SAYA (bisa) masuk Subud berkat perkenalan saya dengan seorang praktisi branding. Saya juga berprofesi di bidang branding, sehingga konektivitas kami, yang akhirnya membawa saya ke Subud, didasari oleh pekerjaan kami yang sama—kadang ada proyek yang kami kerjakan bersama, tapi ada pula yang sifatnya hanya konsultatif; saya berkonsultasi pada mitra saya itu atau sebaliknya, bila salah satu dari kami membutuhkan solusi atas masalah pekerjaan.
Mitra kerja saya itu kelak menjadi pembantu pelatih yang melayani saya semasa saya menjadi kandidat anggota Subud, tapi di luar Subud hubungan kami tetap profesional. Setelah saya dibuka, hubungan kami tetap pembantu pelatih-anggota di Subud dan mitra kerja di luar Subud. Yang menakjubkan bagi saya adalah seringnya kami berjalan beriring sebagai mitra kerja sekaligus pembantu pelatih-anggota bahkan saat sedang menangani proyek branding, karena bagi kami berdua, sebagai anggota Subud, pekerjaan pun memberi kami pengertian-pengertian menyangkut kejiwaan. Dengan kata lain, kami mengalami pertumbuhan jiwa pada setiap pekerjaan yang kami lakukan bersama. Selalu ada pengalaman ajaib yang kami alami saat bekerja dengan bimbingan Latihan Kejiwaan!
Seperti baru-baru ini, ketika kami bertemu di Kabupaten Tulungagung di provinsi Jawa Timur untuk proyek destination branding yang akan menunjang industri pariwisata di daerah itu. Saya datang dari Jakarta (13 jam perjalanan dengan kereta api, karena kereta api adalah salah satu dari hanya dua pilihan moda transportasi darat untuk mencapai daerah itu), sedangkan mitra kerja saya datang dari Madiun (dua jam dari Tulungagung). Di saat bekerja, yang mencakup bertemu dengan para pelestari budaya lokal, warga masyarakat dan kunjungan ke sejumlah obyek wisata alam dan situs-situs arkeologis, yang memaksa kami harus melalui medan-medan yang menantang ketahanan fisik kami, tak bosan-bosannya pembantu pelatih sekaligus mitra kerja saya itu mengingatkan saya akan ke-Subud-an saya melalui kalimat berbahasa Jawa “ojo dipikir, dilakoni ae” (jangan dipikir, jalani saja).
Dan memang dia selalu berhasil membuat dirinya sendiri maupun saya tak pernah mengeluh atau merasa berat dalam melakukan pekerjaan kami, karena kami selalu merasakan ringan. Bahkan saya sendiri tidak mudah percaya bahwa saya mampu mengatasi kesulitan apapun dalam proses pekerjaan kami.
Sekembalinya di Jakarta,
saya berbagi pengalaman saya selama di Tulungagung berbekal prinsip “ojo dipikir, dilakoni ae” kepada saudara-saudara Subud generasi terkini, yang
tidak familiar dengan kalimat bahasa Jawa tersebut, yang sebenarnya sudah
menjadi tradisi turun-temurun, karena di Jawa prinsip itu merupakan falsafah
hidup para leluhur, yang memandu mereka dalam menjalani hidup yang sulit dengan
selalu sabar, tawakal dan ikhlas.©2024
Pondok
Cabe, Tangerang Selatan, 1 Maret 2024