Saturday, September 20, 2008

Perempuan di Jalan Spiritual

BERPERASAAN lembut, memiliki sifat kasih sayang dan impulsif. Itulah kepribadian yang dapat diperoleh melalui latihan spiritual. Kepribadian tersebut sering dipandang sebagai khas perempuan. Namun yang mengherankan, keberadaan perempuan di jalan spiritual (spiritual path) tidaklah terlalu menyolok dibandingkan dengan laki-laki yang justru jarang mengedepankan perasaan, kelembutan dan kasih sayang.

“Jalan spiritual” adalah suatu praktik mental di mana manusia akan dapat mengalami kontak batiniah (transendensi) dengan kekuasaan yang jauh melampaui eksistensinya. Lokus spiritualitas adalah diri (self) manusia. Konon “diri” ini berada di balik dada, sehingga manusia pada berbagai budaya cenderung menunjuk ke dadanya sebagai tanda penunjuk “aku”. Ada juga yang menunjuk ke hidung, indra penciuman, karena “diri” juga sering dikaitkan dengan napas. “Diri” dalam bahasa Arab adalah “nafs”, yang juga membentuk kata “nufus” yang berarti “napas”. “Diri sejati” (the true self) diyakini berada di suatu ruang niskala (gaib) bernama batin, yang juga merupakan pusat kesadaran dan pengetahuan.

Penenteraman diri dapat membuat kita terhubung dengan pusat kesadaran dan pengetahuan ini. Karena itu, pada banyak tradisi spiritual dari Timur ruang batin dianggap sebagai “singgasana” kekuasaan Ilahi. Menurut pengertian tokoh teosofi (harafiah: “kearifan Ilahiah”) terkemuka dunia, Madame Blavatsky, “manusia batin” adalah satu-satunya Tuhan yang dapat dikenali.

Ada pelbagai cara untuk memasuki ruang batin ini, namun umumnya bertolak dari upaya untuk membawa diri sendiri ke dalam kondisi tenteram dan damai, lepas dari kekusutan pikiran dan gejolak hati. Meditasi, tafakur atau sembahyang khusyuk, dan semadi, semua praktik ini membawa kita ke dalam kondisi transendental, atau ekstase spiritual yang membuat kita serasa terhubung dengan “sesuatu” yang maha luas di dalam dan luar diri kita.

Aneka motif melatarbelakangi keberadaan perempuan di jalan spiritual, tetapi umumnya tidak ada bedanya dengan laki-laki: mencari ketenangan batin dan “mengalami” Tuhan. Ada perempuan yang secara spesifik mengasingkan diri (seclusion) dari galau emosional akibat rumah tangga yang kacau, lingkungan yang hedonistik dan depresi, melalui spiritualitas yang mengedepankan laku tapa yang hening. Ada pula yang mencari lingkungan yang mengakui kesetaraan jender. Rata-rata gerakan spiritual memang melanggengkan persamaan derajat di hadapan Tuhan, bukan saja secara jender, tetapi juga ras, agama dan budaya.

Secara historis, jalan spiritual merupakan produk dari agama, karena latihan spiritual menumbuhkembangkan sisi batin umat, membangkitkan sifat-sifat kasih sayang dan melembutkan perasaannya—yang dikatakan sebagai sifat-sifat ketuhanan. Bukankah ini semua khas perempuan? Kenyataannya, hanya sedikit sekali perempuan yang berperan aktif di jalan spiritual. “Aktif” di sini mengacu kepada upaya lahir dan batin dalam menemukan pemahaman akan hakikat hidup. Berikut ini kisah tiga perempuan yang tergolong aktif mencari pemahaman tersebut di jalan spiritual. 

Bahasa Cinta

MEMBACA puisi-puisi karya Jalaluddin Rumi yang acapkali menggunakan bahasa cinta dan keindahan kita sering membayangkan sosok Sufi asal Turki itu sebagai laki-laki yang memiliki “roh keperempuanan” yang memang identik dengan keindahan. Namun tidak banyak yang tahu, bahwa Rumi ternyata sangat kuat dipengaruhi gagasan Rabi’ah binti Ismail al-Adawiyah.

 


Rabi’ah tergolong satu-satunya perempuan Sufi yang terkenal dalam sejarah Islam. Dilahirkan sekitar awal kurun kedua Hijrah di dekat kota Basrah, Irak, Rabi’ah mengusung ajaran tentang cinta kepada Tuhan yang diwujudkannya dalam sejumlah karya sastra sufistik. Sepintas, ungkapan cinta Rabi’ah layaknya cinta seorang perempuan kepada kekasihnya yang pergi berjuang dan menantikan kepulangannya dengan setia. Tetapi cinta Rabi’ah, seperti halnya Rumi, mengacu kepada Tuhan. Pembacaan syair-syair Rabi’ah dalam keadaan hati tenteram akan dapat membawa kita ke dalam ekstase kerinduan kepada Allah dengan segala keindahanNya.

Rabi’ah dikenal sebagai sosok perempuan tanpa tedeng aling-aling dalam masalah tauhid. Ia pernah melintasi gurun pada siang hari, membawa obor dan seember air sebagai kritiknya atas sikap menduakan Tuhan yang dilakukan kebanyakan umat Islam dalam ibadahnya. Waktu ditanya kenapa ia membawa seember air dan obor, Rabi’ah menjawab, “Aku mau membakar surga, karena itu yang dituju umat dalam ibadahnya. Dan aku mau menyiram neraka, karena itulah yang ditakuti umat. Allahlah satu-satunya tujuan kita, dan kita tak boleh takut pada apa pun selain Allah!”

Meninggal dalam usia 80 tahun pada tahun 135 Hijrah, Rabi’ah telah membentuk suatu cara yang luar biasa di dalam mencintai Allah. Dia menjadikan kecintaan itu sebagai cara untuk membersihkan hati dan jiwa.

Guru Diri

LAIN Rabi’ah, lain pula dengan Siti Rahayu Wiryohudoyo. Putri dari pendiri Perkumpulan Persaudaraan Kejiwaan Susila Budhi Dharma (PPK Subud) ini melanjutkan upaya ayahnya, Muhammad Subuh Sumohadiwidjojo (1901-1987), dalam mewariskan Latihan Kejiwaan Subud ke seluruh umat manusia.


Sosok perempuan berusia 80 tahun yang di lingkungan gerakan spiritual asal Indonesia ini dihormati dengan panggilan “Ibu” ini dianggap sebagai pengayom dan panutan, ke mana para anggota Subud menyampaikan segala permasalahan mereka. Biasanya Ibu Rahayu akan mengajak mereka berlatih kejiwaan, di mana anggota akan memperoleh solusi dalam wujud pemahaman mengenai permasalahan yang menimpa mereka serta tuntunan agar anggota dapat menyelesaikannya sendiri. Pola keteladanan ini bertujuan agar anggota bergantung kepada tuntunan Tuhan, bukan kepada manusia.

Bukan Ibu Rahayu sendiri yang memberikan jawaban, melainkan “guru diri” (inner teacher) yang terdapat pada setiap manusia. Ibu Rahayu, dan juga ayahnya, senantiasa menganjurkan para anggota Subud untuk berserah diri kepada Tuhan dengan sabar, ikhlas dan tawakal, sehingga anggota akan menerima tuntunanNya. Bagaimanapun, sosok perempuan kelahiran Semarang, 13 Maret 1928, ini mendapat penghormatan dan pemitosan yang luar biasa sehingga setiap kali ia berceramah pada sarasehan Subud di dalam dan luar negeri (cabang-cabang Subud tersebar di lebih dari 80 negara), tempat acara berlangsung pun selalu dipadati para anggota Subud dari seluruh dunia.

Meski usia Ibu Rahayu telah lanjut, tak berkurang semangatnya untuk meneruskan langkah di jalan spiritual bernama Susila Budhi Dharma dan menyampaikan latihan kejiwaan kepada siapa saja yang berminat.

Ajaran Rahasia

HELENA Petrovna Blavatsky, atau lebih dikenal sebagai Madame Blavatsky, merupakan pribadi fenomenal sekaligus kontroversial pada abad kesembilanbelas. Dilahirkan di Ukrainia, yang saat itu masih menjadi bagian dari Rusia, pada tahun 1831 dan meninggal di London pada 1891, namanya masih tetap punya gema hingga kini.

 


Perempuan pendiri Perhimpunan Teosofi (Theosophical Society) ini dipandang para pengeritiknya tak lebih dari seorang paranormal dengan bola kristal untuk meramal nasib orang. Anggapan ini memang ada benarnya, karena sejak ia beremigrasi ke New York pada tahun 1873 ia berkarir sebagai paranormal. Namun hebatnya Blavatsky berhasil menarik perhatian banyak selebritis, ilmuwan dan tokoh politik dunia untuk menjadi muridnya, antara lain Annie Besant dan M.K. Gandhi. Di Amerikalah Blavatsky berkenalan dengan Henry Steel Olcott, seorang pengacara dan wartawan yang tengah menyelidiki fenomena spiritual. Dengan bantuan Olcott, Blavatsky cepat naik ke puncak kemashuran.

Tak kalah kontroversialnya adalah buku karya Blavatsky yang diberinya judul The Secret Doctrine (Ajaran Rahasia) yang terbit pertama kali pada tahun 1888. Buku inilah yang menyadarkan sebagian pihak yang skeptis terhadap Blavatsky tentang siapa dirinya dan kemampuan spiritualnya. Buku ini sedianya akan ditulisnya sampai empat jilid, tetapi belum sempat jilid ketiga dan keempat diselesaikannya, Blavatsky meninggal.

Dengan kaidah-kaidah spiritual yang sebagian berkiblat kepada ajaran Buddha dan Brahmana, The Secret Doctrine mengandung pernyataan-pernyataan Blavatsky tentang kodrat esensial kosmos dan umat manusia, yang merupakan cerminan dari alam semesta. Pengetahuan spiritual Blavatsky yang demikian luas diperkirakan karena bakat sejak kecil. Sewaktu kecil, ia pernah bermimpi bertemu dengan seorang guru spiritual, dan mimpinya menjadi kenyataan ketika pada usia 20 tahun ia bertemu sang guru di Hyde Park, Inggris. Ia pun berhasil masuk ke Tibet dan dilatih oleh para biksu dari 1868 sampai 1870.

Melalui Perhimpunan Teosofi yang didirikannya di New York pada 17 November 1875, Blavatsky bercita-cita untuk menyatukan umat manusia tanpa membedakan ras dan kepercayaan. Ia juga mengajak murid-muridnya—para pelajar teosofi—untuk memajukan studi agama-agama dunia dan sains serta menyelidiki misteri-misteri alam yang tersembunyi dalam setiap aspek, yakni kesadaran spiritual yang masih laten dalam diri manusia.

Dan seperti kesadaran spiritual yang masih laten, peran perempuan di jalan spiritual pun terkesan tersembunyi. Tetapi fenomena menarik muncul dari keberadaan mereka di jalan spiritual, yakni perubahan dalam keberadaan perempuan di hadapan Tuhan yang selama ini didominasi kaum laki-laki; bahkan personifikasi ‘Tuhan’ dalam sejumlah bahasa Eropa mengacu kepada jenis kelamin laki-laki.

Kisah tiga perempuan di atas, bagaimanapun, belum bisa menjadi tolok ukur adanya peningkatan peran perempuan sebagai panutan dan pengayom bagi komunitas spiritual, karena tulisan ini masih berupa pandangan dari luar. Di dalam lingkup gerakan spiritual sendiri bukan tidak mungkin citra kaum perempuannya masih seperti realita sehari-hari: cengeng, cerewet, kurang akal dan menderita tanpa harapan.©2008


Pondok Jaya, Mampang Prapatan, Jakarta Selatan, 20 September 2008

No comments: