~Arthur Rubinstein (1886-1982)
SELAMA ini, saya selalu mengukur kesuksesan saya berdasarkan ukuran orang lain yang ‘lebih sukses’, dan mengabaikan yang ‘kurang sukses’. Sehingga saya suka mengeluh dan tidak bersyukur apabila yang saya peroleh sekarang tidak sejajar atau tidak melampaui mereka yang ‘lebih sukses’. Pada 23 Juni 2009 lalu, pada hari terakhir Festival Danau Sentani ke-2 yang berlangsung di Pantai Kalkote, Kampung Harapan, Distrik Sentani, Kabupaten Jayapura – Papua, saya berjumpa kembali dengan Yulius, petugas penyuluhan lapangan (PPL) yang bulan Mei lalu mengantar saya dan mitra saya menyusuri perkebunan kakao di Kampung Yokiwa, Distrik Sentani Timur.
Sambil menikmati papeda (bubur sagu seperti lem kanji yang dipakai di kantor pos untuk menempel perangko) dengan sup ikan mujair asam-pedas di sebuah warung makan di pinggir arena festival, mitra saya bertanya pada Yulius, berapa penghasilan yang diperolehnya sebagai PPL per bulan. Jawaban Yulius nyaris membuat daging ikan mujair yang berduri yang sedang berada dalam mulut saya tertelan: “Enam ratus ribu rupiah! Bonus tiga ratus ribu rupiah!”
Saya langsung membayangkan betapa menderitanya Yulius dengan jarak 70 kilometer yang mesti ditempuhnya setiap hari dengan bersepeda motor dari rumahnya di Kampung Yokiwa ke tempat kerjanya di kantor Kabupaten Jayapura serta ke perkebunan-perkebunan di seantero Kabupaten Jayapura. Belum lagi jarak dari tempat kerjanya ke tempat di mana ia tengah menyelesaikan pendidikan strata satunya di sebuah perguruan tinggi pertanian di Abepura. Terbayang oleh saya, dengan perasaan miris, bagaimana Yulius mengelola keuangan dari gajinya yang sebesar Rp 600 ribu untuk keperluan kuliah, makan sehari-hari, bahan bakar sepeda motornya, dan lain-lain.
Semua bayangan di kepala saya langsung menggumpal lalu buyar saat Yulius tertawa lebar, memperlihatkan giginya yang agak kemerahan karena telah mengunyah pinang, dan mengatakan bahwa jumlah itu sudah cukup baginya. “Memangnya saya mau beli apa dengan uang banyak-banyak?” Tinggallah saya memendam perasaan malu yang luar biasa, mengingat saya masih saja suka komplain dan tidak puas walaupun penghasilan saya – dengan kondisi kerja yang cukup santai, tidak perlu berpanas-panas di lapangan, dan tidak perlu menempuh perjalanan jauh setiap hari – berpuluh-puluh kali lipat dari yang diperoleh Yulius.
Dari pengalaman tersebut, saya beroleh pelajaran dan kepahaman bahwa kesuksesan bisa didefinisikan dan diukur tingkatnya, namun ukurannya bersifat sangat relatif dan pribadi. Kita tidak bisa mendefinisikan dan mengukur kesuksesan kita berdasarkan lebih-kurangnya kesuksesan orang lain, melainkan berlandaskan pada apa yang kita butuhkan dan inginkan pada saat ini. Banyak dari kita yang acap mengeluhkan apabila keinginannya tidak terpenuhi.
Kita tidak dilarang untuk mempunyai keinginan, tetapi masalahnya kita sering tidak jujur pada diri sendiri bahwa apa yang kita inginkan belum tentu benar-benar kita inginkan. Di sinilah berlaku yang namanya pertimbangan diri (self-consideration). Kita mesti berdialog dengan hati nurani kita sendiri yang tidak pernah berhenti menyuarakan kebenaran. Saya akui, hal itu tidak mudah selama pikiran kita masih kemrungsung (kacau), penuh dengan suara-suara nafsu angkara murka yang menyesatkan. Tetapi hal itu bisa dilakukan oleh semua orang.
Saya punya kawan, seorang pekerja kantoran yang menerima gaji bulanan. Ia kerap gonta-ganti telepon seluler (ponsel). Setiap model baru dan trendi muncul, ia beli, padahal tidak benar-benar ia butuhkan. Berbagai alasan ia lontarkan, yang intinya menegaskan pembenaran atas tingkah lakunya. Ia rela pinjam uang sana-sini, berutang sana-sini serta mau menunda pelunasan pembayaran hal-hal mendesak lainnya demi sebuah ponsel baru. Meski gajinya mencukupi untuk membeli ponsel baru, namun itu bukan berarti ia bisa seenaknya membeli, karena kenyataannya ia juga perlu uangnya untuk memenuhi kebutuhan pokoknya. Ketika teman-teman dan saudara-saudaranya melihat ia bergaya dengan ponsel barunya, tidak banyak yang tahu bahwa sesungguhnya ia cemas tak keruan, menyadari begitu banyak hal esensial yang mesti ia korbankan demi menjaga citra semu dirinya.
Kawan saya satu ini berbeda 180 derajat dari kawan saya yang lainnya. Kawan ini seorang pengusaha, pemilik perusahaan yang tiap bulan memikul tanggung jawab untuk menggaji karyawan-karyawannya. Ia pandai mengelola apa pun termasuk mengelola keinginan-keinginan pribadinya. Meski uangnya banyak, sangat bijaksana dalam membuat pertimbangan sebelum membeli sesuatu. Ketika ponselnya rusak salah satu bagiannya tidak segera ia membeli ponsel baru, melainkan mengganti bagian yang rusak tersebut. Ketika sudah benar-benar tidak terperbaiki lagi, baru ia beli ponsel yang baru. Itu pun yang sesuai kebutuhan pekerjaannya, bukan sekadar mengikuti tren! Baginya, memenuhi hak karyawan dan membantu orang lain yang kesusahan adalah jauh lebih penting daripada memuaskan keinginan pribadinya.
Bagi kawan saya ini apabila keinginannya tercapai, maka itu berarti ia telah menggapai kesuksesan. Dan keinginannya sederhana saja – setelah disaring melalui pertimbangan hati nuraninya, yaitu membahagiakan orang-orang yang dicintainya, antara lain para karyawannya. Ia bercita-cita, sebelum meninggal ia ingin membiayai seluruh karyawannya untuk menunaikan ibadah haji bersamanya. Sedangkan bagi saya, ukuran kesuksesan saat ini adalah ketika keinginan untuk memiliki rumah sendiri, mempunyai anak, kendaraan pribadi untuk mengantar keluarga dan siapa saja yang membutuhkan pengantaran serta berbagi ilmu dan pengalaman kepada siapa saja yang membutuhkannya tercapai. Apa ukuran kesuksesan Anda saat ini?©2009
Jakarta, 29 Juni 2009