Yang pertama adalah ketika
saya hendak meminta name tag kepesertaan
saya untuk Kongres Nasional tersebut. Setelah membayar Rp300.000 untuk Paket
Festival (hanya mendapat name tag,
tidak mendapat makan, congress kit,
serta penginapan), dan data saya dimasukkan oleh petugas di meja registrasi,
saya harus menunggu cukup lama untuk mendapatkan name tag atas nama saya. Petugas di meja registrasi, seorang wanita
anggota Cabang Jakarta Selatan, sempat sewot lantaran saya ngotot bahwa saya anggota Subud Cabang Surabaya. Dia bersikap
demikian karena selama ini dia seringnya melihat saya berkeliaran di Hall
Cilandak.
Ketika saya akan pindah ke
Jakarta pada tahun 2005, Sekretaris Cabang Surabaya, Pak Seno Prasodjo (kini
Pembantu Pelatih Daerah Pria Cabang Surabaya) menawarkan saya untuk membuatkan
surat pengantar yang menjelaskan bahwa saya benar anggota Cabang Surabaya,
tempat saya ngandidat dan dibuka
hampir 19 tahun yang lalu. Saya berkata kepada beliau saat itu, bahwa saya
tidak berniat mengganti keanggotaan Surabaya saya dengan cabang di kota ke mana
saya akan pindah. Jadi, secara administratif saya tetap berstatus anggota Subud
Cabang Surabaya.
Giliran saya hendak
mengambil name tag di meja yang
bertuliskan “Komwil VI”, komisariat wilayah yang menaungi antara lain Cabang
Surabaya, petugas di belakang meja sempat pula ngotot-ngototan dengan saya, karena dia tidak percaya bahwa anggota
Cabang Surabaya, karena di data cabang tidak ada nama “Arifin Dwi Slamet”
maupun nama asli saya. Petugas yang berusia muda, jauh di bawah saya usianya,
dengan sikap tidak sopan, berkata, “Saya sudah lima belas tahun di Subud
Surabaya, tidak pernah melihat Bapak... Saya tidak pernah melihat Bapak di
muswil-muswil Komwil Enam!”
Segera saya damprat dia
dengan rada sebal, “Lho, saya masuk
Subud ketika kamu masih kecil. Kamu kan
sering diajak orang tua kamu ke Hall Manyar. Tanyain aja ke bapak kamu, Bagiyon, kalau saya benar-benar anggota
Cabang Surabaya!”
Pada saat itu, datanglah
satu pembantu pelatih (PP) Cabang Surabaya, berjalan ke arah meja Komwil VI.
Beliau salah satu PP yang dulu melayani saya ketika saya masih ngandidat. Cak Nur namanya. Beliau
menepuk bahu saya dan mengatakan bahwa saya tidak perlu khawatir, karena dia
akan menjelaskan ke anak muda itu. Beliau juga mempersilakan saya pergi setelah
mendapatkan name tag atas nama Arifin
Dwi Slamet, Cabang Surabaya.
Di depan akses ke Ballroom
dari Grand Empire Palace Hotel, yang merupakan venue penyelenggaraan Kongres Nasional, terdapat sebuah stan yang
berdasarkan informasi yang saya dapat merupakan tempat untuk mencetak kartu
tanda anggota (KTA) Subud Indonesia bagi yang belum memilikinya. Saya belum
pernah memiliki KTA selama ini dan, karena itu, ingin membuatnya. Saya pun
mendatangi stan tersebut. Petugas di belakang meja pelayanan adalah seorang anak
muda anggota Cabang Jakarta Selatan yang saya mengenalnya cukup baik. Fajar
namanya. Dia mengatakan bahwa stannya sedang tutup karena kehabisan formulir.
Saya diminta datang lagi jam tiga sore. Tetapi, ketika saya datang lewat dari
jam itu, lagi-lagi saya dihadapkan pada pernyataan Fajar bahwa formulirnya habis.
Kebetulan datang seorang
wanita mendekat ke stan tersebut dan duduk berhadapan dengan Fajar di meja
pelayanan. Mendengar bahwa saya tidak mendapat formulir pendaftaran untuk
pembuatan KTA, wanita itu memberi saya satu formulir kosong yang baru
difotokopinya. Wanita itu berkata, “Pak Slamet kan ya?”
Saya mengiyakan dan
menanyakan, dari mana dia tahu nama saya. Wanita itu memperkenalkan diri dan
asal cabangnya, yaitu Subud Denpasar, dan bahwa kami berteman di Facebook. Saya
pun ingat namanya sebagai salah satu teman Facebook saya.
Di dalam
dan luar ajang Kongres Nasional ke-30 PPK Subud Indonesia di Surabaya, 3-5
Februari 2023, ini saya menandai sesuatu yang unik: Banyak anggota yang menyapa
saya, baik yang saya kenal maupun tidak. Yang tidak saya kenal, saya tanyakan
dimana kami pernah jumpa.
“Saya suka baca postingan Pak Arifin di Facebook,” kata
beberapa orang.
“Kita kan berteman
di Facebook,” kata beberapa lainnya.
“Di
Instagram, Mas/Kak!” jawab generasi yang lebih muda.
Ada pula yang tiba-tiba mendekati saya, tak jarang merangkul
atau memeluk saya, seraya berucap, “Terima kasih ya, sharing pengalaman Pak Arifin di blognya sangat membantu saya!”
Ada beberapa anggota Subud luar negeri yang segera mengenali
saya, karena kefasihan saya berkomunikasi di FB Group Subud Around the World dan For
Subud Members Only, serta saya pernah dua kali mengirim artikel ke newsletter dari Subud Zona 3 Eropa.
Setelah mendapat fotokopian formulir itu, saya segera
mengisinya. Hambatan belum hilang, karena untuk mengabsahkan kebenaran data
yang saya isikan di formulir itu saya harus meminta tanda tangan PPD Cabang
Surabaya—Pak Seno Prasodjo—dan Ketua Cabang Surabaya—Mbak Sri Sarmiati. Setelah
bertanya ke sekretariat panitia, saya mendapat petunjuk tentang keberadaan Pak
Seno (di lokasi pameran foto di Ballroom), dan menyodorkan formulir tersebut.
Beliau menolak menandatanganinya karena harus ditandatangani oleh Ketua Cabang
terlebih dahulu.
Berdasarkan informasi dari panitia di sekretariat panitia
Kongres Nasional, Ketua Cabang Surabaya sedang sibuk di ruang makan, mengurus
konsumsi. Terpaksalah saya menunggu lama. Sambil menunggu, dan setelah
diselingi dengan merokok di balkon Lantai 10 Grand Empire Palace Hotel, saya
melakukan testing: Haruskah saya
membuat KTA?”
Saya menerima: “Tidak perlu!” Pasalnya, saya toh telah memiliki “KTA digital” dengan
begitu banyaknya anggota, PP dan pengurus dari berbagai daerah di Indonesia dan
di luar negeri yang mengenali saya dari aktivitas saya yang demikian tinggi di
media sosial. Dengan jawaban itu, saya gumpal kertas formulir tersebut dan
menyimpannya untuk sementara di dalam tas selempang saya (karena masih terdapat
data pribadi saya di dalamnya; keesokan harinya baru saya sobek kertas itu dan
membuangnya ke tempat sampah).©2023
Pondok Cabe, Tangerang Selatan, 11 Februari 2023