HARI Minggu pagi, 2 Oktober 2022, saat berada
di Hall Latihan Cilandak, saya berjalan ke arah teras selatan setelah mendengar
dari seorang pembantu pelatih (PP) pria bahwa ada empat mahasiswi dari program
studi Sastra Jawa, Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia
(FIBUI) sedang ditemui dua PP pria lainnya. Keempat mahasiswi itu tengah
meneliti Subud untuk tugas matakuliah Religi Jawa.
Saya menjumpai empat mahasiswi itu duduk di
bagian dari teras selatan Hall Cilandak yang tiap hari Minggu pagi dijadikan
tempat tatap muka bagi para anggota baru pria dan beberapa PP yang ditugaskan
untuk melayani mereka. Tetapi hari Minggu, 2 Oktober 2022, jadwal tatap muka
ditiadakan lantaran ada Latihan Dunia jam 10.00 WIB. Menghadapi keempat
mahasiswi Angkatan 2019 itu adalah dua PP pria yang saya kenal baik. Mereka
memanggil saya untuk bergabung, karena mereka tahu bahwa saya alumnus Fakultas
Sastra UI (pendahulu FIBUI), meskipun saya dari Jurusan Sejarah. Saya tak
menampik ajakan mereka dan duduklah saya di sebelah mereka.
Dari yang saya dengar, penjelasan kedua PP
pria itu adalah mengenai aspek organisasi Subud dan bahwa praktik utamanya
adalah Latihan Kejiwaan, namun tidak dijelaskan apa itu Latihan Kejiwaan,
karena hal itu merupakan sesuatu yang sangat sulit untuk dijabarkan. Untuk
mendapatkan pengertian tentang apa itu Latihan Kejiwaan, seseorang harus dibuka
dan mengalaminya sendiri. Analogi yang sering digunakan adalah minuman atau
makanan, misalnya kopi. Merupakan hal yang sangat sulit untuk memberi
penjelasan lisan maupun tulisan yang memuaskan mengenai rasa kopi; Anda harus
meminumnya untuk mengetahui rasanya. Untuk urusan makanan atau minuman, rasa
melampaui kata.
Karena harus bertugas, kedua PP pria itu
mohon diri dan karena keempat mahasiswi tersebut masih ingin mendapatkan
informasi lebih lanjut, saya menyediakan diri untuk diwawancarai. Saya
bercerita tentang sejarah dan keorganisasian Subud serta beberapa pengalaman
kejiwaan yang pernah saya lalui sebagai contoh atau representasi dari Latihan
Kejiwaan yang tidak ada teorinya itu.
Belakangan, lama setelah saya berpisah dari
keempat mahasiswi itu, saya ditimpa masalah yang “menyebalkan”: Setelah saya
memposting foto dan sedikit cerita tentang pertemuan saya, kedua PP pria tadi
dan keempat mahasiswi tersebut, di grup WhatsApp (WA) “Subud 4G” serta di
linimasa Facebook dan Instagram saya, rupanya ada satu oknum PP yang
mengadukannya ke PP Daerah Wanita Jakarta Selatan, yang kemudian, tanpa
mengonfirmasi terlebih dahulu ke saya, langsung me-repost di grup WA PP Jakarta Selatan dengan dakwaan “pelanggaran terhadap
petunjuk Bapak” terkait penerangan kepada kandidat oleh PP yang berbeda jenis
kelamin.
Selain membuat sebagian PP lainnya dari
Cabang Jakarta Selatan “menyidang” kedua PP pria tadi, sang PP Daerah Wanita
Jakarta Selatan juga meminta agar para PP pria melakukan pembinaan atas diri
saya, dengan alasan “outrageous
behaviour” (perilaku yang memalukan) yang ditunjukkan dalam postingan
saya di media sosial. Screenshot dari postingan saya di Facebook, yang ia nilai sebagai memalukan, pun ia edarkan di antara para PP Cabang Jakarta Selatan.
Saya memahami dan selama ini saya mematuhi
petunjuk tersebut, meskipun saya bukan pembantu pelatih. Tetapi petunjuk
tersebut berlaku untuk PP kepada kandidat dan anggota. Keempat mahasiswi
tersebut bukan kandidat apalagi anggota Subud, melainkan peneliti akademik
berbekal informasi keliru bahwa Subud adalah sebuah aliran kebatinan Jawa atau
Kejawen—yang mana harus saya luruskan. Jadi, saya maupun kedua PP pria itu
sejatinya tidak melanggar petunjuk dari Bapak Muhammad Subuh Sumohadiwidjojo.
Dalam ceramah di Manchester, Inggris, pada 13
April 1967 (kode rekaman: 67 MAN 4), Bapak mengatakan antara lain, “Dalam
meninjau sesuatu atas pertanyaan yang telah diajukan sebagaimana yang telah
Bapak juga umumkan, bahwa pertanyaan yang dari kaum wanita harus dilakukan oleh
para pembantu pelatih wanita, dan pertanyaan yang diajukan oleh saudara pria
harus dijawab dan ditinjau oleh saudara pria. Apa sebab demikian, saudara?
Karena kedua jenis kelamin—meskipun saudara anggap dan rasa tidak
apa-apa—tetapi dalam kesungguhannya satu demi satu, atau antara satu dari
kedua, terisi hal-hal yang maha rahasia. Oleh karena itu, maka sebaiknya
peninjauan untuk wanita dilakukan oleh wanita dan pria dilakukan oleh pria sebagai
yang telah Bapak umumkan.”
Cuplikan ceramah ini sudah sangat jelas
menandaskan bahwa penerangan dan peninjauan (testing) tidak boleh dilakukan oleh pria kepada lawan jenisnya, dan
sebaliknya. Tetapi, merujuk pada kata “peninjauan”, yang berarti ditujukan
kepada kandidat atau anggota, dan karena itu berlaku hanya dalam penerangan
yang bersifat kejiwaan, bukan dalam aspek keorganisasian atau hal-hal umum
lainnya.
Tanpa mengurangi hormat saya kepada Bapak,
saya ingin sampaikan melalui artikel ini bahwa “kejiwaan”, menurut yang saya
alami selama ini, sejatinya meliputi segala sesuatu, termasuk hal-hal yang
dipandang “non-kejiwaan”. Ketika seseorang dibuka dan rajin melakukan Latihan
Kejiwaan, otomatis isi dirinya hidup dan meliputi segala sesuatu pada dirinya,
lahir maupun batin.
Contohnya sudah cukup banyak. Salah satunya
adalah yang terjadi tahun 2007 di tempat saya bekerja dahulu, sebuah firma
kehumasan di kawasan Pancoran, Jakarta Selatan. Seorang karyawati mendatangi
saya di ruang kerja saya—waktu itu, saya menjadi Executive Creative Director di firma itu—untuk menyampaikan job request dari atasan kami. Ia duduk
di sebelah saya yang tengah sibuk mengetik naskah di komputer. Saya minta ia
menunggu sebentar sebelum menyampaikan taklimat mengenai pekerjaan yang diminta
oleh atasan kami, karena saya sedang asyik menuangkan ide ke dalam tulisan.
Tiba-tiba, si karyawati menangis sesenggukan.
Saya kaget, tidak mengerti, karena kami tidak sedang berkomunikasi. Saya tanya
dia, ada apa, kok menangis? Dia
mengutarakan bahwa dia merasakan kedamaian ketika duduk di sebelah saya dan hal
itu membuatnya teringat pada almarhum ayahnya, yang kematiannya sulit ia
terima, sehingga membuatnya menderita insomnia selama delapan tahun sejak
ayahnya wafat.
Penasaran dengan apa yang saya miliki, yang
telah memberinya rasa damai, ia pun meminta penjelasan. Saya hanya memberi tahu
bahwa saya ikut Subud dan bila ia ingin tahu lebih banyak atau tertarik masuk
Subud saya akan mengenalkannya ke PP wanita atau anggota berjenis kelamin
perempuan untuk memberi penerangan di ranah kejiwaan. (Hanya sehari setelah berbicara
dengan anggota Subud berjenis kelamin perempuan, dan belum dibuka, insomnianya
teratasi dan ia bisa tidur nyenyak.)
Pengalaman lainnya terjadi pada tahun 2010.
Saat itu, saya dinasihati seorang saudara Subud yang lebih senior (dibuka tahun
1968) agar saya jangan memposting hal-hal bernuansa kejiwaan di akun Facebook
saya, karena tampaknya, menurut beliau, itulah sebabnya pada saat itu saya “diburu”
kaum berjenis kelamin perempuan. Saya mengikuti nasihat beliau, dan sebagai
gantinya saya pun kerap memposting foto dan cerita seputar perkeretaapian.
Apakah hal itu mengubah keadaan? Sama sekali tidak! Banyak wanita malah jatuh
cinta pada sosok saya sebagai “pria dewasa yang berjiwa anak kecil karena suka
kereta api”.
Lalu, dalam obrolan-obrolan saya dengan para
anggota Subud berjenis kelamin perempuan, bukan tentang kejiwaan, melainkan tentang
berbagai hal yang sifatnya umum, seperti kuliner, kereta api, sejarah, film,
musik, branding, pekerjaan, dan
lain-lain, ternyata tetap berdampak seperti yang diungkapkan oleh cuplikan
ceramah Bapak di atas.
Ketika saya ceritakan mengenai fenomena itu
kepada seorang PP senior, dia mengatakan, sambil tertawa, “Ya, mau gimana lagi? Kamu kan
dalamnya sudah hidup, pasti yang berbicara dengan kamu akan kena setrummu.
Masak kamu mau terus-terusan diam membisu atau menjauhi lawan jenis?”
Datangnya Latihan Kejiwaan pada diri
seseorang tidak dapat diduga atau diniatkan, dan tidak pula bisa dikendalikan
dengan kehendak akal pikir dan nafsu. Ketika saya berbicara atau menulis,
Latihan mengisi diri saya, dan energinya dapat inggap pada lawan bicara atau
pembaca tulisan saya, tanpa saya kehendaki. Paling banter yang bisa saya
lakukan adalah membentengi diri saya dengan kesadaran akan etika kesusilaan—yang
sejatinya juga merupakan bimbinganNya.©2022
Pondok Cabe,
Tangerang Selatan, 4 Oktober 2022