IDE untuk menyelenggarakan acara budaya di Tulungagung, Jawa Timur, tercetus di benak saudara Subud saya dari Cabang Surabaya yang kini bermukim di kampung asalnya, Madiun. Dibandingkan Kabupaten-Kabupaten Kediri, Blitar dan Ponorogo, yang merupakan tetangga-tetangganya, Kabupaten Tulungagung kurang terekspos jenama (brand)-nya, padahal terdapat banyak sekali artefak budaya dan atraksi wisata di daerah yang pesisir selatannya berbatasan dengan Samudra Hindia itu.
Dalam perjalanan dengan kereta api dari Tulungagung ke Madiun (sekitar 2,5 jam), saudara Subud ini larut dalam gejolak kreatif yang memusingkan yang karena itu dia butuh seorang mitra yang mampu mengimbanginya. Terpikir olehnya, secara tiba-tiba, nama saya. Saya pun dilibatkan dalam merancang konsep dan konten kreatif dari acaranya. Acaranya harus mampu mengembangkan jenama Tulungagung tapi tidak semata mementaskan artefak-artefak budaya setempat, melainkan merangkul budaya-budaya dari segala penjuru Nusantara dan, kalau bisa, juga dunia.
Hampir setiap hari, saya WhatsAppan (pesan dan telepon) dengan saudara Subud ini sejak Januari 2024 untuk brainstorming ide nama dan konten acaranya. Sempat dia ingin membuat festival atau pentas musik rock, karena masyarakat Jawa Timur menyukai genre itu, dan ingin meniru Baturraden Jazz (BaturraJazz) yang kebetulan penggagasnya adalah sepupu saya. Tapi saya teringat nasihat Bapak Subuh bahwa sebagai anggota Subud kita sebaiknya tidak meniru.
Setelah saya mengosongkan diri dari semua ide dan konsep yang meniru, pada Latihan Kejiwaan yang saya lakukan di Hall Subud Cilandak, 12 Februari 2024, saya menerima ide untuk nama dan tagline-nya. Mata Angin—Festival Budaya Lintas Penjuru. Segera saya bagi itu ke saudara Subud tersebut, yang pada gilirannya membagi ke rekannya, seorang pengarah seni (art director) yang bukan anggota Subud. Ia tercengang--bagaimana saya bisa terpikir ide tersebut, sementara ia dan saudara Subud itu telah brainstorming dan mengkaji berbagai aspek terkait Tulungagung sekian lama sebelum saya bergabung. Saya mendapatkan ide tersebut justru ketika saya sedang tidak berpikir, yaitu di dalam Latihan Kejiwaan.
Brainstorming berlangsung terus saat saya mengunjungi Tulungagung—untuk pertama kalinya—bersama saudara Subud itu. Kami blusukan ke pelosok-pelosok, hingga ke lereng Gunung Wilis dimana terdapat candi di elevasi 1.600 meter di atas permukaan laut, dan tempat-tempat keramat nan angker yang menjadi tempat pemujaan bagi para penghayat kepercayaan yang marak di kabupaten itu. Kami juga brainstorming sambil menikmati soto ayam khas Kediri di pinggir Pasar Ngunut, Tulungagung, yang hanya berjualan tengah malam.
Soto ayam kakilima itu menjadi saksi
bisu dari peletakan dasar kreativitas dari konten acara yang akan digelar tahun
depan, yang mewakili cara saya dan saudara Subud itu dalam memperingati 100
tahun turunnya wahyu Latihan Kejiwaan kepada Bapak dan memuliakan Latihan kami
melalui pekerjaan kreatif yang terbimbing.©2024
Pondok Cabe,
Tangerang Selatan, 1 Agustus 2024