KARENA
kehilangan seseorang yang disayanginya, seorang saudara Subud baru-baru ini
mengirim pesan WhatsApp ke saya, menanyakan apa yang harus ia lakukan. Ia
mengungkapkan bahwa ia sangat bersedih dan saya dapat merasakan kesedihannya.
Seperti
biasa, saya merasakan diri dahulu, “menguji” respons seperti apa yang sebaiknya
saya sampaikan. Latihan Kejiwaan menuntun saya untuk menjawab berikut ini: “Jangan
diingkari kesedihannya, release saja
kalau memang sedih. Itu manusiawi.”
Dia
menerimanya dengan baik, merasa mendapat dukungan untuk bersedih.
Jika Anda
sedih, menangislah. Jika Anda bahagia, tertawalah. Lakukan apa yang tepat bagi
Anda, sesuai kondisi Anda di suatu waktu. Jika hal-hal sederhana ini tidak bisa
Anda lakukan, berarti Anda belum menjadi manusia. Sedih, bahagia, marah, jatuh
cinta, dan-lain emosi adalah manusiawi. Sesimpel itu.
Benarkah?
Memang benar, sesimpel itu. Tapi ternyata, banyak orang tidak mampu
melakukannya. Mengapa?
Membaca
pesan WhatsApp-nya saudara Subud itu, saya jadi prihatin. Saya merasa kasihan
pada begitu banyak manusia di sekitar kita yang begitu kacaunya keadaan pikiran
mereka sampai hal-hal simpel saja mereka tidak tahu/ingat. Kalau kehidupan kita
terlalu dikontrol oleh akal pikir, oleh nilai-nilai yang tumbuh dari akal pikir
semata, kita cenderung memiliki pikiran yang tidak terarah atau terbimbing,
sehingga sulit menjadi “manusiawi”.
Saya pernah
membaca sebuah buku tentang cara mengembangkan kreativitas, dan aspek paling
penting yang dianjurkan buku tersebut adalah simplisitas. Anda hanya bisa
menghasilkan ide-ide kreatif bila cara berpikir Anda sederhana.
Sebagai
praktisi penjenamaan (branding),
beride kreatif adalah makanan pokok saya. Bila saya tengok ke belakang, ke saat
saya baru membangun karir sebagai copywriter,
26 tahun yang lalu, saya pun pernah berada dalam kondisi pikiran tidak
terbimbing, sehingga tidak mampu berpikir simpel. Setelah masuk Subud, dan
dimampukan untuk “meneliti diri” (niteni),
saya menganalisis proses diri dari berpikir rumit hingga menjadi simpel, dan
dampak-dampak yang ditimbulkannya. Dengan pikiran yang kosong/hening,
simplisitas justru lebih cepat mengemuka.
Pernah
suatu ketika saya menghadapi satu klien saya, yang berkeluh-kesah bahwa dia
letih dan kurang tidur. Dia sudah minum berbagai suplemen dan jamu, letihnya
tidak hilang juga. Lalu saya memberi saran ke dia, “Pak, kalau capek istirahat.
Perbanyak tidurnya.”
Dia
tertegun, seperti baru menyadari kebodohannya sendiri. Jawaban saya paling
masuk akal dan simpel, namun pikiran tak terarah dari klien saya tidak dapat
merumuskan solusi sesederhana itu. Ternyata tidak simpel untuk bisa berpikir
simpel, walaupun sebenarnya gampang sekali. Cukup dengan tidak berpikir
melampaui seharusnya.©2021
Pondok Cabe, Tangerang Selatan, 19 September 2021