TAHUN 2005, menyusul kepindahan saya dari Surabaya ke Jakarta, saya
berkenalan dengan seorang saudara SUBUD, anggota Cabang Jakarta Selatan, yang
telah lama mempelajari perihal memetika. Salah satu konklusinya adalah bahwa
Latihan Kejiwaan memudahkannya mendapatkan pengalaman ketuhanan langsung,
sehingga ia berani menegaskan bahwa “Tuhan bukan meme”; Tuhan bukan gagasan
yang diulang-ulang selama ribuan tahun oleh oknum-oknum bergelar nabi atau
utusan, melainkan keberadaanNya dapat dialami langsung oleh rasa kita.
Dewasa ini, media sosial merupakan salah satu saluran penyebar meme
paling gencar, kuat dan mengakar, membuat siapa pun yang bergiat di medsos
gampang sekali terpedaya, dan gampang menganggap suatu meme sebagai “kebenaran
absolut”. Anggota SUBUD yang sudah menerima Latihan Kejiwaan seharusnya sanggup membentengi diri
dari pengaruh meme—berhasil atau tidaknya tergantung bagaimana kita bersikap
terhadap meme: apakah kita gampang marah, senang, tersanjung, atau tersandung
saat menghadapi apa pun yang di-posting di medsos.
Apakah meme?
Memetika adalah ilmu yang mendedah “meme” sebagai bahan baku dasar pembentuk mental,
sebagaimana genetika mendedah gen sebagai bahan baku dasar pembentuk kehidupan
fisik. Replikasi mental merupakan kemampuan yang memisahkan manusia dengan
primata lain. Bahasa, budaya, agama merupakan produk-produk yang dimungkinkan karena adanya replikasi mem, seperti halnya gen bereplikasi membentuk gugusan sel hingga menjadi tubuh yang mampu bereproduksi dan mempertahankan diri.
Dunia sudah mengenal gen
sebagai sebuah abstraksi yang bertanggung jawab pada kondisi biologis manusia.
Gen adalah cetak biru kehidupan, yang bertanggung jawab membuat organ dan apa
yang tampak dari tubuh kita. Ilmu biologi sudah mengakui eksisnya gen ini sejak
dahulu.
Kemudian muncul
pemahaman baru dari para ilmuwan biologi seperti Richard Dawkins, Richard
Brodie, Daniel Dennett, serta Susan Blackmore, yang meyakini bahwa di samping gen
yang mengatur kondisi biologis manusia, ada sebuah abstraksi lain yang bahkan
amat penting menyetir kondisi manusia. Tak lain adalah meme (baca: mim) atau mem. Meme adalah adalah apa yang ada di dalam otak manusia, sesuatu yang mengatur lahirnya ide. Meme adalah pelengkap. Bila gen mengatur biologis, meme mengatur pemikiran. Meme melahirkan ide dan pemikiran. Memetika (memetics) adalah disiplin ilmu baru yang mempelajari mengenai meme atau pembentukan ide manusia.
Meme, yang biasa
dilafalkan mim, oleh Richard Brodie disebut sebagai "batu-sendi kebudayaan sebagaimana gen adalah batu-sendi kehidupan yang mampu membentuk bangsa, bahasa, agama. Lebih dari itu, meme dalam ruang lingkup kecil juga menjadi batu-sendi akalbudi, pemrogram "komputer" mental kita.
Sebelum diberi
pengertian itu, kata meme ini dicetuskan oleh seorang ahli biologi perilaku dari
Oxford University, Richard Dawkins, dalam bukunya, The Selfish Gene (1976). Dawkins mendefinisikan meme sebagai unsur dasar penyebaran atau peniruan budaya. Sedangkan pengetahuan tentang cara-cara kerja meme yang memiliki pola berinteraksi, berlipatganda, dan berevolusinya itu namanya memetika.
Melalui pendekatan
memetika inilah kita dapat memahami bahwa globalisasi sesungguhnya adalah
bagian dari upaya penyebaran meme atau ide. Ini sesuai dengan sifat dasar meme
untuk menyebarkan dirinya. Maka Korean Pop yang tengah digandrungi segenap
kalangan masyarakat Indonesia (bahkan dunia) sebelumnya hanya berawal dari meme
atau ide seorang penggagas. Lama-kelamaan meme tersebut mereplikasi diri dan
menyebar ke seluruh dunia. Mencoba menggandakan diri, terus-menerus. Hingga
akhirnya meme tersebut menjadi tidak efektif dan tergantikan meme baru yang
lebih segar dan bagus.
Sebagai spesies yang
bertarung melawan alam selama jutaan tahun, agenda genetika selalu menggiring
kita untuk bereaksi kuat terhadap isu seks, makanan, dan bahaya. Seiring dengan itu, tombol
primordial memetika tak pelak adalah:
- Kemarahan,
- Ketakutan,
- Kelaparan, dan
- Nafsu berahi.
Menarik untuk
direnungkan bahwa yang membuat sebuah informasi berkembang sesungguhnya bukan
persoalan “penting” dan “tidak penting”, “berguna” dan “tidak berguna”,
melainkan seberapa banyak tombol primordial kita yang ditembaknya sekaligus.
Para pengiklan tahu
bahwa siluet tubuh perempuan bisa membantu penjualan sebuah mesin pompa air,
yang sesungguhnya tidak punya hubungan langsung dengan lekuk pinggul dan
belahan dada. Mereka juga bisa menyembunyikan bahaya rokok dalam sosok
laki-laki gagah yang berarung jeram di alam nan indah. Begitu juga dengan
liputan berita yang kerap menciptakan suasana kritis agar pemirsa merasa
terdesak dan tercekam. Reporter berwajah santai dan mengatakan “semua baik-baik
saja” tidak akan menularkan meme kuat yang menjadikan berita itu punya nilai
penting (atau tepatnya nilai jual).
Seberapa pun hebat
urgensi yang ditawarkan, apa yang kita konsumsi seringkali bukanlah apa yang
kita butuhkan. Ini mengingatkan saya pada penelitian Masaru Emoto; bagaimana
molekul air rusak ketika didekatkan pada televisi yang memutar adegan
kekerasan, dan sebaliknya, molekul air membentuk gugus heksagonal saat
diputarkan dokumenter alam. Tampilan dunia yang baik-baik saja ternyata
memperbaiki tubuh kita sampai level molekular, sementara dunia yang keras dan
bahaya—walau rating-nya lebih tinggi—ternyata merusak kita sama besarnya.
Virus pikiran juga bekerja melalui asosiasi
dan repetisi. Ketika artis-artis yang bercerai habis-habisan diekspos, orang
mulai percaya bahwa artislah jenis manusia yang paling rentan kawin-cerai,
bahkan menjadi motor penggerak bagi rakyat untuk ikut tren sama. Padahal jumlah
artis yang bercerai hanyalah noktah tak berarti dibandingkan kasus perceraian
yang terjadi di masyarakat umum.
Patriotisme sebagai
nilai tidak muncul spontan sejak kita lahir. Kita diprogram melalui repetisi
upacara setiap Senin pagi dan penataran Pancasila setiap naik jenjang sekolah.
Keinginan beragama tidak muncul begitu saja; seorang anak diprogram mulai dari
nol melalui repetisi dan asosiasi tentang adanya hadiah bernama surga, hukuman
bernama neraka, dan bos besar yang lebih berkuasa daripada orang tuanya bernama
Tuhan.
Memetika sebagai ilmu
yang relatif masih muda mampu memberi perspektif segar untuk memilih, memilah,
bahkan berhenti sejenak dari bombardir informasi yang menginvasi pikiran kita.
Tidak heran jika dalam hampir semua buku memetika yang ada, meditasi selalu
jadi bahasan penutup, semacam antiviral yang dianjurkan. Bukan karena meditasi
adalah bagian dari mem religi tertentu, tapi itulah satu-satunya metode yang
membalikkan proses invasi mem: hening,
diam, mengamati, tanpa bereaksi. Para anggota SUBUD punya Latihan
Kejiwaan, yang bukan meditasi, bahkan dianggap melampaui meditasi (kecuali informasi ini merupakan meme-nya SUBUD). Kita perlu membekali diri kita dengan perangkat ini
di dunia yang dilanda “pembunuh karakter laten” bernama meme.©
Jakarta, 10 Agustus 2016
No comments:
Post a Comment