KETIKA pada 3 September 2023 lalu digelar
rekonsiliasi antara saya dan satu saudari Subud dari Cabang Jakarta Selatan,
yang merasa terganggu dengan perkataan dan perbuatan saya terhadap dirinya, di
gazebo di halaman rumah seorang anggota Subud di kompleks Witana Harja,
Pamulang, Tangerang Selatan, Banten, saya menyodorkan kepadanya satu keheranan
saya.
Saudari Subud ini tergolong baru, belum genap
dua tahun sejak dibuka pada tahun 2021. Sebelum kami berkonflik, sempat
terungkap bahwa ia ternyata alumnus dari Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya
Universitas Indonesia (FIB UI), yang juga merupakan almamater saya (ketika
namanya masih Fakultas Sastra UI atau FSUI), hanya beda angkatan; angkatan saya
25 tahun mendahului angkatannya. Kesamaan almamater membuat saya memiliki
anggapan bahwa kualitas kepribadian intelektual kami pun sama, atau paling
tidak setara dalam cara pandang kami terhadap suatu masalah.
Setelah menjelaskan duduk perkara sebenarnya
dan saya meminta maaf dengan tulus, walaupun saya tidak tahu salah saya apa
(dia hanya mempermasalahkan aksi saya pasca nomor WhatsApp saya dia remove, yang dia anggap keterlaluan, dan
dia merasa terganggu dengan pesan-pesan WhatsApp saya yang saya sampaikan ke
dia via seorang saudara Subud), saya ungkapkan satu hal yang tiba-tiba melintas
di pikiran saya: “Kamu kan alumnus UI
seperti saya. Kenapa sikap dan tindakan kamu dalam menyelesaikan masalah ini
tidak mencerminkan seorang lulusan UI?”
Pada titik itu, dia terdiam, tidak mampu
menjawab.
Dalam kesempatan gathering kejiwaan siang hari di kamar No. 1309 dari hotel di Taman
Bukit Palem Resort, Caringin, Kabupaten Bogor, Jawa Barat, yang saya tempati
bersama tiga peserta Musyawarah Wilayah III PPK Subud DKI Jakarta lainnya, 16
September 2023, saya ungkapkan keheranan saya itu dengan satu pertanyaan:
Apakah intelektualitas otak tidak menjamin kita, anggota Subud, memiliki
kecerdasan jiwa yang mumpuni?
Kami berlima di kamar yang diperuntukkan buat
empat peserta Muswil III itu; satu saudara berasal dari kamar sebelah, tetapi dia
nyaman berdiskusi bersama kami berempat di 1309, karena kami berlima biasa
nongkrong bareng di Teras Timur Hall Latihan Cilandak. Satu saudara sejiwa itu
kebetulan yunior saya di UI, berasal dari program studi (prodi) Sejarah FIB UI,
prodi yang sama dengan saya, tetapi angkatannya 17 tahun di bawah angkatan
saya. Dialah yang memberi saya jawaban atas keheranan berbuah pertanyaan itu.
Menurut Yuda (bukan nama sebenarnya), otaknya
(dia merujuk pada saudari Subud itu) boleh pintar, tapi belum ada
ketersambungan dengan jiwanya. Intelektualitasnya belum ada rasa, belum
berkontak dengan bimbingan kekuasaan Tuhan. “Dia masih menggunakan logika dalam
memandang masalah, sementara masalah yang menimpa dia merupakan ekspresi dari
Latihannya. Makanya, menurut saya, itulah sebabnya Mas Arifin bisa tenang dan
rileks saja, sedangkan dia kacau. Yaa, Mas Arifin sudah 20 tahun Latihan, dia
baru dua tahun, njomplanglah,” ujar
Yuda, yang Desember 2023 nanti genap sepuluh tahun di Subud.
Saya membatinkan “Eureka!” saat mendengar pendapat Yuda tersebut, lantas saya
melakukan perenungan yang retrospektif, ke masa ketika saya baru dibuka. Saat
itu, saya pun mirip saudari Subud tersebut: Mudah naik darah, mudah baper atau
tersinggung, dan mudah sekali menghakimi orang lain sebagai buruk, hanya karena
saya tidak berkenan dengan perkataan atau perbuatan seseorang. Dan saya niteni di kemudian hari, memang pada
saat itu otak saya belum menyambung dengan jiwa saya, belum sinkron.
Dengan kesadaran ini, saya memang sebaiknya
tidak meremehkan saudari Subud tersebut, karena ia sedang berproses menuju
ketersambungan itu, cepat atau lambat. Sedari awal konflik kami mengemuka,
memang tak berkurang sedikit pun rasa sayang saya padanya, meski pada saat yang
sama tak berkurang rasa tidak sukanya pada saya.©2023
Pondok Cabe,
Tangerang Selatan, 18 September 2023