APAKAH kita benar-benar mengenal orang yang
kita rasa mengenalnya dengan baik? Pertanyaan itu mengemuka ketika saya sedang
merenungkan pembelajaran saya mengenai persepsi dalam kaitan dengan merek. Saya
teringat pada diagram gunung es yang acap digunakan para pengajar ilmu merek (brand).
Diagram tersebut dibagi menjadi dua: bagian
puncak gunung es dan bagian badan hingga kaki gunung es, yang dipisahkan oleh
permukaan laut. Bagian puncak itu merupakan ranah kualitas yang dipersepsikan (perceived quality), sedangkan bagian
badan dan kakinya merupakan ranah kualitas mutlak (absolute quality) dari seseorang atau sesuatu.
Kebanyakan orang,
atau malah semua orang tak terkecuali, sesungguhnya hanya mengenal seseorang
atau sesuatu dari kualitas puncak gunung esnya, namun kita cenderung mudah
menghakimi seseorang atau sesuatu hanya dengan melihat kualitas yang kita
persepsikan, dan memutuskan bahwa itulah kualitas mutlaknya.
Anggapan bahwa kita sudah mengenal dengan
baik seseorang atau sesuatu hanya dengan melihat kualitas puncak gunung esnya
adalah tidak tepat, bahkan berbahaya—dalam kaitan dengan produk, konsumen akan
merasa tertipu atau dirugikan secara materi. Ini seperti nakhoda kapal Titanic yang
merasa kapal yang dinakhodainya sangat kuat, tidak bisa tenggelam, dan meremehkan
gunung es yang diberitahu keberadaannya oleh awak di tiang pengawas kapal
lantaran ukurannya lebih kecil dari badan Titanic. Nakhoda tidak
memperhitungkan ukuran badan gunung es yang tersembunyi di bawah permukaan air
laut yang gelap, dan itulah yang mencelakai kapal yang dikatakan tidak dapat
tenggelam itu.
Persepsi adalah pandangan ringkas kita
terhadap seseorang atau sesuatu, yang bersifat relatif (berbeda di setiap
orang), yang menafikan keseluruhan kualitas yang dimilikinya. Persepsi
melibatkan apa yang penting bagi masing-masing kita, karena setiap orang
memiliki kepentingan yang berbeda-beda terhadap seseorang atau sesuatu.
Persepsi kualitas sulit ditentukan, mengingat
itu merupakan hasil persepsi (tindakan menyusun, mengenali, dan menafsirkan
informasi sensoris untuk memberikan gambaran dan pemahaman tentang lingkungan
kita) dan penilaian yang bersifat subyektif.
Meskipun kita sudah berhubungan dengan
seseorang sekian lama dan sangat dekat, belum tentu kita mengenalnya dengan sangat
baik. Bisa jadi karena dia menutupi atau menyembunyikan sebagian besar
sifat-sifat atau kepribadiannya yang bakal dipandang buruk oleh orang lain. Ada
pula orang-orang, saya salah satunya, yang dengan sadar maupun tidak sadar,
menampilkan sifat-sifat yang berbeda satu sama lain sesuai lingkungan
keberadaannya.
Teman-teman saya dari kalangan alumni Jurusan
Sejarah Fakultas Sastra Universitas Indonesia, misalnya, berbeda persepsi
mereka terhadap saya dengan mereka yang sering berhubungan dengan saya di
lingkungan Subud. Satu saudara Subud Jakarta Selatan, yang saya beri buku
mengenai upaya kampung-kampung di Pulau Jawa dalam beradaptasi terhadap
perubahan iklim, yang saya tulis untuk klien saya, berkomentar, “Membacanya
memberi saya kesan yang berbeda terhadap Om Arifin yang saya kenal selama ini
di Subud. Dari tulisan di buku ini, Om terkesan intelektual, santun, beretika.
Berbeda banget dengan Om Arifin di grup WhatsApp Subud 4G—yang kasar dan vulgar!”
Saudara Subud lainnya, yang baru-baru ini melihat
video singkat ketika saya tampil di layar kaca dengan predikat “pengamat
militer” pada 26 Oktober 2023 lalu di status WhatsApp saya, menyatakan
keheranannya. “Bagaimana bisa jadi pengamat militer, Mas? Saya tahunya hanya
hobi menulis yang kemudian bisa jadi duit,” tulis saudara Subud tersebut dalam
pesan WhatsApp-nya pada 27 Oktober 2023.
Yang dia ketahui tentang saya hanya itu dan
itu sudah cukup bagi dia untuk merasa mengenal saya. Ya, karena otak manusia “malas”
untuk memproses informasi yang sangat banyak. Saya pun terpaksa bercerita
mengenai kualitas mutlak saya menyangkut latar belakang kehidupan saya, yang
mencakup hobi saya dengan sejarah militer, strategi militer, dan pertahanan,
dengan masa kecil saya yang sudah diwarnai dengan kegemaran membaca buku
sejarah Perang Dunia Kedua.
Kenyataan mengenai “gunung es kualitas”
seseorang atau sesuatu—yang saya pelajari justru dalam profesi saya sebagai
konsultan branding, bagi saya pribadi
memberi saya pengertian bahwa tak seharusnya saya mudah menilai atau menghakimi
orang lain, baik atau buruk, hanya dengan melihat perbuatan atau perkataannya
pada suatu momen. Kehidupan seseorang sejak dilahirkan hingga dewasalah yang
membuat seseorang menjadi pribadi seperti yang kita kenal sekarang, dan kecuali kita mau menaruh kaki kita di sepatunya,
janganlah terlalu cepat memberi cap baik atau buruk padanya.©2023
Pondok Cabe,
Tangerang Selatan, 1 November 2023