Wednesday, March 26, 2025

Ramadan Generasi Muda Subud Indonesia

 


Pada 25 Maret 2025, saya menerima email dari Harris Smart, Pemimpin Redaksi majalah Subud Voice, yang menandai di Facebook mengenai adanya acara Ramadan Pemuda Subud Indonesia di Pendopo Wisma Indonesia, Wisma Subud Cilandak, pada 23 Maret 2025. Sesuatu yang lucu, karena saya sendiri tidak hadir di acara tersebut, dan pada saat saya menerima email tersebut, saya baru bertekad tidak akan berurusan dengan Subud Youth Indonesia selama dikoordinatori Koordinator SYI 2025-2027 karena ia membawa masalah pribadi ke ranah jabatannya tersebut. Sebagai solusi, saya membuat artikel ini (versi terjemahannya), tanpa menyebut nama si Koordinator, dan menjadikan Ketua SICA Indonesia sebagai narasumber, karena ia juga hadir di acara tersebut.


JIWA tidak mengenal usia. Orang muda bisa saja memiliki jiwa tua, begitu pula sebaliknya. Namun, khususnya di abad ke-21, asosiasi pemuda Subud semakin dibutuhkan untuk menjembatani generasi terdahulu dengan generasi sekarang. Saya teringat salah seorang rekan kerja saya di sebuah biro iklan beberapa tahun lalu, seorang desainer grafis yang kala itu masih berstatus mahasiswa sebuah perguruan tinggi desain di Jakarta. Sebagai seorang pemuda berusia dua puluhan tahun, ia sangat menyadari bahwa kebutuhan fisik dan spiritualnya sangat berbeda dengan mereka yang jauh lebih tua darinya. Ketika ia akhirnya dibuka di Subud, ia juga pilih-pilih tempat untuk melakukan Latihan rutinnya. Ia tidak mau melakukan Latihan di Cilandak, yang katanya penuh dengan orang-orang tua. Ia sering mengunjungi S. Widjojo Centre di Jl. Jenderal Sudirman, Jakarta, untuk Latihan terjadwalnya, karena di sana banyak anggota yang seusia dengannya.

Wajah Pemuda Subud Generasi Z bisa dibilang sudah sangat berbeda dengan generasi-generasi sebelumnya. Pada generasi-generasi sebelumnya, saat teknologi komunikasi belum semaju sekarang, kekompakan antar-anggota Subud Youth Indonesia (SYI) sangat kuat. Mereka mempelopori berbagai penyelenggaraan acara Subud, termasuk perayaan hari ulang tahun Bapak, secara terkoordinasi dengan baik namun spontan, sehingga pengurus cabang, wilayah, maupun nasional tidak perlu membentuk panitia pelaksana khusus untuk itu. “Kami dipertemukan oleh bimbingan Latihan,” tutur seorang anggota di Jakarta Selatan yang tergabung dalam kelompok mantan Pemuda Subud yang menamakan diri mereka “Youth Jadul”. “Jadul” merupakan singkatan dari “Jaman Dulu”, bahasa gaul yang dipopulerkan oleh kaum Millenial Indonesia.

Di masa keemasan Gen Z, yang mempersatukan warga SYI adalah kegiatan-kegiatan fisik ala Pramuka, seperti perkemahan, pendakian gunung, dan juga workshop peningkatan kapasitas diri. Kegiatan-kegiatan tersebut sering kali dikritik oleh generasi tua karena dianggap tidak mencerminkan Subud. Sedangkan media penyebaran informasi yang paling dekat dengan gaya hidup mereka adalah grup WhatsApp dan Instagram.

Sebagai generasi yang tumbuh pascareformasi politik 1998 di Indonesia dan bagian dari apa yang disebut sebagai digital native, Gen Z tentunya memiliki sikap dan perilaku yang berbeda dibandingkan dengan generasi-generasi sebelumnya. Hal ini sangat kental terwakili oleh anggota SYI saat ini. Sebagian besar Pemuda Subud saat ini bukanlah anak-anak anggota Subud, dan sebagian dari mereka masuk Subud sebagai “korban kehidupan modern yang makin sarat dengan pengaruh daya kebendaan”. Mereka sebagian besar berasal dari keluarga berada, kelas menengah ke atas, berpendidikan universitas, memiliki pekerjaan yang relatif stabil di berbagai badan usaha milik negara atau perusahaan swasta terkemuka, dan menikmati masa mudanya dengan berlibur ke luar negeri bersama teman-temannya. Secara fisik mereka stabil, tetapi tidak demikian dengan mental dan spiritual.                                    

Salah satu Pemuda Subud Gen Z yang dibuka pada tahun 2020, membenarkan pandangan saya bahwa banyak anak muda yang bergabung dengan Subud selama dan setelah pandemi memiliki masalah kesehatan mental. Gangguan kecemasan akibat putus cinta, kecanduan narkoba, keterikatan berlebihan pada gawai, konflik pribadi, dan ketidakmampuan mental untuk mengantisipasi tantangan zaman menjadi latar belakang perjalanan mereka menemukan Subud.

Karena generasi tertua di antara mereka memasuki usia dewasa muda di tengah pasar kerja pascapandemi, bahkan Gen Z di Subud Indonesia membutuhkan bimbingan dan dukungan dari para senior mereka. Generasi yang lebih muda juga masih bergantung pada keluarga, guru, atau figur yang lebih tua untuk membimbing mereka menjalani hidup. Di tengah banyaknya stereotip negatif seputar Gen Z, sebuah realitas yang juga ada di Subud, faktanya mereka adalah individu dengan perjuangan dan harapan pribadi mereka sendiri.

Saya baru-baru ini berbincang dengan dua Pemuda Subud Gen Z dari Jakarta Selatan di Pamulang, dan terungkap bahwa mereka telah mengalami banyak hal dengan Latihan, meskipun mereka tidak memahami apakah pengalaman mereka merupakan manifestasi dari Latihan yang mereka lakukan dua kali seminggu atau tidak. Mereka berharap agar pengurus dan dewan pembantu pelatih menyediakan lebih banyak ruang untuk gathering pemuda, di mana mereka dapat mengekspresikan diri dan merasa menjadi bagian dari sesuatu yang lebih besar.

Salah satu kegiatan tersebut adalah acara Ramadan SYI pada tanggal 23 Maret 2025. Meskipun agenda utamanya adalah “buka puasa bersama”, acara ini terbuka untuk seluruh anggota SYI, tanpa memandang agama dan tidak terbatas pada Pemuda Subud Jakarta, baik yang berpuasa maupun yang tidak berpuasa. Menurut Elias David, Ketua SICA Indonesia, yang juga merupakan Pemuda Subud Gen Z karena usianya yang belum genap 25 tahun, yang turut hadir dalam acara Ramadan SYI, makna penting dari acara ini adalah untuk menjalin silaturahmi, mempererat tali silaturahmi antar anggota muda Subud di seluruh Indonesia, tidak hanya di Jakarta.

“Kepercayaan dan tradisi budaya sangat penting bagi rasa identitas, penyembuhan, dan rasa memiliki kaum muda. Kemampuan untuk menjalankan praktik keagamaan mereka di tempat yang mendukung dapat memberikan kenyamanan dan keterhubungan,” imbuh Elias saat membalas pesan WhatsApp saya terkait acara tersebut.

Ramadan adalah waktu untuk merenung, meningkatkan iman, dan berkumpuk, dan SYI telah berupaya keras untuk memastikan bahwa anggota muda Subud Indonesia merasa diperhatikan dan didukung. Dua Pemuda Jakarta Selatan yang menghadiri perayaan Ramadan SYI tersebut berbagi bahwa mereka disambut dengan kehangatan, pengertian, dan sumber daya yang memungkinkan mereka merayakan Ramadan dengan cara yang bermakna.

Menciptakan ruang yang inklusif dan meneguhkan iman bagi kaum muda merupakan inti dari apa yang dilakukan Subud Indonesia saat ini. Setiap anggota muda berhak untuk merasa betah, terutama pada saat-saat yang memiliki makna budaya dan spiritual.©2025


Pondok Cabe, Tangerang Selatan, 27 Maret 2025

Thursday, March 20, 2025

Dari Resah ke Pasrah

PADA 16 Maret 2025, pulang dari acara buka puasa bersama sekaligus arisan keluarga di rumah orang tua saya di Mampang Prapatan, Jakarta Selatan, sepeda motor saya mendadak mogok karena kampas koplingnya aus di dekat pos sekuriti Villa Cinere Mas. Jam menunjukkan pukul 22.40 WIB dan jalan lumayan sepi. Saya panik dan resah, membayangkan jarak ke rumah saya masih sekitar 2 km lagi. Bila saya harus menuntun motor saya pun akan sangat menyulitkan karena jalannya menanjak cukup panjang sedangkan motor saya lumayan berat. Pikiran saya berkecamuk, membayangkan hal-hal yang meresahkan.

Akhirnya, jiwa saya memperingatkan saya, “Sudah, jangan mengeluh. Kerjakan saja dengan perasaan pasrah, jangan mendahului kehendak Tuhan.” Saya pun men-switch perasaan resah saya ke pasrah, dan segera pertolonganNya datang. Ketika saya baru beberapa langkah menuntun motor saya, datang sebuah motor matic Nmax yang ditumpangi pasangan pria dan wanita. Si pria, yang masih muda dan duduk di belakang kemudi, bertanya apa yang terjadi dengan motor saya. Saya jelaskan apa yang terjadi, dan dengan sigap si pria menawarkan bantuan untuk mendorong motor saya dengan satu kakinya. Dia meminta saya naik ke sadel motor saya, dan motor saya pun meluncur dengan tenaga pendorongnya berasal dari Nmax itu, hingga depan gerbang klaster rumah saya.

Saya mengucapkan terima kasih sebesar-besarnya atas bantuan si pria itu. Saya menanyakan di mana ia tinggal. “Di Jalan Kentang, Pak.” Jalan Kentang itu dekat dengan sekolah dasar anak saya, sekitar 750 m dari rumah saya. Saya lupa menanyakan namanya, tapi saya membatinkan doa semoga ia dan pasangannya diberkati Tuhan.

Keesokan paginya, saya menuntun motor saya ke bengkel langganan saya, sekitar 300 meter dari rumah saya. Pemilik bengkel yang kebetulan datang dengan mobilnya untuk mengantar stok suku cadang dari distributor menanyakan apa masalah pada motor saya. Saya jelaskan bahwa masalahnya pada kampas kopling yang sudah aus dan harus diganti. Dia mengungkapkan bahwa harga kampas baru sekitar Rp300 hingga Rp400 ribu. Saya merasa resah seketika, mengingat bahwa uang di dalam dompet saya hanya Rp200.000.

Ketika seorang mekanik bengkel, yang merupakan satu-satunya spesialis kopling di situ, menangani motor saya, saya masih diliputi resah. Makin menjadi-jadi ketika si mekanik menawarkan untuk sekalian ganti oli mesin. Saya tak dapat menolak tawaran itu, meski biayanya pasti membengkak, karena si mekanik telah mengeluarkan oli mesin motor saya untuk merendam kampas kopling yang baru—sebuah cara untuk membuat daya tahan kampas lebih lama dari rata-rata dua tahun.

Jiwa saya kembali mengingatkan saya untuk pasrah. Dalam sekejap setelah saya men-switch dari resah ke pasrah, muncullah keajaiban. Ketika si mekanik selesai menangani motor saya, kepadanya saya tanyakan berapa yang harus saya bayar. Dia menyebut angka Rp120.000; Rp70.000 untuk oli mesinnya dan Rp50.000 untuk jasa si mekanik.

Penasaran, saya tanya berapa harga kampas koplingnya. “Itu gratis, Pak,” kata si mekanik. Saya bengong cukup lama dan kemudian bertanya lagi untuk memastikan. Si mekanik memastikan bahwa kampas kopling itu memang gratis.

Saya tidak habis pikir, tapi itulah kenyataan dari bimbingan Tuhan; bahwa pertolonganNya tidak bisa dijangkau dengan akal pikir.©2025


Pondok Cabe, Tangerang Selatan, 21 Maret 2025

Wednesday, March 19, 2025

Antara Saya dan Tuhan

MANUSIA itu kadang aneh, suka sekali berstandar ganda. Orang-orang yang pernah bilang ke saya bahwa Subud itu sesat, atau keluarga dari teman atau kerabat saya yang mau ikut Subud melarang dengan alasan yang sama, justru dalam keseharian mereka mencampuradukkan agama-agama dengan praktik-praktik yang bertentangan dengan ajaran agama mereka. Saya ingat di Surabaya dulu, ada teman saya yang sudah sempat minta penjelasan ke pihak Subud Cabang Surabaya lantas dilarang orang tuanya, yang mengatakan, “Sudah, nggak usah ikut-ikut kayak gitu deh. Agama sudah cukup!”

Tapi saya sih cuek, saya ikhlaskan saja. Suatu malam, saya ke rumah teman itu dan memergoki orang tuanya yang aktif di organisasi Islam mayoritas di Surabaya itu membakar dupa dan melakukan ritual layaknya perdukunan sambil mendaraskan ayat-ayat suci. Kata teman saya, itu ritus orang tuanya tiap malam sebelum pergi berdagang, supaya dagangannya laris. Saya hanya tertawa dalam hati dan membatin, “Jancuukk!!! Bilang gue sesat karena ikut Subud, lha itu apa, Pak-Bu?! Weleh-weleeh!”

Teman dan kerabat saya lainnya yang menuding saya sesat juga masih doyan berkonsultasi ke dukun atau berbuat syirik—yang menurut standar mereka tidak demikian. Tapi saya tidak ambil pusinglah, malah jadi pemandangan lucu yang menghibur saya. Terima kasih, Tuhan, atas itu semua.

Pada akhirnya, semua ini hanya antara saya dan Tuhan. Peduli amat apa kata orang, yang penting tetap melakukan kebaikan dan bermanfaat bagi orang lain.©2025

 

Pondok Cabe, Tangerang Selatan, 20 Maret 2025

Friday, March 7, 2025

Menapaktilasi Perjalanan Pak Subuh Dari Stasiun ke Stasiun (Revisi)

Tulisan ini merupakan revisi dari tulisan dengan judul yang sama yang diterbitkan di blogspot ini pada 22 Juni 2016.


BELAKANGAN ini saya kerap harus meluruskan anggapan banyak sekali anggota Subud Indonesia bahwa Bapak pernah bekerja di Stasiun Kedungjati, mungkin dengan pemikiran bahwa Bapak pernah menjadi pegawai NIS dan rumah orang tua beliau terletak berdekatan dengan Stasiun Kedungjati. Buku Autobiografi RM Muhammad Subuh Sumohadiwidjojo nyatanya tidak menyebutkan hal itu.

Setiap tahun, pada tanggal 22 Juni, para anggota Subud memperingati hari lahirnya Bapak Muhammad Subuh. Bapak lahir di Kedungjati, sebuah desa di kecamatan bernama sama, yang berlokasi di Karesidenan Semarang (sekarang masuk Kabupaten Grobogan), Jawa Tengah.

Sebagai pehobi kereta api (railfan) yang juga anggota Subud, saya lebih tertarik untuk memperingati hari lahir Bapak dengan menapaktilasi perjalanan beliau “dari stasiun ke stasiun”. Ya, di samping menyebarluaskan Latihan Kejiwaan ke lebih dari 75 negara di dunia sejak tahun 1957, Pak Subuh sebenarnya lekat dengan sejarah perkeretaapian Indonesia, karena beliau sempat berkarir cukup lama di badan usaha kereta api swasta Hindia Belanda, Nederlandsch Indische Spoorwegmaatschappij (NIS).

Berkantor pusat di Kota Semarang, menempati bangunan yang kini dikenal sebagai “Lawang Sewu”, NIS memainkan peran signifikan dalam sejarah perkeretaapian Indonesia, karena perusahaan itulah yang pertama kali membangun jaringan kereta api di Nusantara. Dimulai dari pembukaan jalur antara Stasiun Kemijen di Semarang dan Stasiun Tanggung di Grobogan sepanjang 27,7 kilometer pada tanggal 10 Agustus 1867, NIS memicu revolusi transportasi berbasis rel di Hindia Belanda. Jalur itu kemudian diperpanjang hingga tiga kota di Jawa Tengah—Semarang, Solo, dan Jogjakarta—melalui Kedungjati, sebuah tempat terpencil di pedalaman Jawa Tengah di mana Pak Subuh dilahirkan.

 

Kantor Nederlandsch Indische Spoorwegmaatschappij (NIS) di Semarang sekitar tahun 1930. (KITLV)

Paling tidak ada enam stasiun warisan Hindia Belanda (heritage) disebut-sebut dalam buku Autobiografi RM Muhammad Subuh Sumohadiwidjojo (diterbitkan pertama kali pada 1991), yaitu Stasiun Telawa(h), Stasiun Kalitidu, Stasiun Bojonegoro, Stasiun Buyaran, Stasiun Pamotan, dan Stasiun Kedungjati.

Stasiun Telawa(h), Stasiun Kalitidu, Stasiun Bojonegoro dan Stasiun Kedungjati dikelola oleh NIS, sedangkan Stasiun Buyaran dan Stasiun Pamotan pada masanya merupakan halte trem (kereta api jarak dekat) bertenaga uap yang dimiliki oleh Samarang-Joana Stoomtrammaatschappij (SJS), atau Perusahaan Trem Uap Semarang-Juwana yang juga berkantor pusat di Semarang.

Stasiun Telawa(h) berada di jalur kereta api Brumbung-Gundih, tepatnya di Desa Pilangrejo, Kecamatan Juwangi, Kabupaten Boyolali, Jawa Tengah. Jalur kereta api Brumbung-Gundih merupakan jalur heritage yang oleh PT Kereta Api Indonesia (Persero) sebisa mungkin dipelihara keasliannya sebagaimana keadaannya pada masa kolonial Hindia Belanda, antara lain dengan tidak mengganti sistem persinyalan mekanik dengan sistem elektrik. Tiga stasiun di jalur ini sudah non-aktif/mati, yaitu Gedangan, Jetis, dan Jambean.

 

Stasiun Telawa pada tahun 2020.

Dalam Autobiografi, disebutkan bahwa karir beliau di NIS dimulai ketika beliau diterima bekerja di Stasiun Kalitidu, berkat bantuan Pak Reksodiharja, adik dari eyang putri beliau yang menjabat sebagai “sep” (kepala) Stasiun NIS Kalitidu. Stasiun Kalitidu (KIT, +24 mdpl) di jalur kereta api Gambringan-Kandangan masih aktif hingga kini, berlokasi di wilayah Kabupaten Bojonegoro, Jawa Timur, dan merupakan salah satu stasiun di Lintas Utara Jawa yang dilalui kereta api-kereta api relasi Jakarta-Surabaya pp, antara lain Argo Bromo Anggrek dan Jayabaya.

 

Stasiun Kalitidu pada tahun 2020.

Di petak jalur rel antara Kalitidu dan Kapas terdapat Stasiun Bojonegoro (BJ, +15 mdpl). Di Autobiografi diceritakan bahwa Pak Subuh ditempatkan di Stasiun Bojonegoro sebentar setelah beliau diangkat menjadi pegawai resmi NIS. NIS mendapat konsesi pembangunan jalur kereta api baru yang melayani rute Gundih-Gambringan-Bojonegoro-Surabaya pada tanggal 24 September 1896. Stasiun Bojonegoro mulai beroperasi pada 1 Maret 1902 sebagai bagian dari pengoperasian jalur kereta api ruas Bojonegoro-Babat (Lamongan), sedangkan proyek jalur kereta api Gundih-Gambringan-Bojonegoro-Surabaya NIS (kini Stasiun Surabaya Pasarturi) tuntas pengerjaannya pada 1 Februari 1903.

 

Stasiun Bojonegoro pada tahun 2020.

Diceritakan dalam Autobiografi, bahwa Pak Subuh dimutasi ke NIS di Surabaya. Tidak dirinci dalam buku tersebut apakah itu stasiun atau kantor perwakilan NIS, namun bila memang stasiun maka dalam sejarah perkeretaapian Indonesia satu-satunya stasiun NIS di Surabaya adalah Stasiun Surabaya Pasar Turi (SBI, +1 mdpl). Stasiun Semut/Surabaya Kota dan Stasiun Surabaya Gubeng dikelola oleh Staatsspoorwegen (SS), perusahaan kereta api milik pemerintah Hindia Belanda. Stasiun Pasarturi beserta jalur kereta api lintas Lamongan-Surabaya mulai beroperasi sejak 1 April 1900.

 

Emplasemen Stasiun Surabaya Pasar Turi dilihat dari Pasar Grosir Surabaya, tahun 2017.

Dalam perjalanan pencarian spiritualnya, Pak Subuh dan beberapa teman beliau diceritakan dalam Autobiografi meninggalkan rumah seorang kyai dan menuju Stasiun Buyaran, naik kereta api pagi yang datang dari Demak menuju Semarang. Stasiun Buyaran (BYA) yang berlokasi di Desa Pulosari, Kecamatan Karangtengah, Kabupaten Demak, Jawa Tengah dibangun pada tahun 1885 di jalur kereta api Semarang Tawang-Demak oleh SJS, sebuah perusahaan swasta trem uap yang dahulu mengelola jalur kereta api sepanjang 417 kilometer di Kabupaten-Kabupaten Demak, Kudus, Pati, Rembang, Jepara, Blora, dan Grobogan, di Jawa Tengah, dan sebagian Tuban di Jawa Timur. Stasiun Buyaran ditutup Perusahaan Jawatan Kereta Api (PJKA) pada tahun 1986 bersama stasiun-stasiun lainnya di jalur kereta api Semarang Tawang-Demak. Bangunan bekas Stasiun Buyaran kini menjadi toko.

 

Bangunan bekas Stasiun Buyaran sudah berubah fungsi menjadi toko.

Stasiun Pamotan melekat di kenangan Bapak lantaran di stasiun inilah beliau melihat perempuan yang kelak diperistri beliau turun dari kereta trem SJS yang ditumpangi Bapak. Ibu Rumindah, istri pertama Bapak memang bertempat tinggal di Pamotan. Dibuka pada tahun 1900, Stasiun Pamotan kini tinggal bangunan tua yang merana, dengan area stasiun digunakan sebagai pangkalan truk. Papan penanda “Aset Milik PT KAI” yang dijumpai di muka bangunan menegaskan bahwa di Desa Pamotan, Kecamatan Pamotan, Kabupaten Rembang, Jawa Tengah pernah ada stasiun kereta api. Stasiun Pamotan ditutup oleh PJKA pada tahun 1989.

Peta jalur-jalur Samarang Joana Stoomtrammaatschappij (SJS) pada bulan Mei 1902. (KITLV)

Bangunan bekas Stasiun Pamotan.

Bapak boleh dibilang beruntung dengan lokasi rumah di mana beliau dilahirkan hanya berjarak sekitar 200 meter dari Stasiun Kedungjati (KEJ, +36 mdpl). Selama bersekolah di Ambarawa, pagi dan sore Bapak menumpang kereta api dari Stasiun Kedungjati melalui jalur Kedungjati-Secang dengan delapan stasiun persinggahan (Kedungjati, Ngombak, Tempuran, Gogodalem, Bringin, Telogo, Tuntang, dan Ambarawa). Jalur rel yang menyambungkan Kedungjati dengan Ambarawa ini masih bisa dilihat di selatan Stasiun Kedungjati, yang sempat direncanakan untuk direaktivasi pada tahun 2015 namun terhambat pembebasan lahan.

Dibuka pada 19 Juli 1868, Stasiun Kedungjati awalnya berwujud bangunan yang seluruhnya terbuat dari kayu jati—yang melimpah di daerah itu. Tahun 1907, stasiun ini mengalami perombakan dengan dibangunnya bangunan yang menggunakan bata berplester. Juga dipasangi atap peron dengan bentang 14,65 m yang terbuat dari seng bergelombang yang cenderung landai menyesuaikan iklim tropis.

 

Lokomotif CC206 dinas KA Semen Tiga Roda di Jalur 1 Stasiun Kedungjati pada tahun 2016.

Meski penampakan fisiknya besar dengan lima jalur rel (dua di selatan sudah tidak aktif), Stasiun Kedungjati tergolong stasiun kelas III/kecil. Bagaimanapun, semasa masih dioperasikan oleh NIS, Kedungjati merupakan stasiun besar yang dilengkapi depo lokomotif dan pemutar rel, yang kini tidak tersisa lagi bekas-bekasnya selain fondasinya. Sebuah bangunan gudang juga masih ada di seberang utara stasiun.

Rumah kelahiran Bapak bersebelahan dengan bangunan rumah dinas pegawai kereta api yang saat ini dipasangi papan penanda “Aset Milik PT KAI”; artinya, Desa Kedungjati merupakan bagian dari kompleks Stasiun Kedungjati. Stasiun Kedungjati juga masih aktif saat ini di jalur Joglosemar (Jogja-Solo-Semarang) atau yang dikenal sebagai Lintas Tengah Jawa. Kereta Api Matarmaja, Joglosemarkerto, dan KA Semen Tiga Roda rutin meniti jalur ini dalam perjalanan mereka pergi-pulang Semarang-Solo.©2025


Pondok Cabe, Tangerang Selatan, 7 Maret 2025

Sunday, March 2, 2025

Tetangga Seorang Copywriter

 


TANGGAL 2 Maret 2025 malam, saya membaca di status salah satu teman Facebook saya, seorang praktisi periklanan kawakan, kabar duka tentang meninggalnya salah satu produser eksekutif iklan televisi Indonesia dan pemilik ADA Productions, Wenda Corianti Kusumah. Ketika membaca kisah pengalaman si praktisi periklanan (yang seorang art director) dengan almarhumah, segera ingatan saya melayang ke kisah unik mengenai Wenda dan Sonny, suaminya, dari sudut pandang saya.

Mereka pada awal tahun 1995, kalau tidak salah, pindah menempati rumah di Jl. Pondok Jaya VII No. 15, Mampang Prapatan, Jakarta Selatan. Tepat bersebelahan dengan rumah orang tua saya. Saat itupun saya, yang belum menikah, masih tinggal di rumah orang tua. Wenda dan Sonny menjalankan bisnis production house (PH) di rumah itu, dan saya sebagai copywriter dapat segera mengenali segala kegiatan di dalam pekarangan rumah mereka maupun di jalan di depannya sebagai kegiatan persiapan produksi audio-visual.

Sebagai warga baru, Wenda dan Sonny saat itu tergolong tidak akrab dengan tetangga, tapi masih mau tersenyum kalau saya sapa (biasanya ketika saya pulang kerja dan menjumpai mereka di pekarangan rumah mereka, yang bisa saya lihat dari balik pagar pembatas rumah orang tua saya). Pada 1 November 1995 barulah terjalin komunikasi, yaitu ketika ayah saya wafat. Rekan-rekan saya dari biro iklan Lintas Link dan Citra Lintas datang melayat, termasuk Bimoyadi Markam, Audio-Video Producer PT Lintas Indonesia. Wenda heran melihat Bimo datang ke rumah orang tua saya, dan saya melihat dari arah teras rumah orang tua saya mereka terlibat percakapan singkat.

Wenda dan Sony kemudian datang melayat. Dia menyapa saya, “Saya tadi bilang ke suami, kok itu teman-teman advertising pada ke rumah sebelah. Siapa yaa tetangga kita? Kata Bimo, ‘Tetanggaan sama copywriter Lintas Link kok cuek aja!

Tahun 2005, ketika saya kembali Jakarta setelah lima tahun menetap di Surabaya, rumah dan kantor ADA Productions sudah pindah ke Jl. Pondok Jaya II. Ketika saya tambahkan Wenda di Pertemanan Facebook, dia bertanya kami pernah kenal di mana. Saya sodorkan cerita unik di atas.

May she rest in peace...©2025


Pondok Cabe, Tangerang Selatan, 3 Maret 2025