Wednesday, October 29, 2008
Baju Agamis
Tuesday, October 28, 2008
Dosa Turunan
Sunday, October 19, 2008
Ilmu (Tidak) Pasti
“Ketika engkau menerima tanpa membantah dan merasakan kelezatan ridha dalam suasana bencana, maka kenikmatan-kenikmat an akan datang padamu dari segala penjuru dan tempat.”
—Syekh ‘Abd al-Qadir al-Jailani, Al-Fath ar-Rabbani wa al-Faydl ar-Rahmani—Renungan Sufi (Yogyakarta: Pustaka Al-Furqan, 2006)
Minggu, 12 Oktober 2008 merupakan hari yang istimewa bagi saya. Istimewa bukan karena saya berulang tahun. Bukan pula karena saya memenangkan suatu hadiah yang bernilai tinggi. Namun karena pada hari itu saya melalui serangkaian kejadian yang membawa saya kepada kepahaman bahwa yang pasti dalam hidup ini adalah ketidakpastian. Bahkan ilmu pasti saja tidak bisa dibilang seratus persen pasti. Justru ketidakpastianlah yang mendorong aktivitas penggalian ilmu pengetahuan terus-menerus.
Hari itu saya awali dengan memenuhi janji bertemu dengan seorang kawan di Wisma Subud, Cilandak, Jakarta Selatan. Kawan itu bukan anggota Subud; saya memilih lokasi pertemuan di situ karena suasananya tenang dan tentram. Kawan itu adalah rekan saya semasa kuliah di Jurusan Sejarah Fakultas Sastra UI dahulu. Sudah 15 tahun kami tak bersua.
Kawan saya itu datang bersama ketiga anaknya. Kepada saya ia bertutur bahwa perkawinannya kandas karena istrinya—yang tak kuat menanggung hidup penuh perjuangan dan ingin buru-buru kaya—berselingkuh dan kemudian menuntut cerai setelah perselingkuhannya diketahui oleh suaminya. Kawan itu ikhlas memaafkan istrinya dan mengharapkan mereka tak perlu bercerai. Meski akhirnya bercerai juga, kawan saya itu tetap memaafkan istrinya. “Aku tak akan menghukummu. Biarlah Tuhan yang melakukan itu,” kata kawan saya menirukan perkataannya sendiri saat ia mengetahui perihal perselingkuhan istrinya.
Setelah itu, (mantan) istrinya kerap mengalami nasib buruk dalam hidupnya, sementara kawan saya merengkuh kebahagiaan bersama ketiga anaknya yang ia besarkan seorang diri. Keikhlasan, kata kawan saya itu, ternyata memudahkan hidupnya. Rezeki datang bertubi-tubi dan ia tak henti-hentinya mensyukuri pengalaman menyakitkan hati itu.
Usai ia menuturkan pengalamannya, giliran saya yang bercerita. Saya berkisah mengenai pengalaman ‘meraup kesuksesan’ dalam beberapa bulan belakangan ini yang sungguh di luar perkiraan saya. Ia begitu terkesan pada kisah saya, yang mengingatkannya pada buku Rhonda Byrne, The Secret – Rahasia (Cetakan V, Jakarta: Gramedia, 2008), sehingga buku yang saat itu kebetulan dibawanya ia pinjamkan ke saya.
Pada akhirnya, kami sama-sama berkesimpulan bahwa tidak ada yang perlu benar-benar diperjuangkan atau dipertahankan mati-matian, karena bagi orang-orang yang berserah diri dengan sabar, ikhlas dan tawakal, segala sesuatu sudah diatur pemberiannya oleh Tuhan. Tugas kita hanyalah menjalani hidup ini sebagaimana tuntunanNya. Tidak pula perlu menangisi kegagalan atau merayakan keberhasilan, karena itu semua sudah pasti hukumnya: Serba tidak pasti.
Jangan bersusah hati jika gagal, karena gagal adalah sukses yang tertunda, kata orang pada umumnya. Pengalaman saya menuturkan bahwa pada frase yang cukup populer ini perlu ditambahkan kalimat: “Sebaliknya, jangan takabur bila sukses, karena sukses adalah gagal yang tertunda!” Tidak ada yang pasti dan abadi dalam hidup ini kan?! Kata orang Jawa, dalam melakoni hidup kita mesti senantiasa eling lan waspada (ingat dan siaga menghadapi segala kemungkinan) .
Setelah kawan saya pergi, saya bergabung dengan para anggota Subud pria yang duduk bertatap muka di sebelah selatan Hall Subud Cilandak, mendengarkan penuturan salah seorang saudara Subud saya yang baru didera penyakit stroke. Seperti maut, kata saudara Subud yang sudah cukup sepuh itu, penyakit datang tanpa aba-aba, dalam keadaan yang tak terduga. Saudara Subud itu baru selesai salat ketika stroke menyerangnya. Tidak ada yang pasti, tidak ada yang dapat diduga sebelumnya. Seperti itulah musibah datang menghampiri kita. Bagaimanapun, saudara Subud itu berkata, dengan tawa lebar terurai di mulutnya, “Ini pengalaman yang mengasyikkan!” Saya kira, hanya orang-orang yang memiliki sikap penyerahan diri yang dibarengi kesabaran, keikhlasan dan ketawakalan sajalah yang mampu memaknai musibah sebagai nikmat.
Dalam perjalanan pulang dari Wisma Subud, saya melewati jalan kecil satu arah yang menghubungkan Jalan Kemang Utara dengan Jalan Bangka XI, Jakarta Selatan. Berlawanan arah dengan saya, seorang pria bersosok macho dengan badan tegapnya dibalut kaos oblong ketat yang menonjolkan otot-ototnya serta mengenakan kacamata gelap memacu sepeda motornya dengan gagah. Ia menancap gas seolah ingin menerjang semua kendaraan bermotor di sekitarnya. Namun yang diterjangnya malah gundukan ‘polisi tidur’ tanpa marka, yang tanpa ampun membuat sepeda motornya terjungkal dan pengemudinya terpelanting, terseret dan berhenti tepat di depan sepeda motor saya.
Saya mengerem dan turun untuk menolong pria itu bersama dua orang lainnya yang kebetulan lewat. Si pria yang tadinya gagah perkasa dengan tampang sangar berkacamata gelap dalam sekejap berubah menjadi seperti anak kecil, menangis dan meraung-raung kesakitan. Pergelangan kaki kirinya patah dan berdarah-darah, tubuhnya berguncang akibat syok. Saya tak henti-hentinya beristighfar menyaksikan semua itu. Saya menyaksikan bagaimana nasib mengubah dirinya semudah membalikkan tangan. Hal itu bisa menimpa siapa saja: saya, Anda, kita semua – sekarang atau nanti…
Sampai di rumah, bayangan akan ‘serba tidak pasti’-nya hidup ini memenuhi kepala saya. Di situ saya memahami, bahwa sejatinya kita tidak punya daya apa-apa. Semua sudah diaturNya. Kita tinggal menjalani saja. Selagi kepala saya masih dipenuhi bayangan itu, seorang sepupu saya bercerita tentang temannya yang berkakak-kandungkan seorang pejabat tinggi di lingkungan militer. Temannya itu mengandalkan kekuasaan kakaknya untuk menjungkirbalikkan sistem hukum, memenangkan tender-tender dan seabrek tindakan penyalahgunaan kekuasaan lainnya. Saya turut mendengarkan tuturan sepupu saya yang bersemangat itu serta memberi kesan, “Jangan khawatir, kalau kamu dekat sama dia, semuanya pasti beres!”
Tidak! protes saya dalam hati. Setelah menyaksikan serangkaian kejadian yang memberi saya kepahaman bahwa satu-satunya yang pasti dalam hidup ini adalah ketidakpastian, saya rasa lebih baik dekat dengan Tuhan ketimbang dengan sesama makhluk. Karena Tuhan bersifat pasti, sedangkan yang selain dari Dia lekang oleh masa.©
Honor Illahiah
“Meramu kekayaan dan kebahagiaan menjadi keikhlasan adalah sebuah pencapaian spiritual.”
—Gede Prama
Pada awal tahun 2008 ini, saya menerima order pekerjaan dari PT Santano Rekamedia, sebuah perusahaan yang bergerak di bidang periklanan, event management dan publisitas, untuk menulis laporan tahunan (annual report) 2007 bagi klien dari perusahaan yang berlokasi di kawasan Cempaka Putih, Jakarta Pusat, tersebut. Klien PT Santano sendiri adalah PT Pupuk Kalimantan Timur (Pupuk Kaltim) yang kegiatannya berpusat di Bontang, Kalimantan Timur. Setelah nilai nominal honor saya sebagai freelance copywriter disepakati dan dilegalisasi melalui dokumen Perjanjian Kerja Sama tertanggal 18 Januari 2008, yang ditandatangani oleh account manager PT Santano Rekamedia di atas meterai senilai Rp 6.000,- maupun oleh saya sendiri, saya memulai kegiatan pengumpulan data dan penulisan laporan tahunannya dalam dua versi bahasa, yaitu Indonesia dan Inggris.
Bagi saya, nilai nominal honor yang bakal saya terima dari pengerjaan laporan tahunan itu cukup memadai untuk membuat benak saya menyusun sejumlah perencanaan mengenai apa yang akan saya lakukan dengan uang tersebut. Saya berencana membeli komputer desktop PC dan serangkaian perlengkapannya seperti printer, speaker dan perangkat lunak untuk desain grafis dan Web, serta memasang jaringan Internet padanya. Semua itu dalam rangka untuk mendukung profesi saya sebagai pekerja kreatif freelance yang ingin bekerja di SOHO (small office, home office). Sejumlah kerabat dan relasi menyarankan saya agar membeli laptop PC saja ketimbang desktop PC, mengingat bahwa sebagai freelancer saya harus bergerak ke sana ke mari. Maka saya memohon petunjuk kepada Tuhan, mana yang sebaiknya harus saya pilih.
Nilai nominal honor itu pula yang membuat saya bekerja ekstra keras, mengabaikan waktu dan kesehatan saya secara fisik maupun mental. Banyak hal harus saya korbankan untuk itu. Waktu makan dan istirahat saya menjadi tidak teratur, yang menyebabkan kambuhnya sakit maag saya. Relasi sosial saya terganggu, karena jam kerja saya nyaris memakan waktu seharian penuh. Bahkan ketika menjelang tenggat waktu yang ditetapkan, saya dituntut untuk bekerja lembur hingga pukul 4 pagi keesokan harinya, sedangkan siangnya saya mesti mengejar bus ke Surabaya. Saya rela melakukan itu semua demi honor yang telah disepakati dan dilegalisasi oleh dokumen Perjanjian Kerja Sama antara saya dan PT Santano Rekamedia.
Pasal 5 dari dokumen Perjanjian Kerja Sama itu membahas soal pembayaran honor saya, yang berbunyi: “Pembayaran dilakukan PIHAK PERTAMA kepada PIHAK KEDUA jika seluruh pekerjaan baik itu data collecting dan penulisan yang disetujui selesai, termasuk persyaratan administrasi dilengkapi PIHAK KEDUA dengan jumlah Rp xx 000.000 (xx juta rupiah) akan dibayar setelah 30 hari kerja dari pengiriman master penulisan.” Manusia boleh berencana, tetapi Tuhan yang menentukan hasil akhirnya…
Saat semua pekerjaan saya tuntas, termasuk revisi-revisinya, benak saya makin berbinar-binar dengan jumlah uang yang sebentar lagi bakal mengisi dompet saya. Tetapi angan-angan tinggallah angan-angan, tak pernah sampai di tangan. Hampir enam bulan telah berlalu dari tenggat waktu kesepakatan pembayaran saya, namun PT Santano Rekamedia tak kunjung membayarkan honor saya. Seribu satu macam alasan dilontarkan oleh staf bagian keuangannya, antara lain bahwa Pupuk Kaltim sendiri terlambat membayar PT Santano.
Namun, ajaibnya, semua yang pernah saya rencanakan di benak saya, saat pertama kali tercapai kesepakatan antara saya dengan PT Santano terkait dengan nilai nominal honor saya, telah menjadi kenyataan. Hebatnya lagi, saya tak perlu bersusah-payah membuat pertimbangan antara membeli desktop PC atau laptop PC, karena, akhirnya, keduanya jatuh ke tangan saya. Uang yang dijanjikan PT Santano belum dibayarkan ke saya, tetapi semua yang ingin saya beli dengan uang tersebut kini telah masuk inventaris kepemilikan saya. Saya bahkan tidak merasa telah mengeluarkan uang banyak untuk mendapatkan semua itu. Sebagian bahkan nyata-nyata merupakan pemberian orang, dengan alasan sederhana: “Karena Mas Anto membutuhkannya.”
Beberapa orang yang saya ceritakan mengenai mukjizat yang saya alami ini menyarankan saya agar membaca buku Rhonda Byrne, The Secret—Rahasia (Jakarta: Gramedia, 2008). (Aneh ya? Saya disarankan membaca teori tentang sesuatu yang telah saya praktikkan tanpa landasan teori sama sekali!) Saya telah membacanya sepintas dan tidak pernah menuntaskan pembacaannya, karena menimbulkan pusing tujuh keliling di kepala saya. Alasannya, buku The Secret mengutak-atik sesuatu yang masih bersifat teoritis, yaitu Hukum Tarik-Menarik (the Law of Attractions), dan bahkan merupakan rekaan sejumlah orang yang menafikan eksistensi Illahiah pada segala sesuatu. Dalam bahasa Subud-nya, The Secret adalah hasil olah akal pikir yang, menurut saya, keterlaluan. Bandingkan dengan 11th Element-nya Robert Scheinfeld, yang tidak mengajukan teori apa pun terkait pengalaman-pengalam an seperti yang saya lalui ini. Scheinfeld hanya menganggapnya sebuah fenomena alami. Ia memang tidak mengimani Tuhan yang dikenal kalangan umat beragama, tetapi ia tidak menafikan eksistensi sesuatu yang lebih besar di balik kehidupan manusia, yang tidak terjelaskan melalui pelbagai istilah atau bahasa, namun ada, hidup, dan bekerja untuk kemaslahatan umat manusia.
Segala jerih-payah saya memang belum dibayar oleh PT Santano, tetapi Tuhan yang maha ‘ada, hidup dan bekerja’ mengisi kas rumah tangga saya dengan honor Illahiah. Betapa pun apa yang saya alami ini cukup membuat saya marah, jengkel dan menyesal, namun sejatinya pengalaman ini memberi saya keinsafan bahwa kita tidak sepatutnya menggantungkan harapan pada sesama makhluk serta mempertegas kenyataan bahwa manusia bisanya hanya berencana, sedangkan yang mengatur pengimplementasiann ya adalah Tuhan. KepadaNya kita serahkan segala urusan kita – itulah makna dari berserah diri.
Hingga kini, saya masih mengupayakan agar PT Santano Rekamedia bersedia membayarkan honor saya. Namun upaya ini utamanya dilandasi niat untuk mengikhlaskannya, sehingga apa pun hasilnya kelak, insya Allah bisa saya terima dengan lapang dada. Suara sang jiwa pun berkata kepada saya, “Tidak usah disesali. Bukankah yang kamu inginkan sudah kamu dapatkan?”©
P.S.: Tulisan ini memiliki dua maksud. Pertama, sebagai sarana berbagi pengalaman, di mana Anda barangkali dapat memperoleh hikmah darinya. Kedua, sebagai peringatan agar Anda berhati-hati dalam menjalin kerja sama dengan pihak lain, utamanya yang melibatkan properti intelektual serta energi Anda dan di dalam kerja sama ini terjadi kesepakatan mengenai pembayaran honor.