KAUM bijak
sering kali berpesan, agar kita jangan berpikir negatif mengenai sesuatu atau
seseorang, karena dapat menjadi kenyataan. Sebaliknya, berpikir positif pun
dapat membawa kita kepada hal-hal baik atau positif. Karena itu, saran kaum
bijak, kita harus selalu menjaga pikiran kita. Beberapa adat yang saya tahu,
mengajak kaum prianya mengenakan tutup kepala berupa blangkon (Jawa Tengah dan DI Yogyakarta) atau totopong atau iket
(Sunda) sebagai perlambang bahwa apa yang ada di dalam kepala—pikiran—harus selalu
dijaga.
Terkait
pikiran, saya memiliki pengalaman yang unik. Setelah saya menerima Latihan
Kejiwaan dan gerak hidup saya terbimbing olehnya, saya mengalami berbagai
kejadian, di mana berpikir negatif dapat terjadi walaupun saya tidak menghendakinya.
Artinya, berpikir negatif tersebut timbul lantaran terbimbing oleh kehendak
Tuhan, bukan oleh kehendak pribadi saya.
Tahun 2005
lalu, seingat saya bulan Agustus, biro iklan tempat saya bekerja diundang menjadi
salah satu dari tujuh biro iklan serta firma kehumasan yang diikutkan tender
proyek “pemulihan citra” (image recovery)
dari PT Bank Mandiri (Persero) Tbk. Jadi, ceritanya, tiga anggota dewan direksi
bank pelat merah itu ditangkap pihak berwajib, dan untuk menghindari
kekhawatiran nasabah—mengingat pada saat itu Bank Mandiri tergolong bank baru
yang belum sepenuhnya dipercaya konsumen—yang dapat mendorong terjadinya
penutupan rekening beramai-ramai, pihak manajemen bank, dalam hal ini Divisi Komunikasi
Korporatnya, perlu melakukan pemulihan citra.
Dalam satu
Latihan Kejiwaan di Hall Latihan Cilandak, beberapa hari setelah mendapat
taklimat dari Kepala Komunikasi Korporat PT Bank Mandiri (Persero) Tbk., saya
menerima pengertian bahwa proyek itu merupakan sesuatu yang tidak benar, karena
sesungguhnya Bank Mandiri sudah memiliki dua perusahaan komunikasi (periklanan)
yang membantu bank tersebut selama ini dalam membuat iklan dan kehumasan, dan
bahwa tender itu hanya untuk “melihat-lihat etalase toko” (windowshopping).
Khawatir
bilamana penerimaan kejiwaan saya itu hanya pikiran negatif yang masih
terpendam di kepala saya, saya tidak mau memikirkannya dan tetap bersemangat
bekerja mempersiapkan perencanaan strategis serta keluarannya berupa dummy dari materi komunikasinya, bersama
tim kreatif dan account executives
dari biro iklan tempat saya bekerja waktu itu. Bos saya juga mau all-out dalam persiapan dan
presentasinya, sehingga ia memaksa manajer keuangan untuk mengalirkan dana buat
pembelian peralatan yang dapat membuat presentasi kami hebat.
Suatu
hari, sehabis pembadaian otak (brainstorming)
di ruang meeting, tinggallah saya
bersama Pak Bos dan dua cewek pemagang dari Universitas Petra Surabaya. Pak Bos
tahu bahwa saya anggota SUBUD dan menyamakan saya dengan teman baiknya sesama
praktisi periklanan yang juga aktif di SUBUD waktu itu, Soebiakto
Priosoedarsono, yaitu mampu menerawang kemungkinan-kemungkinan masa depan yang
belum terjadi.
“Menurut
penerawangan lo gimana, To? Bagaimana
kemungkinan kita, apakah bisa menang tender?”
“Jalani
saja dulu, Pak. Saya nggak mau ngeshare sesuatu yang belum terjadi,
takutnya teman-teman jadi kehilangan semangat,” kata saya.
“Lo cerita aja ke gue,” kata Pak
Bos, seorang pria setengah baya yang eksentrik sekaligus hobi marah. Ada saja
pegawai biro iklan itu yang dia marahi setiap hari.
Setelah
bimbang sejenak, sambil merasakan diri apakah perlu saya menceritakan suatu
pengalaman kejiwaan pada seorang yang bukan anggota SUBUD, saya pun membuka
mulut. Dua pemagang dari Universitas Petra tadi masih duduk dengan tegang,
menyaksikan interaksi saya dengan Pak Bos. Mereka berdua tahu, di biro iklan
itu hanya saya yang berani mendebat atau menyatakan tidak sependapat dengan Pak
Bos, dan Pak Bos respek dengan saya karena saya dapat mengemukakan
alasan-alasan yang masuk akal atau terdengar “cerdas” baginya.
“Begini,
Pak, menurut apa yang saya terima dalam Latihan di Subud adalah bahwa semua ini
nggak bener, bahwa Bank Mandiri cuman mau banding-bandingin karya agency-agency
lain dengan agency yang sudah mereka
punya,” jawab saya. Penerimaan saat Latihan Kejiwaan di Hall Cilandak itu
seperti menggema di benak saya. Saya tidak sedang berpikir negatif tentang
pekerjaan untuk Bank Mandiri itu, tapi ada suatu kekuasaan yang maha besar
membimbing saya untuk “berpikir negatif”. Saya hanya bisa menerima, karena
desakan penerimaan itu begitu kuat.
Mendadak
Pak Bos memerah mukanya dan dia naik pitam. Dia kira saya tidak mau membantu
biro iklan itu untuk menang tender. Saya juga ngamuk dan berkata kepada Pak Bos, “Lho, Bapak kan yang minta
saya cerita terawangan saya. Lha kok nggak siap nerima kenyataannya?! Saya akan tetap kerja nyiapin presentasi
kita, Pak!”
Saya bukan
orang yang gampang kabur dari masalah, karena saya kan juga perlu bukti bahwa apa yang saya terima dalam Latihan
Kejiwaan itu benar adanya. Pertengkaran saya dengan Pak Bos yang sengit itu
segera sirna bersama kesibukan saya dan tim kreatif mempersiapkan materi-materi
yang akan dipresentasikan di kantor pusat PT Bank Mandiri (Persero) Tbk.
Singkat
cerita, biro iklan tempat saya bekerja sebagai copy-based creative director bersama keenam biro iklan dan firma
kehumasan lainnya yang telah diundang untuk berpartisipasi dalam tender proyek
pemulihan citra Bank Mandiri pasca tiga direkturnya ditangkap karena kasus
korupsi itu pun melakukan presentasi masing-masing selama setengah jam pada
hari-hari dan waktu-waktu yang telah ditetapkan. Seminggu kemudian, pihak
Divisi Komunikasi Korporat bank milik pemerintah itu mengirim faksimili ke
masing-masing peserta tender, yang intinya bahwa Bank Mandiri “belum bisa
bekerja sama”.
Semula,
saya mengira hanya biro iklan tempat saya bekerja yang kalah tender, tapi
setelah kasak-kusuk mencari informasi ke keenam perusahaan komunikasi lainnya
ternyata mereka juga dinyatakan “kalah”. Tidak lama kemudian, kawan saya yang
bekerja di sebuah firma kehumasan yang dikontrak oleh Badan Penyehatan
Perbankan Nasional (BPPN), membocorkan informasi ke saya, bahwa dua biro iklan
yang tidak pernah tampil dalam tender tersebutlah yang menangani proyek
pemulihan citra Bank Mandiri. Kedua biro iklan itu memang telah diketahui
menangani pekerjaan-pekerjaan periklanan dan kehumasan bagi Bank Mandiri, yang
standar-standarnya ditentukan oleh BPPN dan diketahui oleh kawan saya selaku
konsultan humas bagi lembaga tersebut.
Saya
tersenyum lega setelah mengetahui kenyataannya. Pak Bos tidak memberi komentar apa pun mengenai kenyataan bahwa "penerawangan" saya benar adanya, sementara dua
pemagang dari Universitas Petra Surabaya itu khusus datang ke ruang kerja saya
untuk mengucapkan selamat atas kebenaran penerimaan saya dalam Latihan
Kejiwaan. Kadang, memang, berpikir negatif bisa menjadi positif apabila
dibimbing oleh kekuasaan Tuhan Yang Maha Esa.©2019
Jl. Pondok Cabe III Gang Buntu, Tangerang
Selatan, 30 Agustus 2019