PERINTAH dan larangan merupakan
ciri ajaran agama. Tuhan memerintahkan hambaNya, Tuhan melarang hambaNya. Jika menaati
perintah dan laranganNya, seorang hamba akan selamat di dunia dan akhirat.
Konon, perintah dan larangan itu berasal dari Tuhan. Saya katakan “konon”,
karena tidak menyaksikan sendiri apakah benar Tuhan berbicara langsung kepada
orang yang menerima wahyu.
Subud bukan agama. Karena
bukan agama, maka tidak ada perintah dan larangan di Subud. Satu-satunya
larangan, gurau satu saudara Subud ke saya, adalah “dilarang parkir” –
kebanyakan tempat anggota berlatih kejiwaan tidak memiliki areal parkir
kendaraan roda empat atau terbatas ruangnya. Satu pembantu pelatih
berkebangsaan Amerika Serikat yang telah tinggal di kompleks Wisma Subud
Cilandak sejak 1970an, yang karena itu pernah sering mengalami langsung interaksi
dengan Pak Subuh, menyampaikan bahwa Bapak mengatakan, hanya ada satu wajib di
Subud, yaitu wajib tertawa, dan hanya ada satu larangan, yaitu dilarang depresi.
Subud bukan agama, sehingga
tidak ada perintah dan larangan yang wajib ditaati. Tetapi, melarang anggota
Subud melakukan apa yang diajarkan agamanya sama saja menjadikan Subud agama,
karena agama sarat dengan perintah dan larangan. Seyogyanya, bebas-bebas saja.
Seperti apa yang saya alami baru-baru ini dengan satu saudara Subud, yang
mengkritik perihal adanya kegiatan salat pada daftar acara sebuah perhelatan
Subud di bulan Ramadan tahun 2022. Menurutnya, acara Subud seharusnya murni
kejiwaan, tidak boleh ada kegiatan terkait agama.
Merespons kritiknya, saya
katakan padanya bahwa meskipun dicantumkan sebagai agenda pada suatu acara,
anggota bebas mau mengikutinya atau tidak, dan juga tidak memaksakan
kehendaknya pada orang lain yang memilih untuk melakukannya. Jangankan ritual
agama, kegiatan kejiwaan seperti Latihan Kejiwaan, mendengarkan ceramah,
dan/atau sarasehan kejiwaan saja tidak wajib bagi anggota untuk menghadirinya
atau melakukannya.
Entah sudah berapa kali saya
tidak menghadiri pemutaran rekaman ceramah Bapak dan ceramah live dari Ibu Rahayu. Saya hanya
mengikuti tuntunan dari dalam, yang tidak melulu mau menghadiri ceramah,
betapapun pentingnya isi ceramahnya. Lagipula, berbeda dengan ceramah di agama,
ceramah Bapak dan Ibu Rahayu bukanlah ajaran, dan tidak perlu dipercaya kalau
kita belum mengalami sendiri.
Di Subud, segalanya bersifat
pribadi. Anda mau maju atau jalan di tempat, mau “naik kelas” atau blangsak, mau mulia atau tidak, tidak
ada yang bisa dan boleh memaksa Anda. Masing-masing pelatih kejiwaan Subud
menerima bimbingan yang sifatnya berbeda-beda untuk setiap orang. Betapapun
baiknya bimbingan yang diterima seseorang, tidak serta-merta baik pula bagi
orang lainnya. Inilah sebabnya mengapa Bapak menegaskan bahwa Subud bukan
agama. Karena Subud beragam, sedangkan agama mengharuskan seragam.
Bila agama merupakan pedoman
bagi manusia untuk melakoni hidupnya, maka, menurut saya, agama yang dijunjung
di Subud adalah “agama pribadi”, yaitu pedoman hidup berdasarkan bimbingan
Tuhan yang diterima setiap pelatih kejiwaan, dengan perintah dan larangan yang
bersifat pribadi; berbeda antara satu orang dengan yang lainnya.©2022
Pondok Cabe, Tangerang Selatan, 7 April 2022