Suatu saat, saya menonton DVD dari film 88 Minutes yang dibintangi aktor kawakan Hollywood, Al Pacino. Pembantu rumahtangga (PRT) di rumah saya yang tergolong berpendidikan cukup ikut menonton. Jalan ceritanya agak rumit, tetapi jika benar-benar memperhatikan (sadar bahwasanya sedang menonton) dan sabar, kita bisa dengan mudah mencernanya. Apalagi dilengkapi teks Bahasa Indonesia yang sahih (as is). Bagaimanapun, PRT itu, selama menonton, berulang kali bertanya ke saya, kok itu begitu dan ini begini. Padahal dari teks saja dia sebenarnya bisa menangkap jalan ceritanya. Ada kisah lainnya: Beberapa teman saya suka membaca kitab suci (Al Qur'an/Alkitab), tetapi mereka mengaku tak pernah bisa mencerna isi dan juntrungannya, walaupun dibaca berulang kali, sehingga tidak bisa mengamalkan apa yang terkandung di dalamnya.
Itulah ciri-ciri orang yang tidak memberdayakan kesadarannya, alias tidak sadar bahwa dirinya sedang menonton film atau membaca kitab suci. Melakukan apa saja, yang melibatkan satu atau semua panca indra kita bila tidak disertai kesadaran tidak akan berhasil guna. Seperti kawan saya yang rajin salat, tetapi tidak pernah bisa khusyuk. Kekhusyukan berpendar dari kesadaran supra kita tentang makna dan tujuan salat. Sesimpel itu -- Anda tidak perlu merogoh jutaan rupiah untuk ikut pelatihan salat khusyuk, yang terbukti banyak yang gagal dalam praktiknya. Resep salat/ibadah khusyuk sebenarnya sudah dijabarkan secara singkat, padat dan jelas dalam QS Al-Ma'un: 4, "Kecelakaan bagi mereka yang mengerjakan salat, tetapi lalai dalam salatnya." Kata 'lalai' di sini mengindikasikan tindakan yang tidak disertai kesadaran, atau 'lupa diri'. Nah, jika Anda benar-benar sadar saat membaca Al Qur'an, seyogianya Anda paham bahwa salat bermakna dan bertujuan 'mengingat' (ad-dzikr) Tuhan dalam setiap gerak, penglihatan, pendengaran, napas, ucapan dan rasa Anda. Semua itu merefleksikan nama-nama sifatNya.
Dalam hal membaca kitab suci tanpa kesadaran, memang mata kita hanya dapat membaca deretan kalimat (read the lines). Tetapi bila disertai dengan kesadaran, mata dan hati kita akan mampu menangkap 'makna-makna tersembunyi' di antara kalimat-kalimat (read between the lines), yang menjadikan kitab suci begitu kontekstual dalam kehidupan kita -- dan terwujudlah fungsinya sebagai pedoman hidup.
Itu baru ibadah. Nyatanya, semua perbuatan, perkataan, pikiran dan perasaan kita seyogianya disertai kesadaran. Kesadaran ternyata bukan hasil kerja panca indra. Buktinya, kita seringkali melihat tetapi tidak memperhatikan (seperti PRT saya tadi), mendengar (to hear) tetapi tidak mendengarkan (to listen), berucap tetapi tidak berkomunikasi -- sehingga omongan kita menyinggung orang lain, makan tetapi tidak menikmati apa yang dimakan, dan lain-lain. Melihat pohon berbeda dengan memperhatikan pohon. Melihat tidak melibatkan kesadaran, sehingga kita cenderung tidak peduli akan keberadaan pohon tersebut, yang akibatnya kita akan membiarkan saja apabila pohon itu ditebang. Coba Anda memperhatikan (yaitu 'melihat dengan sadar') sebuah pohon, maka Anda akan terbawa ke dalam kondisi permenungan tentang fungsi dan tujuan penciptaan pohon. Anda pasti prihatin, terluka hati, menyaksikan pohon tersebut ditebang.
Jika kita mau terus menerus hidup dengan kesadaran akan dalam dan luar diri kita, maka hidup kita akan penuh dengan dinamika dan optimisme serta tidak dihinggapi 'sindrom sepatu usang'. Rekan-rekan sekantor saya sebagian besar mengidap sindrom ini, terutama karena mereka bekerja tanpa kesadaran. Alih-laih menjadi mahir dan profesional, mereka malah tidak berkembang, tidak siap (dan tidak mau) menghadapi perubahan -- padahal dunia terus berubah -- sehingga mereka pun menjadi obsolete (terlupakan, ketinggalan zaman). Kaki mereka terlena dalam balutan sepatu usang (yang biasanya lebih enak dipakai daripada sepatu baru). Orang-orang macam begini menjadikan pekerjaan sekadar sarana mencari uang, bukan sarana untuk pembelajaran yang dapat mengubah diri mereka. Colin Powell, mantan menteri luar negeri AS, pernah berucap, "Tidak penting seberapa banyak pekerjaan yang telah Anda ubah. Adalah lebih penting seberapa banyak Anda berubah melalui pekerjaan itu." Orang yang sadar ketika bekerja akan menimbun nilai-nilai yang akan membuat dirinya lebih berharga dan bermanfaat bagi dirinya sendiri maupun orang lain, ketimbang orang yang bekerja tanpa kesadaran sama sekali.
Sebegitu pentingkah kesadaran itu? Menurut saya, iya! Hanya melalui kesadaran kita dapat memperoleh pengetahuan tentang diri sendiri dan lingkungan kita. Pengetahuan menumbuhkembangkan intuisi, inspirasi dan informasi, sehingga kesejahteraan hidup tak jauh dari jangkauan kita. Kesadaran bisa menyalakan pelita di dalam diri kita yang sudah lama padam. Kalau kita sadar, petunjuk Tuhan akan datang menghampiri. Inilah yang hakikatnya disebut 'rezeki'. Denkaesthi siyang ratri, [berusahalah untuk] sadar siang dan malam (Serat Wulang Reh, Pupuh Pangkur, bait 1 baris terakhir). Kesadaranlah yang harus dijaga supaya tidak terjerat oleh keinginan-keinginan yang ditimbulkan oleh pikiran-pikiran liar, yaitu pikiran yang hanya berkeinginan untuk memuaskan jasmani kita dengan bentuk kenyamanan dan materi. Sadarkah Anda akan hal ini?©
Jakarta, 23 Desember 2008.