Saya di depan rumah milik sendiri yang saya dapatkan dengan bimbingan Tuhan Yang Maha Kuasa. |
HARI ini, 1 September 2020, genap satu tahun
saya sekeluarga menempati rumah milik sendiri di kawasan Pondok Cabe, Tangerang
Selatan, Banten. Seorang helper Subud
Jakarta Selatan berseloroh ke saya, ketika rumah itu tengah dibangun, “Kamu
curang! Orang lain beli rumah dengan usaha sendiri, kamu malah mendapatkannya dengan
bimbingan Tuhan.”
Rumah saya ini mungil tapi cukup besar untuk
keluarga kecil saya, menyediakan ruang cukup luas untuk Nuansa tumbuh dan berkembang
dalam lingkungan yang nyaman. Untuk mendapatkannya, saya dan istri harus
melalui proses panjang dan cukup rumit, bermula dari “penerimaan” saya tahun
2018 bahwa saya dan istri harus mulai mencari rumah yang kami miliki sendiri—bukan
kontrakan atau rumah peninggalan orang tua kami.
Semula, pilihan kami jatuh pada sebuah rumah
Tipe 97 di sebuah klaster baru di kawasan Sawangan, Depok, Jawa Barat. Namun,
seberapa pun gigihnya kami berjuang mendapatkan rumah tersebut melalui
fasilitas kredit pemilikan rumah (KPR) dari masing-masing dari delapan bank
negara dan swasta nasional yang bekerja sama dengan pengembang, selalu jalan
buntu yang kami hadapi. Para eksekutif pemasaran yang bekerja untuk pengembang
tampaknya tidak membantu kami secara maksimal—belakangan, kami tahu bahwa
mereka pegawai tetap dengan gaji bulanan, sehingga bekerja santai, tidak mau
mencurahkan energi buat membantu calon pembeli.
Saya nyaris putus asa, tapi kemudian “mendengar”
suara diri sendiri agar jangan menyerah, tapi berserah dengan sabar, tawakal,
dan ikhlas. Hal itu saya dan istri lakukan. Satu per satu, dinding-dinding yang
menghalangi jalan kami mulai roboh, dan terbuka jalan lurus ke arah yang kami
harapkan. Entah dapat nomor istri saya dari mana, seorang agen pemasaran
perumahan lepas (freelance) mengirim
pesan WhatsApp ke istri saya, menawarkan rumah di satu klaster di Cinere. Kami
pun menemuinya dan bersamanya meluncur ke lokasi klaster yang sedang dalam
tahap pembangunan itu.
Rumahnya asik, berlantai satu, tapi jalan
menuju ke lokasi seperti labirin dengan banyak belokan, yang tidak dapat saya
hapal dengan mudah. Istri pun sepikiran dengan saya, sehingga ia bertanya
kepada si agen pemasaran, apakah ada pilihan lain. Si agen berpikir lama, lalu
berkata, “Ada satu klaster yang juga lagi dibangun, Bu. Satu rumah sudah
selesai dan sudah ditempati. Ibu dan Bapak bisa lihat lokasinya sekarang, kalau
mau.”
Tentu saja kami mau. Kami sudah “kebelet”
ingin pindah ke rumah milik sendiri di akhir tahun 2018 atau awal tahun 2019. Selain
itu, sewa rumah kontrakan kami di Kalibata Selatan II, Jakarta Selatan, sudah
berakhir akhir Juni 2018, tetapi pemiliknya memberi kami batas maksimal hingga
akhir Januari 2019. Memiliki rumah sendiri didasari keinginan kami untuk
menetap tanpa diusik pemikiran untuk mencari rumah kontrakan lain selama jangka
waktu tertentu, untuk kemudian pindah lagi. Hal itu cukup merepotkan! Si agen
pun menuntun kami ke kawasan Pondok Cabe, dekat area Lapangan Terbang Pelita
Air Service, yang begitu familiar bagi saya. Sebuah lokasi di belakang
perumahan penduduk asli Jalan Pondok Cabe III sedang dikembangkan menjadi
sebuah klaster yang terdiri dari tujuh rumah (saya lantas mengaitkannya dengan
tujuh lingkaran lambang Subud dan tujuh sebagai angka keramat dalam tradisi
spiritual universal).
Entah mengapa atau apa, saya dan istri segera
merasakan aura atau energi positif bahwa di klaster itulah kami akan membangun
rumah milik sendiri. Di tengah proyek konstruksi yang masih berantakan, dan
belum memberi gambaran jelas tentang bagaimana lingkungan hunian tersebut
jadinya, kami bisa melihat secara gaib bentuknya. Hal itu memberi kami
kepastian yang kuat untuk segera mengurus dokumennya, mengajukan permohonan KPR
kepada Bank BTN, dibantu oleh si agen yang mau berjuang untuk itu. Teriring
keterkejutan kami, kurang sebulan kemudian, si agen menginformasikan bahwa Bank
BTN setuju untuk memberi kami KPR. Puji Tuhan!
Selama proses pembangunannya berjalan, saya
bersama istri dan Nuansa menunggu dengan sukacita di sebuah rumah kontrakan
mungil di Jalan Pondok Cabe III juga, hanya berjarak sekitar 200 meter dari lokasi
klaster tersebut. Selama proses pembangunan, secara berkala saya dan istri
meninjau lokasi. Berbeda dengan para pembeli lainnya, kami diperlakukan
istimewa oleh pengembang. Pengembang memberi kami kebebasan untuk
mengarahkannya tentang bagaimana bentuk fasad dan interior rumah idaman kami,
suatu privilese yang tidak ia berikan kepada para pembeli lainnya, meskipun
mereka membelinya secara tunai.
Kami juga mendengar cerita-cerita ajaib dari
para kuli bangunan yang mengerjakan konstruksi rumah kami dan lima rumah
lainnya di klaster itu. Mereka merasa suasana sejuk dan nyaman di rumah itu,
meskipun belum selesai pembangunannya, sehingga para kuli itu selalu tidur di
bangunan rumah yang akan menjadi milik kami. Mungkin itu pula yang dirasakan si
helper Subud yang berseloroh ke saya
tadi: Rumah kami diberkatiNya!
Pada 1 September 2019, sedari pagi istri saya
sudah sibuk mengatur pindahan barang-barang kami ke rumah yang baru. Satu truk
berukuran besar memboyong perabotan kami dari rumah kontrakan di Pondok Cabe
III serta sebagian lagi dari rumah orang tua saya di Mampang Prapatan, Jakarta
Selatan, yang saya titipi barang yang tidak muat di rumah kontrakan baru kami
di Pondok Cabe III. Sedari pagi, saya telah membawa Nuansa ke rumah baru kami.
Menginjakkan kaki pertama kali di lantai ruang tamu rumah tersebut, Nuansa
berseru, “Ini lumah Nuanta, Papoy!”
Saya menahan haru mendengar ucapan putri
kecil saya itu. Saya pernah bertekad dan mohon pertolongan Tuhan Yang Maha
Kuasa agar saya dapat memberikan yang terbaik kepada Nuansa yang Ia titipi ke
kami.
Ajaibnya, pada waktu saya dan Nuansa baru
menjejakkan kaki di rumah baru kami, satu helper
dari Subud Cabang Pati menelepon saya, menanyakan kabar dan saya sedang apa.
Saya ceritakan bahwa saya sedang pindahan rumah. Pesan si helper, agar saya rutin melakukan Latihan Kejiwaan di rumah
tersebut, karena menurut rasanya, rumah baru kami itu merupakan wujud kemurahan
Tuhan atas diri kami. Setelah setahun, saya dapat memastikan bahwa ucapan si helper benar adanya.©2020
Tangerang
Selatan, 1 September 2020