Pada malam hari, tanggal 27 September 2008 lalu, saya menonton satu program di National Geographic Channel (NGC) yang berjudul Human Ape. Mengira bahwa itu sekadar program informasi biasa tentang jenis-jenis kera yang sedikit banyak mirip manusia, saya disuguhi tontonan yang luar biasa mengenai karakter kera yang dalam beberapa segi bahkan melebihi manusia. Selama menonton, berulangkali saya menggeleng-gelengkan kepala, mengagumi kebisaan kera dan kemampuan NGC menggali itu semua -- dan karenanya membuat saya semakin memfavoriti National Geographic. Ketika program tersebut selesai tayang, saya membayangkan bilamana pendidikan di Indonesia dilatari jurus kera sakti. Barangkali orang Indonesia akan memiliki lebih banyak peluang untuk sintas (survive) dalam krisis multidimensi sekarang ini.
Betapa tidak, pada Human Ape saya menyaksikan bagaimana dalam menghadapi sejumlah masalah, kemampuan kera berkesan lebih kreatif daripada manusia. Contohnya, ketika peneliti menaruh kacang di dasar tabung pipa yang membuat makhluk berlengan dan berjari tidak bisa menjangkaunya, seorang anak manusia berusia 3 tahun gagal menemukan solusi untuk mengeluarkan kacang tersebut. Anak lainnya, berumur 8 tahun, bisa mengeluarkan kacang dari tabung itu setelah terlebih dahulu mengisi tabung dengan air yang kemudian mendorong kacang sampai ke permukaan tabung, sehingga anak itu dapat menggapainya.
Ketika tantangan 'kacang dalam tabung' itu diujicoba pada seekor orangutan, makhluk bertampang dungu itu langsung menyodorkan mulutnya ke keran, memenuhinya dengan air yang lantas dimuntahkannya ke dalam tabung hingga kacang terdorong ke permukaan tabung, persis cara anak umur 8 tahun tadi. Anak orangutan yang berumur 3 tahun bisa meniru tingkah induknya, walaupun baru sekali lihat. Dalam uji 'kacang dalam tabung' tersebut, anak manusia kalah dari anak kera!
Dalam kesempatan lain, seorang peneliti menunjukkan kepada seorang anak manusia suatu prosedur perolehan makanan dari sebuah kotak hitam terbuat dari mika. Pertama, si peneliti mengetuk bagian atas kotak dengan sebuah tongkat kecil, lalu menggeser sebuah silinder yang menghalangi sebuah lubang di bagian atas kotak, menyodok-nyodok lubang tersebut dengan tongkat tadi, lalu menyodok-nyodok lubang di bagian tengah kotak hingga diperoleh makanan yang menempel pada ujung tongkat. Si anak menirukannya, persis seperti yang dilakukan si peneliti.
Berikutnya, uji-coba yang sama diterapkan pada seekor simpanse. Dalam hal ini, simpanse tak ubahnya anak manusia tadi. Tetapi ketika hal yang sama diaplikasi dengan menggunakan kotak yang tembus pandang, yang memperlihatkan bahwa serangkaian prosedur tadi sesungguhnya tidak relevan -- karena lubang di bagian atas kotak tidak terhubung ke mana pun, sedangkan silinder mesti digeser dahulu juga hanya pajangan -- sejumlah anak manusia tetap meniru apa yang ditunjukkan oleh si peneliti, sedangkan si simpanse langsung menyodokkan tongkat ke lubang yang ada makanannya -- di bagian tengah kotak. Luar biasa!
Manusia, yang selama ini dipersepsi sebagai makhluk mulia di sis Tuhan berkat akal pikir dan budi pekertinya, ternyata berkecenderungan meniru daripada bersikap kreatif. Bahkan manusia tak jarang meniru perilaku hewan. Dalam program NGC yang lain, saya beroleh informasi bahwa 'tablet arang' carbo activatus Norit, yang ampuh mengatasi keracunan makanan, rupanya diilhami oleh tingkah monyet di hutan Amazon yang suka memunguti arang bekas bakaran di perkampungan suku-suku setempat serta memakannya. Penelitian laboratorium melahirkan fakta bahwa arang yang dimakan monyet itu menetralisasi racun yang terkandung dalam sejenis buah ceri yang ia makan sebelumnya. Saya pun bertanya-tanya, "Siapa gerangan yang mengajari monyet-monyet itu, ya?"
Dalam tindakan meniru tidak ada upaya mengatasi persoalan secara berbeda -- yang menjadi ciri khas dari pemecahan masalah secara kreatif. Yang ada hanyalah 'hitam di atas putih', alias menjiplak. Masalahnya, hidup ini, juga karakter manusianya, tidak hitam-putih. Jika segala sesuatunya diperlakukan sama -- yang menjadi ciri dari sikap plagiasi -- banyak persoalan hidup ini yang tidak bisa diselesaikan secara memuaskan, atau bahkan tak bisa diatasi sama sekali.
Jika keadaan sosial-ekonomi bangsa ini terus kerepotan, menurut hemat saya dikarenakan pendidikan formalnya masih berpijak pada 'guru', yang digugu dan ditiru. Bukannya 'juru' (keahlian pribadi) yang menjuju (mengarahkan/membidik) dengan sudut pandang yang baru. Pendidikan di negeri ini masih bermuatan cara berpikir vertikal, bukannya lateral. Melihat dari sudut pandang yang baru memungkinkan kita seperti kerasukan jurus kera sakti: mengatasi tantangan hidup dengan cara yang berbeda, yang tak terduga. Bedanya dengan kera, manusia punya tujuan hidup. Tetapi bagaimana kita dapat mencapainya bila kita kesulitan mengatasi berbagai rintangan yang menghadang?
"Meniru adalah keliru," ucap Muhammad Subuh, pendiri Subud. Meniru berarti menafikan hakikat bahwa Tuhan menciptakan segala sesuatunya dalam keanekaragaman. Meniru berarti menjerumuskan esensi kemanusiaan kita -- sebab, sifat berbeda tetapi satu menunjukkan sifat Illahi. Meniru menghambat termanifestasikannya potensi-potensi berlimpah yang sesungguhnya kita miliki -- yang demikian hebatnya, sehingga kenyataan ini mengklarifikasi Omni-FactorTM (faktor ke-maha-bisa-an) dalam diri kita.
Oleh karena itu, budaya Subud tidak bercirikan tiru-meniru, melainkan 'mengikuti tuntunan rasa diri' kita masing-masing. Dengan kata lain, berbudaya Subud adalah 'menjadi diri sendiri', tidak meniru perkataan dan perbuatan, pikiran dan perasaan orang lain, yang belum tentu cocok bagi kepribadian kita. Model pendidikan berbudaya Subud-lah yang kiranya tepat bagi masyarakat agar dapat terus tumbuh dan berkembang, mendobrak belenggu krisis multidimensi.
"Apa arti sebenarnya dari pendidikan di Indonesia? Ke mana Anda akan dibawanya?" tulis Harumi Supit dalam artikelnya, "A Window on Formal Education," di majalah Kabar vol. II Issue 13, 2007, halaman 64. Di aras dasar, pendidikan memberi kita kompetensi baca dan aritmetika dasar. Tetapi pendidikan, menurut Harumi, tidak menjamin seseorang dapat memperoleh pekerjaan. Di Indonesia, katanya, pekerjaan kerap bergantung pada banyaknya koneksi yang dimiliki seseorang. Ada banyak pengangguran, baik yang berpendidikan maupun yang tidak.
Menurut pakar pendidikan, Prof. Dr. Winarno Surakhmad, kualitas pendidikan selama Reformasi kembali menurun, setelah melewati dua periode yang dicirikan oleh arah dan kohesi yang tidak jelas, selama masa Orde Lama dan Orde Baru. Kini para pejabat di Departemen Pendidikan Nasional masih belum tahu apa yang mesti mereka perbaiki, kata mantan anggota Komisi Reformasi Pendidikan itu. Profesor Winarno sangat yakin bahwa anggaran saja tidak bisa langsung menyelesaikan masalah-masalah yang dihadapi sistem pendidikan kita. Yang bisa memperbaiki sistem pendidikan adalah konsep yang bagus; anggaran hanya untuk mempercepat implementasinya.
Idealnya, pendidikan diarahkan menuju pencapaian human excellence dan, karena itu, mesti diiringi atmosfer pembelajaran berkelanjutan, agar dalam prosesnya peserta dapat terus tumbuh dan berkembang. Lembaga pendidikan yang sudah atau akan dibentuk pada saat ini haruslah memiliki visi, misi dan value sebagai center of human excellence. Caranya, mungkin, dengan mengadopsi jurus kera sakti (menghidupkan sikap kreatif yang berdaya guna) di atas, atau dengan senantiasa mencamkan pada diri masing-masing bahwa hidup ini ibarat hutan belantara yang untuk menaklukkannya diperlukan kreativitas, kelincahan, dan fleksibilitas dalam mengantisipasi perubahan.[0]