KETIKA ayah saya meninggal dunia pada 1 November 1995, seorang perwakilan dari Persatuan Purnawirawan dan Warakawuri Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (Pepabri) datang ke rumah orang tua saya di Jl. Pondok Jaya VII, Mampang Prapatan, Jakarta Selatan. Mengatasnamakan asosiasi dimana ayah saya selaku purnawirawan perwira menengah TNI Angkatan Darat menjadi anggotanya, bapak tua yang pengurus Pepabri Cabang Jakarta Selatan itu menawarkan jasa Pepabri secara cuma-cuma untuk membantu agar ayah saya dapat dimakamkan dengan upacara kehormatan militer di Taman Makam Pahlawan (TMP) Kalibata.
Syaratnya, keluarga yang ditinggalkan dapat menunjukkan tanda jasa Bintang Gerilya yang mungkin pernah diperoleh ayah saya. Meskipun ayah saya memiliki tanda jasa tersebut, tetapi kepada perwakilan Pepabri itu saya katakan “tidak ada”. Salah satu pesan yang pernah disampaikan ayah saya jauh sebelum wafat, adalah bahwa beliau tidak menghendaki dimakamkan di TMP Kalibata, agar keluarga bisa kapan saja menziarahi makam beliau.
Bintang Gerilya adalah tanda kehormatan yang diberikan oleh Pemerintah Republik Indonesia untuk menghormati jasa seseorang dalam mempertahankan negara dengan cara bergerilya. Bintang ini salah satunya diberikan kepada rakyat Indonesia yang berjuang pada masa Revolusi antara tahun 1945-1950, terutama saat Agresi Militer Belanda I (21 Juli 1947-22 Februari 1948) dan Agresi Militer Belanda II (18 Desember 1948-27 Desember 1949). Penghargaan ini ditetapkan secara resmi pada tahun 1949. Bintang ini berada setingkat di bawah Bintang Mahaputera dan tidak memiliki kelas di dalamnya.
Sebagai satu-satunya anak laki-laki dalam keluarga, tentu saja sayalah yang kerap menjadi teman berbagi ayah saya ketika beliau menceritakan kisah-kisah perjuangan semasa Perang Kemerdekaan RI 1945-1949 yang beliau alami sendiri—sebagai anggota Brigade XVII Tentara Pelajar Cie (Kompi) Purwokerto dan kemudian, ketika dibentuk pada 3 Juni 1947, bergabung di Tentara Nasional Indonesia (TNI). Hal inilah yang kelak menginspirasi saya untuk menulis skripsi di Jurusan Sejarah Fakultas Sastra Universitas Indonesia (FSUI; kini Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia/FIBUI) dengan judul “Aksi-Aksi Gerilya dan Anti Gerilya di Jawa Tengah Bagian Barat Selama Agresi Militer Belanda II, 1948-1949: Studi Awal Terhadap Perang Urat Saraf Selama Perang Kemerdekaan RI” (1993).
Beliau pernah memperlihatkan sederet tanda jasa yang beliau peroleh selama berkarir di TNI, mulai dari medan juang gerilya hingga pasca periode Perang Kemerdekaan, antara lain Bintang Gerilya, Satyalancana Wira Dharma, dan Bintang Kartika Eka Paksi Utama. Tanda-tanda jasa itu beliau simpan dalam tas kopor terkunci rapat yang beliau sembunyikan jauh di sudut lemari paling bawah. Ayah saya mengatakan, tanda jasa itu hanya untuk menunjukkan peran seseorang dalam memperjuangkan kemerdekaan Indonesia, tapi tidak bisa menjadi saksi atas niat dan kegigihannya. Singkat kata, beliau menekankan, tanda jasa itu hanya pengakuan pemerintah dan tidak bisa mewakili sebenar-benarnya kiprah pemegangnya di medan juang.
Sebagai anggota TNI yang merintis karirnya di Staf Teritorial dan kemudian di Intelijen (mulai dari Staf Umum Angkatan Darat [SUAD]-1 Intelijen Markas Besar Angkatan Darat [MBAD] hingga Badan Koordinasi Intelijen Negara [BAKIN]), ayah saya menutup mulut rapat-rapat berkenaan dengan peran dan jasa beliau sebagai pribadi. Karena itu pula, beliau tidak pernah mengobral aksi heroik yang pernah beliau lakukan selama bergerilya. Beliau hanya bercerita tentang sulitnya kehidupan gerilya, keluar-masuk hutan, naik-turun gunung, kadang menyamar sebagai petani atau pedagang sayuran untuk menyelundupkan senjata ke para anggota gerilya yang bertahan di kota Purwokerto, melalui akses-akses ke kota yang dijaga ketat oleh tentara Belanda. Bila ketahuan, bisa dipastikan nyawa si pejuang sudah ditentukan akhirnya.
Ayah saya (kanan) menyambut uluran tangan Jenderal Gatot Subroto yang baru mendarat di Bandara Safdurjang (Delhi), India, tahun 1960. Menurut cerita ayah saya, keduanya sempat mengobrol akrab selaku mantan pejuang gerilya yang sama-sama berasal dari daerah Banyumas.
Setelah Indonesia Merdeka, setiap tahun ayah saya menghadiri upacara peringatan HUT Kemerdekaan RI. Mulai dari yang ke-1 hingga yang ke-44. Saat peringatan HUT ke-45, tahun 1990, beliau hanya duduk di depan televisi di rumah, menonton siaran langsung pelaksanaan upacara di Istana Negara dengan raut muka yang mewakili keengganan. Karena penasaran, saya, yang waktu itu duduk di sebelah beliau, bertanya mengapa beliau tidak menghadiri upacara di kantor beliau, di markas BAKIN Senopati, Jakarta Selatan.
“Bapak ini,” ucap ayah saya dengan nada datar, “menghadiri upacara Hari Kemerdekaan yang pertama sampai yang keempatpuluh empat. Bapak ini mempertaruhkan nyawa menembus blokade tentara Belanda di Banyumas demi menghadiri upacara bendera dan nyanyi Indonesia Raya.”
Begitu saja kalimat-kalimat yang keluar dari mulut ayah saya sebagai respons atas pertanyaan saya. Tidak ada elaborasi, tetapi saya tidak bertanya lebih lanjut, melainkan larut dalam pengembaraan pikiran, mencoba menghayati semangat rela berkorban apa saja bahkan nyawa dari para pejuang kala itu demi mempertahankan kemerdekaan negeri kita. Kemerdekaan yang saat ini mungkin dinikmati oleh generasi terkini yang tak pernah merasakan kesulitan dan tantangan bertaruh nyawa sebagai pejuang di medan gerilya.
Saat itu, saya membatin,
hanya Tuhan Yang Maha Kuasa yang dapat membalas akhlak mulia para pahlawan
kita.©2024
Pondok
Cabe, Tangerang Selatan, 16 Agustus 2024