TETANGGA saya punya seekor kucing betina yang dua bulan lalu melahirkan empat ekor anak kucing yang menggemaskan. Iya, menggemaskan ketika mereka masih bayi. Ketika beranjak dewasa dua bulan kemudian, mereka malah menyebalkan dengan tingkah yang membuat saya sempat tidak mau pulang ke rumah lantaran mereka memporak-porandakan teras paviliun yang saya tempati.
Aneh juga, kucing tetangga kok sukanya bermain, berpolah dan tidur di pekarangan rumah saya ketimbang di halaman rumah tuannya.
Tetangga saya memanjakan kucing-kucing itu, sementara saya melihat mereka saja rasanya sudah muak. (Sempat terpikir oleh saya untuk mengumpani mereka dengan cokelat, karena baru-baru ini saya baca di Wikipedia bahwa cokelat bisa membunuh kucing lantaran mempercepat detak jantungnya.)
Kucing yang seharusnya berburu agar bisa makan “ditransformasi” sedemikian rupa tanpa sadar oleh tetangga saya lewat pemanjaan. Tetangga saya mungkin mengira dengan memanjakan ia telah menyayangi kucing-kucingnya, padahal memanjakan sesungguhnya tak ubahnya menghancurkan secara perlahan-lahan!
Pepatah “beri dia ikan maka dia akan makan sehari, ajarkan dia memancing ikan maka dia akan makan selamanya” tampaknya berlaku juga bagi hewan—tak hanya manusia. Sekali kita mencabut makhluk, apakah manusia, hewan, tanaman, atau apa saja, dari habitat dan kebiasaan alamiahnya, selamanya kehidupannya yang “baru” akan membawanya ke arah kehancuran.
Khusus bagi manusia, habitat dan kebiasaan itu lebih spesifik dan bersifat individual. Walaupun tergabung dalam satu kelompok, tidak ada individu yang sama persis dengan individu lainnya, meski diupayakan untuk “diseragamkan” melalui visi, misi dan nilai-nilai yang sama.
Tidak sedikit perusahaan yang memanjakan karyawan mereka dengan berbagai fasilitas agar karyawan betah, setia dan patuh. Upaya ini tidak sepenuhnya berhasil, bahkan dalam berbagai kasus yang terjadi malah sebaliknya—karyawan tidak betah, mengkhianati kepercayaan dari manajemen dan cenderung memberontak atau bersikap semaunya.
Kawan saya, seorang pengusaha butik kreatif, pernah dikhianati beberapa karyawannya, padahal justru mereka itu yang sebelumnya dimanjakan oleh kawan saya dengan memberi mereka persentase saham, fasilitas kendaraan dan gadget maupun liburan dengan biaya ditanggung perusahaan. Kabarnya, mereka kecewa terhadap kawan saya. Lho?
Pemanjaan yang diberikan kepada mereka oleh kawan saya ternyata mendorong mereka untuk selalu meminta lebih. Permintaan kenaikan gaji dari salah seorang karyawannya pernah sekali dikabulkan, yang rupanya menimbulkan perubahan gaya hidup pada si karyawan, yang akhirnya merasa gajinya kurang terus sehingga ia menuntut kawan saya untuk menaikkan gajinya lagi.
Ketika akhirnya hal itu tidak dapat dipenuhi oleh kawan saya, karyawan tersebut berkhianat dengan membawa klien perusahaan kawan saya ke perusahaan pesaingnya yang bersedia menggaji sang karyawan dengan nilai nominal sesuai yang dituntutnya dari kawan saya.
Kawan saya yang memanjakan, kawan saya juga yang dihancurkan oleh orang yang ia manjakan. Tetapi si karyawan akhirnya juga hancur karirnya, karena keseringan pindah kerja lantaran perusahaan-perusahaan di mana ia bekerja tidak bersedia memanjakannya sebagaimana perlakuan dari kawan saya. Si karyawan itu tak ubahnya anak-anak kucing yang saya ceritakan di atas. Bedanya, anak-anak kucing itu tumbuh menjadi kucing yang ibaratnya kehilangan taring—tidak mampu mencari makan sendiri dan hanya menjadi benalu bagi tuannya yang tentu saja tidak akan hidup selamanya untuk mengurusi mereka.
Apa pun alasannya,
pemanjaan bukanlah wujud ekspresi kasih sayang yang tepat. Ia malah
menghancurkan. Pemanjaan meniadakan kemampuan kita untuk sintas dalam
perjuangan menegakkan hidup dan kehidupan sesuai kodrat dari masing-masing
kita.©2012
Mampang Prapatan XV, Jakarta Selatan, 26 Juli 2012