brandname of the coffee is.

Latihans in Pamulang is done simultaneously for men and women, in two different places. On Wednesdays at 8 to 9 p.m. Western Indonesia Time with men at Bapak’s House, while women at the Pendopo; and on Saturdays at 20.00 to 21.00 WIB with men at the Pendopo and women at Bapak’s House.

The location of the Pamulang Subud Hall can be found on Google Maps. Here is the link: https://maps.app.goo.gl/tnW1wwLV1zzJPcnU9?g_st=aw

There is a space for car and motorcycle parking in the Wisma Barata area. Because it is a residential area, Subud members who do Latihan at Wisma Barata Pamulang are not allowed to hang out or stay there for long after Latihan hours. Except on Wage Saturday evenings, where the Pamulang Group committee holds Wagean with the playing of a recording of talks by Bapak or Ibu Rahayu, group Latihans and a friendly gathering enlivened by a buffet dinner. Even then it is limited to 11 p.m.

P.S.: This post is to answer the inquiries from Subud members in various regions in Indonesia and countries regarding the Latihan schedule at Pamulang Subud Group.©2025


Pondok Cabe, Tangerang Selatan, 4 Mei 2025

Stasiun Tua Saksi Bisu LDR

 

Tampak depan Stasiun Wonokromo pada 21 Juni 2020. Foto dibuat oleh Rizal Febri Ardiansyah.

AKHIR bulan Januari 1994, dimulailah karir hubungan jarak jauh atau long-distance relationship (LDR) saya dengan Arek Suroboyo yang kini telah menikah dengan saya selama hampir 28 tahun. Meski menyetujui, tak pelak kedua orang tua saya sempat menggerutu.

Kok jauh sekali? Nggak kasihan kamu sama Mama kalau nanti lamaran?” keluh ibu saya. “Apakah nggak ada cewek lagi di Jakarta sampai harus jauh-jauh ke Surabaya?” kata ayah saya. Itulah reaksi kedua orang tua saya ketika saya umumkan ke beliau-beliau perihal jadiannya saya dengan Nana, arek Tanjung Perak, Surabaya.

Tidak pernah terbayangkan oleh saya bahwa saya bakal melakukan LDR. Ketika menyatakan cinta ke dia, tidak pula saya pertimbangkan jarak jauhnya. Mungkin karena cinta itu buta, jarak lebih dari 780 km dari rumah orang tua saya di Jl. Pondok Jaya VII, Mampang Prapatan, Jakarta Selatan, ke rumah calon mertua saya di Jl. Ikan Mungsing VI, Krembangan, Surabaya Utara, terasa dekat sekali.

Karena fobia terbang, dan juga karena saya pehobi kereta api, maka kereta apilah yang mendekatkan jarak rindu kami. Selama pacaran tiga tahun dan delapan bulan, KA Jayabaya Selatan menjadi tunggangan saya. Ada yang tanya mengapa saya tidak memilih kereta api yang lewat Lintas Utara Jawa, yang terminusnya di Stasiun Surabaya Pasarturi yang notabene dekat dengan rumah pacar saya? Dan ketika naik KA Jayabaya Selatan pun saya turun di Stasiun Wonokromo, bukan di Stasiun Surabaya Kota (Semut) yang juga relatif dekat dengan rumahnya.

Alasannya, karena Stasiun Wonokromo dekat dengan Terminal Joyoboyo, dari mana berangkat bemo-bemo alias angkot menuju rumah famili saya di Pabean, Sedati, di Kabupaten Sidoarjo, dan juga ke Real Estate Wisma Waru Indah (Rewwin), juga di Sidoarjo, di mana rumah famili saya lainnya berlokasi. Di kedua rumah itu secara bergantian saya menginap selama saya mengapeli pacar saya.

Kereta api yang saya tumpangi dari Jakarta biasanya tiba di Stasiun Wonokromo (kode: WO) saat dini hari, sekitar jam dua pagi. Biasanya, saya keluyuran dulu di sepanjang peron WO atau duduk beristirahat di ruang tunggunya. Kadang saya keluar dari areal stasiun untuk mencari sarapan. Ada warung kopi yang menyediakan nasi dan aneka lauk dan ibu-ibu penjual pecel di muka bangunan utama Stasuin Wonokromo. Di situ saya akan mengisi perut, menyeruput kopi, sambil menunggu matahari terbit. Lalu saya akan menyeberangi jalan menuju sisi jalan dimana angkot berbodi hijau tujuan Sidoarjo telah berjejer.

Lalu lintas kereta api di Stasiun Wonokromo cukup ramai, dari pagi hingga dini hari, sehingga bagi saya nongkrong sendirian di peronnya ketika hari masih gelap tidak mengkhawatirkan. Stasiun Wonokromo menjadi saksi bisu seorang bucin yang rela LDR demi cinta.

Mulai beroperasi pada 16 Mei 1878 sebagai bagian dari jalur kereta api pertama yang menghubungkan Surabaya dan Pasuruan, Stasiun Wonokromo dibangun oleh Staatsspoorwegen (SS), perusahaan kereta api milik pemerintah kolonial.

Meskipun kini merupakan salah satu dari empat stasiun besar di wilayah Kota Surabaya, Stasiun Wonokromo tidak mencantumkan identitas “Surabaya” pada namanya, sebagaimana Stasiun Surabaya Gubeng (SGU), Stasiun Surabaya Kota (SB), dan Stasiun Surabaya Pasarturi (SBI). Ini kemungkinan karena semasa Hindia Belanda Wonokromo tidak masuk wilayah Kota Surabaya, melainkan di Distrik Jabakota. Istilah Jabakota digunakan untuk menyebut wilayah terluar yang menjadi bagian pengawasan, yang dahulu terletak di sekitar Wonokromo.

Ketika baru diresmikan, bangunan Stasiun Wonokromo masih sangat sederhana, karena fungsinya hanya untuk menunjang penyaluran hasil perkebunan dari daerah sekitar Surabaya, seperti Pasuruan, sebelum dikapalkan melalui pelabuhan Tanjung Perak ke Eropa. Tahun 1894, Stasiun Wonokromo menjadi stasiun persilangan yang besar, yang terhubung dengan jalur kereta api Surabaya-Solo yang selanjutnya menyambung ke Batavia.

Ketika kilang minyak Wonokromo dibangun pada tahun 1889 pasca ditemukannya minyak di daerah konsesi Jabakota oleh De Dordtsche Petroleum Maatschappij (1887) dan menghasilkan minyak pelumas juga, Stasiun Wonokromo kian ramai karena digunakan sebagai stasiun untuk mendistribusikan hasil minyak dan pelumas ke sejumlah daerah.

Seiring perjalanan waktu, Stasiun Wonokromo tidak lagi hanya digunakan untuk mendistribusikan hasil perkebunan maupun minyak, namun juga menjadi tempat naik-turunnya penumpang kereta api. Untuk itu, pada tahun 1901, bangunan stasiun yang sederhana dirombak dan diperluas, lalu pada tahun 1918 dilakukan renovasi Stasiun Wonokromo dengan langgam arsitektur yang bisa kita saksikan sekarang ini.

Dewasa ini, Stasiun Wonokromo merupakan pintu menuju ke pusat kota Surabaya dari arah selatan. Kereta api-kereta api kelas Ekonomi dan komuter mendominasi kesibukan stasiun ini. Selain itu, WO telah ditetapkan oleh Pemerintah Kota (Pemkot) Surabaya sebagai bangunan cagar budaya (BCB) sesuai dengan Surat Keputusan Walikota Surabaya No. 188.45/504/436.1.2/2013, dan pihak PT Kereta Api Indonesia (Persero) telah melengkapi plakat yang dipasang oleh Pemkot Surabaya dengan membuat prasasti yang diletakkan di bawah plakat, yang mempertegas bahwa bangunan Stasiun Wonokromo ini merupakan bangunan bersejarah milik PT KAI yang dilindungi oleh Undang-Undang Cagar Budaya.©2025

 

Pondok Cabe, Tangerang Selatan, 4 Mei 2025