BULAN Januari 1992, usai menempuh ujian akhir
semester (UAS) untuk matakuliah Ikhtisar Sejarah Indonesia I, saya buru-buru
pulang. Saya naik mikrobus Miniarta dari Kober, di tepi Jl. Margonda Raya,
Depok, menuju Pasarminggu, Jakarta Selatan. Saat menatap keluar jendela, sambil
menenangkan pikiran yang kusut, yang saya dapatkan selama mengerjakan UAS,
tiba-tiba hadir wajah seorang gadis cantik yang pernah saya taksir semasa SMP
hingga SMA. Kehadiran itu dibarengi perasaan jatuh cinta lagi.
Saya terkejut dengan kemunculan perasaan yang
tiba-tiba itu, namun saya menikmatinya. Perasaan itu menggelisahkan, yang di
hari-hari selanjutnya mendorong tindakan saya untuk terhubung kembali dengan
gadis itu. Padahal semasa SMP hingga SMA saya hanya memendam perasaan saya terhadapnya
lantaran saya begitu malu dan takut ditolak. Ketika kuliah, terutama setelah
masuk Universitas Indonesia (UI), kepercayaan diri saya bertambah.
Saya memberanikan diri menelepon gadis itu,
Prifajaryani namanya (bukan nama sebenarnya), pada malam hari pertama Lebaran
tahun 1992. Seminggu sebelumnya, saya telah mengiriminya via pos kartu ucapan
selamat Idulfitri, yang rupanya telah ia terima. Meski jantung saya berdebar
kencang saat menunggu hadirnya suara gadis itu di seberang sambungan, saya bergeming.
Tibalah saat yang saya tunggu-tunggu. Terdengar suaranya, melegakan diri saya.
Itulah pertama kalinya kami bercakap hanya di antara kami berdua. Prifajaryani
rupanya juga tak menyangka bahwa kami akhirnya bisa berbincang satu sama lain.
Setelah malam itu, saya menjadi lebih gencar
meneleponnya. Tentu saja tidak terlalu sering, tetapi setiap kali meneleponnya
obrolan kami bisa berlangsung lama.
Prifajaryani tinggal tak jauh dari rumah
orang tua saya, hanya beda Rukun Tetangga (RT). Tak jarang, karena itu, saya
menjumpai dia berbelanja di toko yang sama dengan saya, yang berada di RT
dimana rumah orang tua saya berlokasi. Dia menjadi alasan utama saya mengapa
saya kerap nongkrong di depan toko itu, bersama beberapa teman se-RT yang
pernah bersama saya dan Prifajaryani bersekolah di sekolah-sekolah dasar
dan/atau menengah yang sama.
Sekali waktu saya nongkrong di depan toko
itu, mengenakan kaus putih tanpa kerah bergambar lambang Makara UI diapit
tulisan U dan I yang besar. Datanglah Prifajaryani bersama ibunya berbelanja.
Saya menyapanya, dan ia membalas dengan senyuman manisnya yang membuat saya
memiripkannya dengan selebritas Indonesia Marissa Haque. Malamnya, ketika saya
meneleponnya, ia memuji kaus saya. Tentu saja saya melambung. Saya menggodanya,
“Sekeren orang yang pakai kausnyakah?” Ia tertawa renyah.
Kala itu, Prifajaryani masih tercatat sebagai
mahasiswi Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran, Bandung. Ia diterima melalui
jalur Penelusuran Minat dan Kemampuan (PMDK) tahun 1986. PMDK adalah jalur
masuk perguruan tinggi negeri (PTN) yang seleksinya didasarkan pada prestasi
akademik dan non-akademik siswa. Dulu dikenal sebagai jalur undangan atau
jalur tanpa tes, PMDK sekarang lebih dikenal sebagai Seleksi Nasional
Berdasarkan Prestasi (SNBP). Hal itu menegaskan bahwa Prifajaryani merupakan
pribadi yang pintar dan cerdas.
Ketika musim perkuliahan dimulai kembali,
pasca libur akhir semester ganjil, Prifajaryani kembali ke Bandung. Ditemani
satu teman kuliah dari Jurusan Sejarah Fakultas Sastra UI (FSUI), saya nekat
menyambangi gadis itu di kosnya di Jl. Tilil, Bandung, sekitar 2 km dari lokasi
kampus Unpad di Jl. Dipati Ukur. Segila itu tindakan saya saat itu.
Perihal kembalinya perasaan yang pernah ada
terhadap seseorang dan/atau kenangan mengenainya tampaknya merupakan suatu
fenomena yang semua atau sebagian besar orang pernah mengalaminya. Bagaimana
kita menyikapinya, apakah bertindak seperti saya terhadap Prifajaryani atau
hanya menyaksikan saja hingga perasaan itu lenyap dengan sendirinya, itu semua
tergantung masing-masing. Satu pembantu pelatih (PP) dari Subud Cabang Jakarta
Selatan, Harris Roberts, menyarankan agar saya menyaksikan saja bagaimana
perasaan dan kenangan yang menyertainya berlangsung.
Dalam pesan WhatsApp kepada saya, beliau
menulis (aslinya dalam bahasa Inggris):
“Artinya kamu memiliki hubungan dengannya di
dunia itu. Ini adalah pengalaman yang cukup umum di kalangan anggota Subud.
Namun, kita tidak perlu membawa ke dunia ini sesuatu yang ada di dunia lain.
Disaksikan saja.
Saya memiliki wanita-wanita yang menemani
saya bepergian di dunia spiritual. Saya cukup menikmatinya dan mereka adalah
teman yang baik. Di dunia nyata, saya bahkan tidak pernah mencium mereka.
Pikiran tidak dapat memahami
pengalaman-pengalaman ini. Ia hanya bisa menonton dan mungkin menarik
kesimpulan... Ooh begitu!”
Penjelasan PP tersebut terkait pengalaman
saya baru-baru ini dengan kembalinya perasaan cinta saya terhadap, dan kenangan
yang menyertainya, seorang gadis yang lebih tua satu setengah tahun dari saya,
ketika kami sama-sama masih kuliah di FSUI. Kedekatan kami sendiri sudah lama
lewat, 35 tahun yang lalu. Trea namanya (bukan nama sebenarnya). Bukan saja dia
lebih senior dari saya, Trea juga dari jurusan yang berbeda—dia di Sastra
Jerman, saya di Sejarah.
Kembalinya perasaan cinta saya kepada Trea
dan kenangan yang menyertainya bermula dari mimpi saat saya tidur malam hari,
28 masuk ke 29 Juli 2025. Dalam mimpi itu, kami sedang berada di kereta
rangkaian listrik (KRL) Jabodetabek relasi Jakarta-Bogor, yang kami naiki dari
Stasiun UI Depok. Anehnya, dalam mimpi itu, kami berpacaran, padahal dalam
kehidupan nyata kami 35 tahun lalu kami tidak pernah resmi berhubungan
romantis. Kami memang sangat dekat dan akrab, tetapi kami berdua tidak pernah melabeli
hubungan kami sebagai “pacaran”.
Setelah saya lulus pada tahun 1993 (dan dia
pada 1991), kami benar-benar putus kontak, dan terus terang saya melupakan
segala sesuatu tentang dirinya. Hal itu mudah bagi saya terutama karena saya
berkenalan dengan calon istri saya hanya lima bulan setelah saya lulus.
“Jadi, mengapa dia muncul dalam mimpi saya
sekarang? Saya merasa gelisah dan merindukannya sejak saat itu. Apakah ini
suatu bentuk pembersihan pikiran atau rasa perasaan saya, ataukah menandakan
sesuatu yang lain?” tulis saya dalam pesan WhatsApp saya kepada Harris Roberts
pada 3 Agustus 2025. Jawaban beliau seperti yang saya tulis di atas.
Mimpi menawarkan jalur unik untuk memahami
pikiran bawah sadar, seperti yang disoroti oleh konsep mimpi dari pendiri
aliran psikoanalisis dalam bidang ilmu psikologi, Sigmund Freud (1856-1939),
sebagai “jalan utama menuju alam bawah sadar”. Melalui penafsiran mimpi,
individu dapat memperoleh wawasan tentang keinginan tersembunyi, konflik yang
belum terselesaikan, dan emosi yang tertekan, yang mengarah pada kesadaran diri
dan pertumbuhan emosional. Hal ini saya titeni
melalui pengalaman mimpi saya tentang Trea, tetapi alih-alih saya membiarkan
wawasan apapun mempengaruhi kehidupan saya di masa kini, saya relakan saja.
Meski saya pernah mengalaminya sebelum saya
menerima Latihan Kejiwaan—dengan Prifajaryani pada tahun 1992, yang saya
tindaklanjuti dengan mengejar bayangannya, saya kira dengan pengalaman sejenis
pada 2025 ini, saya cukup menyaksikannya saja. Apalagi keberadaan Trea saat ini
adalah bagai kabut yang tak dapat saya terobos. Ia tidak memiliki jejak digital
kecuali satu, yaitu data mengenai dan PDF dari skripsinya, yang bisa diunduh
dari portal web Perpustakaan Universitas Indonesia. Bahkan teman-teman
seangkatannya atau di bawahnya yang pernah berkiprah di kegiatan-kegiatan yang
sama dengan dia di kampus, dari jurusan-jurusan yang berbeda dengannya, tidak
dapat mengingatnya atau tidak mengenalnya. Apakah ia masih hidup atau sudah
meninggal, saya benar-benar tidak tahu. Kecuali Tuhan menghendaki saya dapat
bertemu kembali dengan Trea, saya cukup menyaksikan saja fenomena ini.©2025
Pondok Cabe,
Tangerang Selatan, 17 Agustus 2025