“Seluruh gagasan tentang kasih sayang didasarkan pada kesadaran yang
tajam mengenai saling ketergantungan antara semua makhluk hidup, yang merupakan
bagian dari satu sama lain, dan semua yang terlibat dalam hubungan satu sama
lain.”
—Thomas Merton, penulis dan
mistikus Amerika berdarah Inggris
SAYA punya kebiasaan menggunduli rambut saya hingga kepala saya plontos
setiap satu setengah bulan sekali. Mengapa satu setengah bulan? Tidak lain dan
tidak bukan lantaran selama rentang waktu itulah rambut saya tumbuh dan membuat
kepala saya tak ubahnya rumput liar yang tak terurus. Saya pernah dan sering
berharap kepala saya tetap plontos untuk selamanya, agar tak usah pergi ke
tukang pangkas rambut setiap setengah bulan sekali, dan tidak perlu
bersusah-payah merawat rambut saya.
Nah, hari Minggu, 19 Januari 2014, yang lalu, saya kembali mendatangi
tukang pangkas rambut langganan saya untuk menggunduli kepala saya. Tukang
pangkas rambut langganan saya ini seorang pria yang ramah, yang selalu mengajak
pelanggannya mengobrol tentang berbagai persoalan aktual sambil sesekali
melempar pandang ke pesawat televisi di sudut kedai cukur itu yang dipasangi
televisi kabel, sehingga selagi dicukur pelanggan dapat menikmati hiburan yang
disajikan di televisi.
Hari Minggu itu, obrolan saya dan si tukang pangkas rambut seputar
banjir yang sedang melanda Jakarta. Ia menyatakan pendapatnya bahwa
penggundulan hutan merupakan salah satu penyebab banjir dan tanah longsor. Menanggapinya,
saya berseloroh bahwa kepala saya bila digunduli tidak akan menyebabkan banjir
keringat, malah menyejukkan kepala saya. Saya juga berkata, “Saya berharap
kepala saya plontos untuk selamanya, nggak
perlu tumbuh lagi rambut di atasnya.”
Mengomentari perkataan saya, si tukang pangkas rambut itu, sambil
mencukur sisa-sisa rambut di kepala saya, berujar, “Ah, jangan selamanyalah.
Nanti tukang pangkas kehilangan rezeki.” Saya sempat tertegun mendengar
kata-katanya, dan terbawa ke suasana permenungan. Betapa semua makhluk memiliki
interdependensi atau saling ketergantungan untuk bisa sintas (survive) dalam perjalanan hidupnya. Bukan
cuma manusia dengan sesamanya, tetapi juga manusia dengan lingkungannya; juga
satu jenis hewan dengan jenis hewan lainnya, dan antara hewan dengan habitat
atau alamnya.
Interdependensi merupakan suatu hubungan di mana satu orang saling
terhubung pada orang(-orang) lainnya. Konsep ini berbeda dari hubungan yang
bersifat dependen, di mana beberapa orang bersifat dependen sedangkan beberapa
lainnya tidak. Dalam hubungan yang interdependen, para peserta dapat
menggantungkan diri mereka satu sama lain secara emosional, ekonomi, ekologi
dan/atau moral dan bertanggung jawab satu sama lain. Sebagian orang mendukung
kebebasan atau kemerdekaan (independence)
sebagai kebaikan yang utama; sebagian lainnya melakukan hal yang sama dengan
mengabdikannya untuk keluarga, komunitas atau masyarakat. Interdependensi dapat
menjadi landasan yang sama di antara kedua aspirasi ini.
Itu teorinya. Secara praktik, pada dasarnya, manusia tidak bisa melepaskan
diri dari interdependensi. Tidak ada manusia yang bisa hidup seorang diri tanpa
dukungan emosional dan ekonomi dari orang lain atau dari lingkungan hidupnya. Penyair
berkebangsaan Inggris, John Donne (1572-1631), menulis dalam salah satu
puisinya bahwa “Tiada manusia yang merupakan pulau, berdiri sendirian. Setiap
orang merupakan potongan dari daratan, bagian dari yang utama.”
Kita semua saling membutuhkan, bahkan untuk hal-hal yang dipandang sepele,
seperti saya dan tukang pangkas rambut di atas. Ketika pada bulan Desember 2009
saya memenuhi undangan bupati Jayapura, Habel Melkias Suwae, untuk bersama
beliau dan jajarannya mengunjungi satu-satunya distrik di Kabupaten Jayapura,
Papua, yang paling terpencil dan terletak di tepi Sungai Mamberamo, saya
belajar sesuatu tentang pentingnya interdependensi manusia dengan lingkungan
hidupnya. Tetua kampung yang saya kunjungi bercerita tentang filosofi masyarakat
Mamberamo dan sungainya, “Ambillah seperlunya dari alam. Jangan asal ambil
tanpa memikirkan keseimbangannya. Kalau kita tidak mempedulikan orang lain atau
alam, orang lain dan alam pun tidak akan mempedulikan kita. Kita saling bergantung
satu sama lain—itu yang membuat alam seimbang dan berkelanjutan!”
Interdependensi tampaknya merupakan hukum alam atau kodrat Ilahi. Kesalingtergantungan
ini, bila dibangun dan dilestarikan, akan menampakkan kehadiran sejati Tuhan—bahwa
makhluk, hidup atau mati, merupakan bagian terpadu dari diriNya. Dalam kehidupan
manusia, kebencian atau ketiadaan kasih sayanglah yang merusak keberadaan
interdependensi, yang perlahan akan membunuh manusia yang menafikannya. Pendek
kata, demi kesintasan kita yang berkelanjutan, kita amat tergantung pada
kesalingtergantungan.©
Kalibata, Jakarta Selatan, 20 Januari 2014