KEMARIN
(14 Februari 2018), di ajang Sarasehan Nasional “Keindonesiaan dalam Perspektif
Sejarah Perjuangan Bangsa”, saya duduk bersebelahan dengan ketua panitia yang
juga yunior saya di Jurusan/Program Studi Sejarah Fakultas Sastra (FS)/FakultasIlmu Pengetahuan Budaya (FIB) Universitas Indonesia, Dr. Didik Pradjoko, M.Hum.
Didik ini orang Surabaya dan punya peran penting dalam menyambungkan saya
dengan wanita yang sekarang menjadi istri saya, yang juga asal Surabaya. Berkat
Didik, pada 15 Januari 1994 saya bisa berangkat ke Kota Pahlawan, menemui pujaan
hati. Mendiang ayahnya Didik adalah pensiunan PJKA dan karena itu Didik
mengantongi kartu bebas tiket kereta api bagi pegawai dan pensiunan Perusahaan JawatanKereta Api beserta keluarganya. Berbekal kartu tersebut, saya dan Didik dapat
menumpang KA Gaya Baru Malam Utara ke Surabaya dengan harga sangat murah. Dan
selama di Surabaya yang waktu itu merupakan kali pertama bagi saya, saya
menginap di rumah sepupunya Didik di Jojoran.
Di
sela-sela mendengarkan presentasi para panelis, saya tanya-tanya ke Didik
perihal disertasinya yang ia pertahankan dalam sidang 7 Juli 2015 di kampus FIBUI, berjudul “Kerajaan Larantuka dan Politik Kolonial Belanda: Dinamika Politik
Lokal di Kawasan Flores Timur, Kepulauan Solor, dan Timor Barat 1851-1859”.
Mungkin karena dirinya adalah dosen Prodi Sejarah FIB UI, Didik pun bergaya
seperti dosen ketika menerangkan ke saya, dengan menggunakan selembar kertas
kosong alih-alih whiteboard.
Salut
benar saya dengan bagaimana Didik mengurai peristiwa-peristiwa beserta angka
tahunnya. (Menggaung di antara obrolan kami kata-kata salah satu panelis bahwa
untuk kuliah di Jurusan Sejarah kita harus memiliki intelektualitas yang
tinggi.) Penjelasan Didik yang fasih menyebutkan angka tahun dari suatu
peristiwa mengingatkan saya ketika masih menjadi mahasiswa Jurusan Sejarah
FSUI; dalam ujian akhir semester matakuliah Ikhtisar Sejarah Indonesia II, saya
memilih menulis esai tentang Kerajaan Sriwijaya. Saya mendapat nilai “A-“.
Alasan dosennya: “Deskripsi Anda bagus sekali, runut dan mengalir. Tapi Anda
lupa, Anda itu kuliah di Jurusan Sejarah. Masak angka tahunnya kira-kira, ‘sekitar
tahun sekian’. Anda harus pasti, ndak
boleh ngira-ngira!"
Sejak
itu, saya berusaha keras mencari cara bagaimana mengingat angka tahun, tanpa
harus menghafalnya. Sejarah kan bukan
hafalan.©2018
Kalibata Selatan II, Jakarta Selatan, 15 Februari 2018