BERIBUKAN
wanita asal Aceh kelahiran Langsa yang melewati masa remajanya di Meulaboh, membuat
lidah saya sejak kecil biasa bersentuhan dengan gulai dan kari. Gulai merupakan
salah satu jenis hidangan yang tersebar luas di Nusantara, terutama di Sumatera
dan Jawa. Ibu saya tidak pernah tidak menghidangkan gulai di meja makan rumah
kami di Jakarta Selatan, terutama saat ada acara yang mengundang tamu. Bahkan
tak jarang meja makan didominasi oleh aneka gulai—mulai dari gulai kepala ikan
kakap, gulai ayam, gulai usus sapi isi telur, gulai kacang panjang, sampai
gulai daun pakis dengan kecombrang. Budaya gulai dalam keluarga ibu saya
diturunkan oleh leluhur beliau yang asal Gujarat, India. Gulai di Sumatera
memang merupakan hasil pengaruh dan penerapan seni memasak India yang kaya akan
rempah dan bumbu. Ciri khas gulai buatan Ibu saya sebagaimana gulai dalam
hidangan Aceh, yaitu kuah atau bumbu gulai kental.
Pada 12
Juni 2018 lalu, saat mudik ke kota kelahiran istri dan anak saya, Surabaya,
saya diajak seorang teman makan Lontong Gule di kawasan Tembok Dukuh. Saya
sebenarnya paling malas kalau makan gulai ala Jawa yang kuahnya lebih cair dan
rasanya agak manis dan aksen rempahnya tidak tajam seperti pada gulai versi
Sumatera. Namun, Lontong Gule yang ditawarkan di rombong Lontong Gule 88 di Jl.
Tembok Dukuh, dekat belokan dari Jl. Demak, di trotoar depan kompleks ruko
(Tembok Dukuh No. 121-134), ternyata cepat akrab dengan “lidah gulai Aceh”
saya. Menurut teman saya, selain rombong Lontong Gule 88 ada dua rombong
lainnya yang menjajakan lontong gule, yang terletak berdekatan. Namun karena
menjelang Lebaran, dua rombong lainnya itu tidak buka. Ketiga rombong tersebut
biasanya mulai jualan jam 18.00 WIB.
Seperti dugaan saya, kuah gulai Lontong Gule
88 cair, alias “gulai ala Jawa”. Tapi aksen rempahnya yang cukup tajam, dengan
sedikit belaian rasa jintan, berhasil menghubungkan lontong gule tersebut
dengan ruh ke-India-an dalam diri saya. Potongan-potongan daging sapi yang
menyertai satu porsi lontong gule cukup membuat pembeli puas, karena jumlahnya
yang mengesankan penjualnya tidak pelit. Dengan
atau tanpa sambal, kuah lontong gule dari Lontong Gule 88 cukup menghangatkan perut
saya, dan berhasil merayu saya untuk tambah satu porsi lagi. Sayangnya,
sudah habis; lantaran dua rombong lain tidak buka, rombong Lontong Gule 88
dibanjiri pembeli yang makan di tempat maupun dibawa pulang.©2018
Jl. Kalibata Selatan II, Jakarta Selatan, 27
Juni 2018
No comments:
Post a Comment