|
Tentara Gurkha dari Satuan Tugas Helmand, Brigade Mekanis ke-4 Inggris, dalam misi International Security Assistance Force (ISAF) di Afghanistan tahun 2010. |
SEJAK di bangku sekolah dasar, saya sudah
diperkenalkan pada suatu peristiwa bersejarah di Nusantara, yang meskipun
kejadiannya dua bulan setelah berakhirnya Perang Dunia II di Pasifik tetapi
tetap tercantum dalam buku sejarah Perang Dunia Kedua.
Peristiwa itu dikenal sebagai Pertempuran
Surabaya 10 November 1945. Pertempuran hebat antara pasukan Sekutu melawan para
pejuang Indonesia itu sebenarnya berlangsung sejak 27 Oktober hingga 20
November 1945, tetapi 10 November menandai jatuh tempo ultimatum panglima Allied Forces in the Netherlands East Indies
(AFNEI) atau Pasukan Sekutu di Hindia Belanda, Mayor Jenderal Eric Carden
Robert Mansergh, yaitu 10 November 1945, pukul enam pagi, sehingga tanggal
itulah yang ditetapkan sebagai Hari Pahlawan yang diperingati bangsa Indonesia
hingga kini.
Sejak SD hingga saya kuliah di Jurusan
Sejarah FSUI dan mengambil spesialisasi sejarah militer, saya tidak begitu
peduli pada Pertempuran Surabaya, dan “menerima begitu saja” informasi bahwa
pertempurannya melibatkan kekuatan militer Inggris yang diboncengi Belanda,
yang ingin kembali berkuasa di Indonesia. Bertahun-tahun kemudian, barulah saya
menyadari sesuatu yang berbeda: Yang disebut “pasukan Inggris” ternyata adalah
dua divisi infanteri dan satu brigade infanteri independen (berdiri sendiri)
yang ditugaskan pada salah satu dari kedua divisi tersebut, yang bermarka “Indian”, alias unit yang mayoritas
prajuritnya berasal dari India dan anak benua India (pada saat itu
mencakup Bhutan, Nepal, dan Pakistan),
serta dibentuk pertama kalinya di negara yang kala itu bernama British Raj atau India Inggris. Para
prajuritnya juga berasal dari berbagai budaya dan agama—ada yang Hindu, Buddha,
Sikh, Kristen maupun Islam.
Unit-unit tempur dari Angkatan Darat Inggris
itu memang dipimpin para perwira berkebangsaan Inggris, persis resimen-resimen
kulit berwarna (colored troops) dalam
Perang Saudara Amerika 1861-1865 yang semua perwiranya adalah kaum berkulit
putih. Dari tingkat bintara (non-commissioned
officer) hingga tamtama (enlisted)
adalah orang-orang berkebangsaan India dan anak benua India yang beragama Hindu,
Buddha, Sikh dan Islam.
Divisi Infanteri India ke-23 yang bertempur
di Surabaya, contohnya, mayoritas beranggotakan prajurit beragama Hindu dan
Islam, sehingga lencana unitnya berupa gambar siluet ayam jago berwarna merah
di atas dasar kuning berbentuk lingkaran. Kabarnya, pemilihan ayam jago sebagai
lencana unit itu karena panglima pertamanya, Mayor Jenderal Reginald Savory,
merasa hal itu tidak menyinggung anak buahnya yang beragama Islam maupun Hindu.
Dalam Pertempuran Surabaya, kabarnya juga ada
beberapa prajurit India yang muslim membelot ke para pejuang Republik, karena
diajak para pejuang atas perintah Sukarno, yang mendengar laporan tentang
terdengarnya seruan allahuakbar dari
pihak pasukan Inggris yang datang menyerbu kota Surabaya. Kalaupun kabar itu
benar, pastilah mereka itu prajurit India yang berasal dari daratan India dan
negara-negara tetangganya yang berpenduduk mayoritas muslim. Tidak mungkin
berasal dari Nepal yang berpenduduk kaum Gorkhali atau Gurkha yang beragama
Hindu.
Inggris mengerahkan dua divisi infanteri
India ke Surabaya, yaitu Divisi Infanteri India ke-23 dan ke-5. Di dalam
senarai tempur (order of battle) dari
Divisi Infanteri India ke-23 di palagan Surabaya terdapat Brigade Infanteri
India ke-37 yang menaungi tiga batalion Gurkha Rifles, sedangkan dalam senarai
tempur dari Brigade Infanteri India ke-49 (independen) yang sedang di-BKO
(bawah kendali operasi) pada Divisi ke-23 ada dua resimen asal Nepal, yaitu
Resimen Kalibahadur dan Resimen Shere. Tak perlu dijelaskan lagi, kedua resimen
asal Nepal itu pastilah beranggotakan prajurit Gurkha dan Gurkha India. Dalam Divisi Infanteri India ke-5 pun terdapat dua
batalion Gurkha Rifles.
Pada pendaratan tanggal 6
November 1945 itulah kali pertama pasukan Gurkha menginjakkan kaki di
Surabaya. Kedatangan mereka disokong oleh artileri berat maupun bantuan
tembakan kapal di lepas pantai Surabaya, serta mendapat perlindungan dari
pesawat-pesawat tempur Inggris, sehingga laju pertempuran pada bulan November
menjadi berbeda dengan Pertempuran Tiga Hari pada 28 hingga 30 Oktober 1945.
Gurkha adalah sebutan buat orang-orang asli
Nepal, sedangkan Gurkha India adalah masyarakat yang berasal dari bagian timur
lautnya India yang berbahasa Nepali—berwarganegara India tetapi berakar pada
budaya Nepal.
Saya menemukan banyak artikel terkait
Pertempuran Surabaya yang keliru dalam bahasan mereka mengenai Gurkha. Para
penulis artikel itu menyamakan tentara Gurkha dengan tentara India biasa atau
bahwa semua prajurit India yang bertempur di Surabaya pada Oktober-November
1945 adalah orang Gurkha. Yang menggelikan adalah artikel-artikel yang menyebut
tentara Gurkha meneriakkan “allahuakbar”
atau berhenti bertempur karena mereka mendengar para pejuang Indonesia
menyerukan kebesaran Allah. Ya, menggelikanlah; apakah para penulisnya tidak
tahu bahwa suku Gurkha di Nepal dan Gurkha India beragama Hindu?
Lebih konyol lagi yang menyebutkan bahwa
presiden Pakistan yang tewas dalam kecelakaan pesawat pada 17 Agustus 1988, Zia
ul Haq, merupakan komandan Gurkha yang ikut bertempur di Surabaya tahun 1945.
Entah dari mana sumber informasi itu, tetapi hal itu jelas tidak mungkin,
mengingat Zia ul Haq terlahir dalam keluarga muslim yang taat di Punjab, suatu
daerah geopolitik, kebudayaan, dan historis di Asia Selatan, khususnya di
bagian utara anak benua India, yang terdiri dari wilayah Pakistan timur dan
India utara. Kemungkinan besar, Zia adalah anggota Resimen Punjab ke-2 yang
dibentuk pada 1761 sebagai bagian dari Angkatan Darat Inggris.
Pasukan Gurkha bagi Inggris adalah seperti
Legiun Asing bagi Prancis. Meskipun Gurkha memenuhi kriteria Konvensi Jenewa
untuk dianggap sebagai tentara bayaran (mercenary),
tetapi, sama seperti rekannya dari Prancis, Gurkha dikecualikan dari ayat (e)
dan (f) dari pasal 47 Protokol I Konvensi Jenewa yang bertajuk “Mercenary”. Ayat (e) berbunyi “Tentara
bayaran bukanlah anggota angkatan bersenjata dari Pihak yang sedang berperang”,
sedangkan ayat (f) “Tentara bayaran tidak dikirim oleh Negara yang bukan
merupakan Pihak yang berperang dalam suatu tugas resmi sebagai anggota angkatan
bersenjata.”
Unit-unit Gurkha terdiri dari orang-orang
Gurkha Nepal dan India. Sejumlah 96.000 orang Gurkha direkrut untuk Angkatan
Darat Nepal, 42.000 untuk AD India, 4.010 untuk AD Inggris, dan sisanya tersebar
di Kontingen Gurkha Singapura, Unit Cadangan Gurkha Brunei, pasukan perdamaian
PBB dan di berbagai zona perang di seluruh dunia.
Tentara Gurkha identik dengan pisau berbilah melengkung
mereka yang disebut “khukuri” atau “kukri”, Pisau
ini menjadi ciri khas dari Angkatan Darat Nepal dan Resimen Gurkha di seluruh dunia. Prajurit Gurkha juga bereputasi sebagai serdadu yang hebat dalam
bertempur serta berani mati. Di kalangan tentara India terkenal ungkapan, “Jika
ada yang bilang bahwa dirinya tidak takut mati, pasti dia bohong atau dia
Gurkha.”
Asal-usul keberadaan tentara Gurkha adalah
ketika Inggris mulai bersentuhan dengan sebuah kekuatan yang unik dan kuat di
perbatasan utara wilayah yang baru dimenangkan Inggris di Benggala (kini,
Benggala Timur masuk Bangladesh, sementara Benggala Barat, Tripura, Assam, dan Jharkhand masuk wilayah India) dan Bihar (India) pada tahun 1767. Kekuatan
ini adalah negara-kota Gorkha yang dipimpin oleh raja Prithwi Narayan Shah, dan
saat itu merupakan sebuah desa di bukit yang sekarang menjadi Nepal barat, dari
mana nama Gurkha berasal. Raja Prithwi dan penerusnya tumbuh begitu kuat
sehingga mereka dapat menguasai seluruh wilayah pegunungan Kashmir di barat
hingga Bhutan di timur.
|
Batalion Nusseree pada tahun 1857. Mereka kelak dikenal sebagai Resimen Gurkha Rifles ke-1. |
Sebagai akibat dari sengketa perbatasan dan
serangan berulang-ulang oleh Gurkha ke wilayah yang dikuasai Inggris, Gubernur
Jenderal India menyatakan perang terhadap Nepal pada tahun 1814, yang berakhir
pada tahun 1816 dengan perjanjian damai yang disebut Perjanjian Sugauli. Pasca
penandatanganan perjanjian damai tersebut, Gurkha melayani Perusahaan Hindia
Timur Inggris sebagai prajurit kontrak dalam Perang Pindari (Perang
Anglo-Maratha) tahun 1817, Perang Burma-Inggris Pertama tahun 1826, Perang
Anglo-Burma Pertama dan Kedua pada 1846 dan 1848.
Para pejabat Inggris di abad
ke-19 menyatakan Gurkha sebagai “Martial
Race” (Ras Perang), yang menggambarkan orang-orang Gurkha sebagai kaum yang
“suka berperang dan agresif dalam pertempuran”. Hebatnya, satu orang serdadu
Gurkha mampu menghabisi lawan dalam jumlah yang lebih banyak.
Seperti yang terjadi pada 23
Juni 1943, ketika Inggris bertempur melawan Jepang di Burma dalam Perang Dunia
Kedua. Satu prajurit Gurkha, yang tersisa dari unitnya yang sudah tewas atau
terluka setelah diserang Jepang di dekat jembatan kereta api, menggunakan
pistol yang ia tembakkan sambil berlari melintasi medan yang terbuka dan
berlumpur. Dia merampas dua senapan mesin dan sejumlah besar amunisi dari tiga
tentara Jepang yang ia bunuh.
Hal ini mengingatkan saya
pada pertempuran antara pasukan Legiun Asing Prancis dan Meksiko pada 30 April
1863, yang dalam sejarah disebut sebagai Pertempuran CamarĂ³n. Berkekuatan hanya
65 prajurit, pasukan Legiun Asing yang sedang berpatroli itu diserang dan
dikepung oleh 3.300 pasukan infanteri dan kavaleri Meksiko. Setelah bertempur
selama sepuluh jam, tersisa lima prajurit Legiun Asing, sedangkan Meksiko
kehilangan 300 prajuritnya dan menanggung 500 prajurit yang terluka.
Bagaimanapun, peristiwa ini menunjukkan betapa mengerikannya para pejuang yang
tergabung dalam Legiun Asing dan sejenisnya, seperti tentara Gurkha.©2022
Pondok
Cabe, Tangerang Selatan, 10 November 2022