PUASA hari
kesembilan tahun 1442 H./2021 Masehi. Saya pasang alarm jam di telepon seluler
saya untuk membangunkan saya pukul 03.21 untuk menyiapkan makanan sahur. Tapi
tanpa saya sadari—bahkan saya mengira saya terlambat bangun karena tidak
mendengar bunyi alarm ponsel—saya terbangun lebih awal.
Saya keluar kamar
dan pergi ke dapur untuk menyiapkan makanan sahur. Saat itulah istri saya, yang
tidur bersama anak kami di kamar yang terpisah, mengirim pesan WhatsApp bahwa
saya bangun terlalu dini, baru jam 01.30. Saya terkejut, tapi saya selesaikan
memasak makanan dan kemudian kembali ke kamar saya.
Harapan saya untuk
tidur kembali dari pukul 01.50 hingga jam 03.21 tidak terwujud. Saya tetap
terjaga dengan mata yang bahkan sulit untuk dipejamkan. Saya mendengar suara
Bapak Subuh di telinga batin saya. Seperti seorang guru yang berdiri dengan
wibawa di depan kelas, Bapak menjelaskan ke saya tentang hakikat cinta. Cinta
yang dari jiwa, bukan cinta nafsu.
Cinta jiwa tidak
ingin memiliki, tidak merindu kehadiran fisik, tidak berhasrat seksual—bahkan
keinginan untuk bersentuhan kulit saja sudah termasuk hasrat seksual. Cinta
yang dari jiwa membebaskan si pecinta sehingga selalu jujur pada dirinya
sendiri dan orang lain, dan membuat si pecinta mampu menjadi dirinya sendiri.
Pandangan umum bahwa
“cinta yang tak harus memiliki orang yang dicintai” merupakan sesuatu yang
mustahil atau menyiksa diri, menurut penjelasan Bapak kepada saya, tidak
berlaku dalam cinta jiwa. Dalam cinta yang dari jiwa, getaran atau vibrasi jiwa
adalah kehadiran satu-satunya yang memuaskan sang pecinta. Vibrasi itu bahkan
mengalir hingga berkoneksi ke Cinta Teragung (kekuasaan Tuhan).
Cinta jiwa bersifat
abadi, kekuatannya langgeng, tak lekang oleh waktu. Tidak seperti cinta nafsu
yang mudah disergap rasa bosan, rasa kecewa, rasa cemburu, rasa ingin selalu
dekat secara lahiriah, rasa ingin bersentuhan hingga lebih jauh lagi—berhubungan
badan. Jika orang pada umumnya mengatakan bahwa perasaan cinta dalam perkawinan
hanya bertahan paling lama lima tahun pertama sejak menikah, sedangkan
selebihnya adalah perasaan sebagaimana biasa dalam hubungan pertemanan, yang
tak jarang diwarnai pertengkaran, perselisihan, hingga permusuhan, pada
hakikatnya justru itulah ciri-ciri tumbuhnya cinta jiwa; cinta yang apa adanya.
Saat itulah, saya
retrospeksi ke masa ketika saya tengah melakukan pendekatan ke wanita-wanita,
termasuk yang kelak menjadi istri saya, betapa saya tampil bukan sebagai diri
saya yang orisinal. Saya merasa harus selalu tampil hebat, melebihi
pesaing-pesaing saya yang juga berebut perhatian dari si wanita. Perilaku saya
ini adalah khas pada semua pria yang memburu “cinta”; tak tampil apa adanya,
sehingga ketika sudah jadian dengan si wanita, sering kali dalam perjalanan
waktu muncul kekecewaan pada si wanita karena keaslian si pria muncul, yang
menyebabkan si wanita merasa tertipu atau bosan.
Cinta yang dilandasi
nafsu atau hasrat seksual mencirikan sifat hewan: Yang jantan ingin menaklukkan
dan yang betina ingin ditaklukkan. Tujuannya adalah menang-menangan, sehingga
ketika kedua insan saling mendapatkan satu sama lain muncullah perasaan bangga
bak juara sebuah pertandingan. Hal ini pula yang menjadi alasan bawah sadar
mengapa orang berselingkuh, yaitu untuk membuktikan dirinya masih juara.
Banyak orang menikah
karena nafsu, karena kebutuhan untuk mendapatkan keturunan, karena tidak mau hidup
sendirian, karena ingin memuaskan berahi. Dengan cinta jiwa, kehadiran lahiriah
dari orang yang kita cintai tidak menjadi syarat. Vibrasi dari jiwanyalah yang
dapat memuaskan kerinduan.
Dalam “kuliah mental”
itu, saya mendapat penjelasan bahwa karena itulah yang disebut belahan jiwa
tidak selalu terdapat dalam hubungan perkawinan, dalam hubungan pria-wanita
selaku kekasih atau pasangan suami-istri. Bagaimanapun, kata Bapak, jangan
menyesali perkawinan yang sudah terjadi; lanjutkanlah hingga jiwa-jiwa dari
pasangan suami-istri terkoneksi satu sama lain.
Jika anak berbuat
sesuatu yang tidak sesuai dengan harapan kita sebagai orang tuanya, tegurlah,
tapi jangan diimbuhi kalimat “karena cinta”. Jangan bilang “Papa dan Mama marah
bukan karena benci, tapi karena Papa dan Mama cinta kamu”; kalimat itu adalah
kebohongan besar yang dapat mencelakai anak di kemudian hari.
Cinta jiwa
terekspresikan dengan membiarkan si anak melakukan apa yang tidak sesuai agar
dia belajar sendiri mengapa orang tuanya melarangnya melakukan hal itu. Tentu
saja, untuk anak-anak usia belia tetap harus diawasi dari dekat, sedangkan
untuk anak yang beranjak dewasa ajarkan dia tentang tanggung jawab; bahwa
perbuatan apa pun memiliki konsekuensi baik atau buruk.
Sampai di situ
kuliah mental dari Pak Subuh untuk saya. Berakhir pada jam 03.15, yang
mendorong saya akhirnya untuk keluar dari kamar, dan kembali menyiapkan makanan
sahur. Tak sedikit pun saya merasa mengantuk. Hanya kesukacitaan merasakan
cinta Tuhan yang maha besar.©2021
Pondok
Cabe III, Tangerang Selatan, 21 April 2021