Thursday, September 26, 2024

Mengapresiasi Leluhur

Ibu saya di India, 1960.
SEORANG teman memposting di sebuah grup WhatsApp barusan, bahwa hari ini di Amerika Serikat diperingati sebagai Hari Apresiasi Leluhur (Ancestor Appreciation Day). Postingannya memicu saya untuk berbagi cerita pengalaman pribadi saya terkait Latihan Kejiwaan (yang agak sulit saya ekspresikan karena WAG itu bukan WAG Subud).

Tahun 2006, saya baru tahu siapa leluhur saya dari garis ibu. Ibu saya orang Aceh kelahiran Langsa dan dibesarkan di Meulaboh, dengan wajah menyerupai wanita India. Saya pun mewarisi kemiripan dengan beliau, sehingga tak sedikit yang mempertanyakan mengapa nama saya terkesan Jawa tapi wajah bernuansa Melayu-India. Salah satu yang menanyakan hal itu adalah alm. Pak Muchtaruddin Siregar, mantan Ketua Umum PPK Subud Indonesia.  Sebagai orang Tapanuli, beliau langsung menanggapi, “Ooh, pantaslah. Orang kita rupanya!”

Pak Siregar menanyakan hal itu ketika bertemu saya pada jadwal Latihan di S. Widjojo Centre. Saya jelaskan saat itu bahwa kakek saya dari garis ibu berasal dari Barus, sebuah kota emporium dan pusat peradaban pada abad ke-1 hingga ke-7 Masehi. Kini, Barus adalah kecamatan di Kabupaten Tapanuli Tengah, Sumatera Utara. Sedangkan nenek saya asal Tapanuli Tengah bermarga Pasaribu.

Tetapi adalah alm. Pak Djoko Mulyono, pembantu pelatih sepuh Cabang Jakarta Selatan, yang berkata ke saya, pada tahun 2006, “Saya perhatikan, untuk seseorang yang baru masuk Subud, penerimaan kamu cepat sekali. Saya curiga, leluhur kamu jangan-jangan seseorang dengan latar belakang spiritual yang mumpuni. Mau saya dampingi testing untuk menyusuri garis leluhurmu?”

Walaupun saya penasaran, saya tampik tawaran beliau—saya takut tidak bisa balik, karena yang saya bayangkan adalah bahwa saya akan masuk lorong waktu gaib.

Rupanya penasaran saya terjawab keesokan harinya: Saat menghadiri resepsi pernikahan sepupu saya, saya menjumpai beberapa sesepuh keluarga besar kakek dan nenek saya dari Aceh. Saya pun bertanya ke mereka, dan jawaban mereka juga menjawab kecurigaan Pak Djoko: Akarnya adalah seorang sufi dari Irak berdarah Persia dari garis Syekh ‘Abd al-Qadir al-Jilani, yang dalam perjalanan ke Nusantara (untuk menyebarkan agama Islam) singgah di Gujarat, India, dan menikah dengan wanita lokal.

“Tapi generasi-generasi sesudah beliau sudah tidak lagi mengamalkan tasawuf,” jelas satu sesepuh itu.

Sesepuh itu agak heran mengapa saya menanyakan asal-usul leluhur, karena menurut beliau generasi muda sudah tidak peduli dengan leluhur maupun sejarah keberadaan mereka.©2024

 

Pondok Cabe, Tangerang Selatan, 27 September 2024

Tuesday, September 24, 2024

Buku Pengingat Ikrar

MENANTI hari pernikahan bagi pasangan yang saling mencintai merupakan kegiatan yang membangkitkan semangat. Bagi saya, sebagai copywriter, masa penantian itu menjadi momen mengekspresikan kreativitas tanpa batas yang menyenangkan, yang saya wujudkan dengan mengajak kekasih saya menorehkan pena untuk mengungkapkan segala harapan kami ketika sudah resmi menjadi suami-istri.

Untuk itu, saya membeli buku catatan yang terbuat dari bahan daur ulang, yang berkali-kali menempuh perjalanan Jakarta-Surabaya pergi pulang agar calon istri saya juga dapat turut mengisinya. Terpisah dari 144 pucuk surat saya yang diterima kekasih saya dan 142 pucuk yang saya terima darinya selama masa pacaran kami yang berlangsung secara jarak jauh (long-distance relationship/LDR) dalam kurun waktu tiga tahun dan delapan bulan, buku inilah yang menjadi pengingat hingga kini tentang apa-apa yang telah kami ikrarkan.

Saya menuliskannya mulai 13 April 1997 atau 164 hari sebelum saya mengucapkan ijab kabul di hadapan ayah dari calon istri saya serta penghulu. Tulisan terakhir bertanggal 17 Agustus 1997 atau 38 hari menuju hari pernikahan kami, dan selanjutnya komunikasi dilakukan via telepon interlokal, karena masing-masing dari kami sudah sangat sibuk dengan segala persiapan.

Pada 25 September 1997 jarak lebih dari 780 km antara Jakarta dan Surabaya diperpendek menjadi hanya beberapa sentimeter, yaitu ketika saya dan mempelai wanita duduk bersebelahan di hadapan penghulu.©2024

 

Pondok Cabe, Tangerang Selatan, 25 September 2024









Tuesday, September 10, 2024

POR-TU-GAL


SECARA historis dan budaya, masyarakat Indonesia sangat suka membuat akronim dari berbagai hal. Baik untuk maksud serius, untuk menyindir, atau sekadar sebagai hiburan populer. Budaya ini bahkan telah berakar dalam segala bidang kehidupan, mulai dari politik dan pemerintahan, ekonomi dan bisnis, militer sampai pendidikan, untuk mendiseminasi program atau gagasan kepada khalayak. Biasanya, akronim-akronimnya merepresentasi nilai-nilai atau pesan yang terkandung di dalamnya, agar pemangku kepentingan tidak lupa.

Bahkan akronim memperkaya kamus Bahasa Indonesia sebagai kata-kata yang oleh generasi terkini tidak diketahui bahwa kata-kata itu aslinya merupakan akronim. Misalnya “tilang” (speeding ticket) yang sebenarnya merupakan akronim dari “bukTI peLANGgaran” (evidence of violation).

Juni 2024 lalu, seorang pembantu pelatih senior di Surabaya, Jawa Timur, bercerita ke saya bahwa “SUBUD” tadinya hanya kata tanpa arti yang dituliskan di papan tulis oleh seorang pembantu pelatih atas perintah Bapak. Setelah didaftarkan ke PAKEM (Pengawas Kepercayaan Masyarakat) pada tahun 1947, barulah Bapak menerima kepanjangan dari kata tersebut dan artinya: SUsila BUdhi Dharma.

PORTUGAL, sebagai negara yang terpilih untuk lokasi penyelenggaraan Kongres Dunia 2028, pun tak luput dari kecenderungan “aneh” ini, sebagai lelucon yang kini telah beredar luas di kalangan anggota Subud Indonesia, terutama generasi yang lebih muda: Itu merupakan singkatan dari PORsi TUkang GALian (the Excavation Worker’s [meal] Portion), yang mengacu pada porsi makanan yang sangat besar di piring seseorang.©2024

 

Pondok Cabe, Tangerang Selatan, 10 September 2024

Wednesday, September 4, 2024

Nasi Goreng Spesial


SEKITAR tahun 1992, saat menghadapi cewek yang menetapkan standar tertentu tentang cowok yang akan dia terima sebagai pacarnya, saya katakan bahwa saya bisa memasak—ketika si cewek menyatakan bahwa dia suka cowok yang bisa memasak. Dia tanya lagi, saya bisa memasak apa?

“Nasi goreng,” jawab saya.

“Ah, nasi goreng semua orang juga bisa!” kata si cewek, melecehkan keahlian saya. Saya meresponsnya dengan tertawa, karena saat itu saya juga percaya bahwa semua orang bisa memasak nasi goreng, bahwa nasi goreng bukanlah jenis masakan yang spesial.

Lama kemudian, saya bertanya-tanya, kalau memang nasi goreng bukan masakan yang spesial dan semua orang bisa membuatnya, lantas kenapa nasi goreng termasuk salah satu menu di restoran mahal atau hotel?

Bertahun-tahun kemudian, terutama setelah saya aktif melakukan Latihan Kejiwaan, saya dimampukan Gusti Alah untuk membuat nasi goreng yang memang benar-benar spesial, yang saya yakin tidak semua orang bisa membuatnya. Seperti nasi goreng yang saya buat pagi ini untuk semua penghuni rumah saya. Saya namakan Nasi Goreng Oregano. Selain menaburkan oregano di nasi yang sedang saya aduk di wajan, sejumlah bumbu rahasia dan bimbingan rasa diri menyertai proses pembuatannya, dan membuat semua pemakannya menggelinjang nikmat dan terus menambah porsi makannya.©2024

 

Pondok Cabe, Tangerang Selatan, 5 September 2024