TANGGAL 21-27 Februari 2024,
saya berada di sebuah kabupaten di provinsi Jawa Timur, bernama Tulungagung,
untuk melakukan pekerjaan saya sebagai konsultan kreatif. Bertemu di sana
dengan mitra kerja saya yang telah berada di Tulungagung sehari sebelumnya.
Mitra kerja saya, seorang praktisi branding,
merupakan pembantu pelatih (PP) Subud yang bertahun-tahun lalu membawa saya ke
Subud dengan memperkenalkan saya kepada Mas Adji.Di Tulungagung, saya dengar
dari satu anggota Subud Sidoarjo (Jawa Timur) yang berpraktik sebagai dokter
spesialis anak di rumah sakit umum daerah Tulungagung, pernah ada cabang Subud
beranggotakan lebih dari 50 orang yang sudah punah pada kurun waktu 2003-2005.
Beberapa anggota dan PP masih berada di kabupaten itu, tersebar di sejumlah
kecamatan.
Karena itulah, di kabupaten
yang terletak di sebelah selatan provinsi Jawa Timur, yang pesisir selatannya
berbatasan dengan Samudra Hindia, itu kini tidak ada cabang Subudnya, apalagi hall Latihan. Menghadapi kenyataan ini,
selama seminggu di Tulungagung, saya yang terbiasa Latihan tiga kali seminggu
harus mencari cara lain. Apalagi, urusan pekerjaan telah membuat saya dan mitra
kerja saya “kepenuhan”, sehingga membutuhkan pelepasan melalui Latihan.
Setelah mempelajari
situasinya pada dua hari pertama kami di Tulungagung—menginap di rumah kawan
dari mitra kerja saya, yang seorang penghayat kepercayaan terhadap Tuhan Yang
Maha Esa namun belum mengerti apa itu Subud, di sebuah dusun yang sunyi, saya
dan mitra kerja saya memutuskan untuk Latihan di tepi sawah pada tengah malam.
Ya, di alam terbuka!
Kami Latihan tanpa aba-aba
dari seorang PP, meski mitra kerja saya itu PP yang pernah bertugas di Subud
Cabang Surabaya. Prosesnya cukup ajaib: Sebelum Latihan, kami nongkrong di
teras rumah si penghayat itu, ditemani kopi hitam kental dan rokok. Kami
mengobrol tentang berbagai aspek kejiwaan dan pengalaman kami berdasarkan hal
itu. Tanpa aba-aba, mitra kerja saya lantas berdiri, menuruni tangga teras ke
pekarangan rumah yang tidak berpagar, melangkah menuju jalan desa yang sepi dan
rada gelap yang berbatasan dengan sepetak sawah, lalu masuk ke dalam keadaan
Latihan.
Saya menyusulnya kemudian,
juga dengan proses yang sama. Latihan “menyambut saya dengan lengan terbuka”
ketika saya menjejakkan kaki di jalan desa. Saya serasa berada di dalam hall raksasa, yang semarak dengan suara
jangkrik dan tonggeret serta gemericik air irigasi. Perasaan saya terbebaskan
dan selama kurang lebih setengah jam saya melayang dalam kehidupan yang
benar-benar milik saya sendiri.
Ketika kami selesai Latihan,
ajaibnya jalan desa yang sepi selama kami menerima bimbingan Tuhan kembali
dilalui beberapa sepeda motor dan pejalan kaki.
Dua hari setelah pengalaman
Latihan di tepi sawah itu, kami dikunjungi dua anggota Subud dari Ranting Wlingi,
Blitar, sekitar 40 km di sebelah timur Tulungagung. Mereka juga kami ajak
menikmati Latihan di tepi sawah. Saya merasakan kecanggungan mereka, mungkin
karena belum terbiasa, mungkin juga karena khawatir terpergok warga desa.
Saya bilang ke mereka, “Kemungkinan
besar tidak ada yang berani lewat, karena melihat empat orang menari-nari di
tengah jalan di tengah malam mereka bakal mengira kita ini orang gila atau
penjahat.”©2024
Pondok
Cabe, Tangerang Selatan, 10 Maret 2024