SETIAP tanggal 1 September, masyarakat Eropa mengenangnya sebagai hari pecahnya Perang Dunia Kedua. Pada tanggal itu, 83 tahun yang lalu, angkatan bersenjata Jerman (Wehrmacht) menyerbu Polandia. Peristiwa itu disebut dalam buku sejarah militer dunia sebagai “blitzkrieg”, atau perang kilat.
Para pakar militer memandang Blitzkrieg bukan sebagai sebuah konsep peperangan (warfare), melainkan sebuah metodologi manuver bermobilitas tinggi untuk merebut momentum. Bagaimanapun, penggunaan tank dan kendaraan lapis baja (“panzer” dalam bahasa Jerman) sebagai ujung tombak serbuannya mencatatkan Blitzkrieg 1 September 1939 di dalam lembaran sejarah Perang Dunia II sebagai pelopor peperangan mekanis (mechanized warfare).
Selama ini, sejumlah literatur strategi menyatakan bahwa karya-karya dari pemikir strategi dan sejarawan militer Inggris, yaitu Sir Basil Henry Liddell Hart dan Mayor Jenderal John F.C. Fuller, yang telah menginspirasi para panglima perang Jerman dalam menyusun rencana Blitzkrieg. Namun, hal itu belakangan dibantah dan dinyatakan hanya sekadar mitos yang dibuat Liddell Hart untuk memperkuat reputasinya sebagai pemikir strategi.
Blitzkrieg mengacu pada serangan berdaya kejut (surprise attack) menggunakan konsentrasi kekuatan yang besar dan cepat, yang terdiri dari formasi-formasi kendaraan lapis baja dan kendaraan bermotor atau infanteri mekanis, bersama dukungan udara dekat (close air support) yang bertujuan untuk menerobos garis-garis pertahanan lawan, kemudian mendislokasi pasukan pertahanannya, menghilangkan keseimbangan musuh dengan membuatnya sulit merespons front-front yang terus berubah, dan mengalahkan mereka dalam suatu Vernichtungsschlacht, atau pertempuran pembinasaan.
Meskipun bukan mitos bahwa John F. Kennedy menjuluki Liddell Hart sebagai “Kapten yang mengajari para Jenderal” berkat pemikiran-pemikiran strategi perangnya yang genial, tetapi Blitzkrieg bukanlah buah pemikiran dari perwira Angkatan Darat Inggris yang diberhentikan dengan hormat karena luka-luka yang didapatnya dalam Pertempuran Somme pada Perang Dunia I ini. Perang kilat yang digelar Jerman di Polandia bersumber dari pemikiran seorang jenderal Jerman, yaitu Heinz Wilhelm Guderian. Meskipun versi bahasa Jerman dari memoar Guderian menyebut nama Liddell Hart, tetapi hal itu tidak dalam kaitan dengan pengembangan teori peperangan lapis baja (armored warfare).
Lahir di Kulm, Prusia Barat (sekarang bernama Chelmno, yang masuk wilayah Polandia) pada 17 Juni 1888, Guderian adalah seorang ahli taktik dan teknisi yang mumpuni, yang berhasil memimpin pasukannya dalam Invasi Polandia, Pertempuran Prancis, dan selama tahap-tahap awal invasi Uni Soviet: terutama dalam gerak maju ke Smolensk dan Pertempuran Kiev. Liddell Hart menulis bahwa sebagian besar dari keberhasilan Guderian berasal dari posisi yang memiliki keuntungan yang besar, dan dia tidak pernah bisa meraih kemenangan dari posisi yang lemah.
Liddell Hart memperlihatkan bahwa, bagaimanapun, kekurangan Guderian lebih banyak daripada kelebihannya, seperti dengan sengaja menciptakan permusuhan antara pasukan Panzer-nya dan unsur-unsur militer Jerman lainnya, yang mengakibatkan malapetaka. Dalam memoarnya, Guderian tidak menyebutkan kegagalan-kegagalan militernya maupun hubungan dekatnya dengan Hitler. Bagaimanapun, sejarawan perang udara dan pakar perang gerilya dari Amerika Serikat, James Corum, menulis dalam bukunya yang berjudul The Roots of Blitzkrieg: Hans von Seeckt and German Military Reform bahwa Guderian adalah seorang jenderal yang sangat cemerlang, ahli taktik kelas satu dan orang yang memainkan peran sentral dalam mengembangkan divisi Panzer, terlepas dari apa yang dia sebut dan tidak sebutkan dalam memoarnya.
Guderian diperkenalkan pada taktik peperangan lapis baja pada tahun 1920an oleh Ernst Volckheim, seorang komandan tank semasa Perang Dunia I dan penulis yang produktif mengenai peperangan lapis baja. Guderian mempelajari literatur-literatur terkemuka Eropa mengenai peperangan lapis baja dan antara 1922 dan 1928 ia menulis lima artikel untuk Military Weekly, sebuah jurnal angkatan bersenjata. Walaupun topik-topik yang dibahasnya terlalu biasa, Guderian menjadikan mereka alasan mengapa Jerman kalah dalam Perang Dunia I, yang justru merupakan subyek yang kontroversial pada masa itu, sehingga Guderian pun naik daun di kalangan militer Jerman. Ada beberapa latihan manuver yang digelar di Uni Soviet dan Guderian mengevaluasi hasilnya secara akademis. Inggris sedang bereksperimen dengan unit-unit lapis baja di bawah komando Jenderal Percy Hobart, dan Guderian terus mengikuti artikel-artikel Hobart. Tahun 1924, ia diangkat menjadi pengajar dan sejarawan militer di Szczecin, kota di barat laut Polandia.
Pada 1928, Guderian telah dikenal luas sebagai pakar tank terkemuka di Jerman; tetapi, ia belum pernah menaiki tank sampai tahun 1929, yaitu ketika ia mengendarai sebentar sebuah tank buatan Swedia, Stridsvagn (= kendaraan tempur) m/21-29. Ia dipindahtugaskan pada tahun 1928 ke Staf Pendidikan Angkutan Bermotor untuk mengajar. Seiring kenaikan pangkatnya menjadi letnan kolonel pada 1931, ia menjadi kepala staf Inspektorat Pasukan Bermotor yang dipimpin Jenderal Oswald Lutz. Jabatannya itu menempatkan Guderian di pusat pengembangan peperangan bermobilitas dan pasukan lapis baja.
Sepanjang dekade 1930an, Guderian memainkan peran penting dalam pengembangan konsep divisi panzer dan doktrin peperangan ofensif mekanis yang kemudian dikenal sebagai “blitzkrieg”. Batalion Angkutan Bermotor ke-3 yang dipimpinnya menjadi cetak biru dari kekuatan lapis baja Jerman di masa depan. Namun, perannya sebenarnya tidak terlalu menonjol sebagaimana klaimnya dalam memoarnya dan yang diulangi oleh para sejarawan di era pasca Perang Dunia Kedua.
Pada Agustus 1939, Guderian menerima tongkat komando atas Korps Pasukan XIX—sebuah korps lapis baja dari Wehrmacht, yang pada 1940 berganti nama menjadi Grup Panzer 2 (Panzergruppe 2)—yang baru dibentuk. Dalam waktu singkat, ia diperintahkan untuk menjadi ujung tombak dari elemen utara dari invasi ke Polandia yang dimulai pada 1 September. Di bawah naungan korpsnya terdapat salah satu dari enam divisi panzer yang dimiliki Angkatan Darat Jerman; Korps Guderian mengendalikan 14,5 persen dari jumlah kendaraan tempur lapis baja yang dimiliki Jerman. Tugasnya adalah untuk bergerak maju melalui bekas wilayah Prusia Barat (termasuk tempat kelahiran Guderian di Kulm), kemudian melakukan perjalanan melalui Prusia Timur sebelum menuju selatan ke arah Warsawa.
Guderian menggunakan konsep Jerman tentang “memimpin ke arah depan”, yang mengharuskan para komandan untuk bergerak ke medan tempur dan menilai situasi. Dia memanfaatkan sistem komunikasi modern dengan bepergian dengan kendaraan komando yang dilengkapi radio yang dengan itu dia tetap dapat berhubungan dengan markas komando Korps.
Pada 5 September, Korps XIX telah bergabung dengan pasukan yang maju ke barat dari Prusia Timur. Guderian telah mencapai kemenangan operasional pertamanya dan dia mengajak Hitler dan Heinrich Himmler (komandan Schutzstaffel/SS) dalam tur ke medan tempur. Keesokan harinya, ia memindahkan korpsnya melintasi Prusia Timur untuk berpartisipasi dalam gerak maju ke Warsawa.
Pada tanggal 9 September, korpsnya diperkuat oleh Divisi Panzer ke-10 dan ia melanjutkan gerak pasukannya lebih dalam di wilayah Polandia, dan berhenti di Brest-Litovsk (kini bernama Brest, sebuah kota yang masuk wilayah Belarusia). Dalam sepuluh hari, Korps XIX Guderian bergerak maju sejauh 330 kilometer, yang terkadang harus menghadapi perlawanan yang keras. Tank telah terbukti sebagai senjata yang ampuh, dengan hanya delapan yang hancur dari 350 yang digunakan.
Pada 16 September, Guderian melancarkan serangan ke Brest Litovsk; hari berikutnya, Uni Soviet menginvasi Polandia. Dia mengeluarkan ultimatum kepada kota itu—menyerah kepada Jerman atau Soviet—dan garnisun setempat memilih menyerah kepada Jerman. Masuknya Uni Soviet ke dalam Perang Dunia II menjatuhkan moril Polandia dan pasukan Polandia mulai menyerah secara massal kepada pasukan Guderian. Di akhir kampanye, Guderian dianugerahi tanda jasa Ritterkreuz des Eisernen Kreuzes (Salib Kesatria dari Salib Besi).
Heinz Guderian dikenal sebagai salah satu dari banyak pemikir militer dan jenderal yang inovatif di Angkatan Darat Jerman selama Perang Dunia Kedua. Di bawah kepemimpinannya, pasukan panzer Jerman menjadi terkenal dan ditakuti oleh angkatan bersenjata di seantero Eropa. Ia menjabat sebagai Komandan Korps Panzer, Komandan Panzer Angkatan Darat, Inspektur Jenderal Pasukan Lapis Baja dan kepala Oberkommando des Heeres (OKH) atau Komando Tertinggi Angkatan Darat. Ia meraih pangkat tertinggi Jenderal Besar (Generaloberst) atau Kolonel Jenderal pada Juli 1940.©2022
Pondok
Cabe, Tangerang Selatan, 1 September 2022