BERMULA pada 31 Desember 2021 lalu, ketika satu saudara Subud (sebut saja namanya A) menelepon saya selama hampir dua jam. Mengenai satu anggota berkebangsaan Amerika yang menjadi helper di grup Subud luar negeri dan pekerjaannya sebagai dosen membuatnya sering pergi pulang luar negeri-Indonesia, karena dia mengajar juga di sebuah perguruan tinggi swasta di kota Yogya.
Sebagai konsultan bagi seorang kepala pemerintahan di sebuah negara berpenduduk mayoritas muslim, membuat BC (inisial bukan nama sebenarnya) dibatasi gerak-geriknya sedangkan dia muslim yang aktif di Subud, sementara Subud di negara tersebut terpinggirkan—muslim di negara tersebut dilarang menjadi anggota Subud, sehingga BC terpaksa sembunyi-sembunyi kalau mau Latihan di grup Subud di negara tersebut. Karena itu, tiap kali ke Indonesia dan dapat Latihan di hall baginya adalah surga.
Pada 31 Desember itu, A bercerita kalau BC keliaran tidak jelas, luntang-lantung seperti gembel gila dan linglung. BC sedang berada di Yogya, sejak Maret 2021. Tetangga kosnya BC, seorang mahasiswa, pun berupaya membantunya. BC bilang dia hanya kenal A di Indonesia dan mempunyai nomor ponselnya. Si mahasiswa pun menelepon A dan menceritakan keadaan si bule Amerika itu. A kebingungan, kepada siapa dia harus minta bantuan untuk mengurus BC sementara. Dia hubungi Komisaris Wilayah 5 PPK Subud Indonesia yang menaungi Jawa Tengah dan DI Yogyakarta, Pak D, tapi Pak D menolak mengurus BC, entah apa sebabnya.
A kehabisan akal, karena dia tidak kenal orang-orang Subud di Yogya, kecuali yang tua-tua, tapi mereka tidak aktif ke hall dan A tidak memiliki nomor-nomor kontak mereka. A lalu ingat saya, karena saya di Cilandak dikenal sebagai “kurator anggota Subud”. Dalam pembicaraan via telepon WhatsApp 31 Desember lalu itu, saya usul supaya A menghubungi E, helper dan caretaker Wisma Subud Kulonprogo, barangkali BC bisa dititipkan dulu di Hall Kulonprogo. A merasa itu ide yang bagus, sehingga dia minta nomor kontaknya E.
Saya pikir masalahnya sudah selesai di situ. Ternyata tidak. A hanya memberitahu BC bahwa ia kemungkinan bisa tinggal sementara di Wisma Subud Kulonprogo. BC bingung karena dia tidak kenal orang-orang Subud Kulonprogo. A pun tidak kenal. Lalu, tiba-tiba awal Januari lalu BC muncul di Wisma Subud Cilandak, dan tinggal di Guesthouse. Pak FG, sebagai sesama warga Amerika yang tinggal di dalam kompleks Wisma Subud Cilandak, pun mendampinginya. Pak FG membenarkan bahwa BC datang ke Cilandak dalam keadaan linglung. Tapi dia kembali sadar setelah disalami Pak FG sambil berzikir. Dan ingatannya kembali jernih setelah diajak Pak FG jalan kaki keliling kompleks Wisma Subud Cilandak.
Selama tinggal di Guesthouse, BC curhat ke Pak FG bahwa dia tidak betah di Cilandak karena diperlakukan tidak baik oleh Yayasan. Dia ingin segera ke Kulonprogo, suatu tempat yang notabene belum pernah dia datangi tapi menurut rasa dirinya Kulonprogo itu sesuai harapannya. BC ingin tinggal di tempat yang dekat dengan hall Latihan dan orang-orang Subudnya baik padanya.
Diceritakan oleh Pak FG tentang keadaan BC sejak ke Cilandak, saya pun tanya ke A apakah dia sudah berkoordinasi dengan E. Ternyata belum, dengan alasan dia sibuk dengan urusan dengan pihak imigrasi yang mau mendeportasi bule Rungan Sari. Dongkol juga saya padanya, lha ada anggota yang butuh segera dibantu, kok bisa-bisanya si A menunda-nunda. Sudah begitu, A menggampangkan masalahnya dengan menyuruh BC mencari sendiri lokasi Wisma Subud Kulonprogo di Google Maps atau menghubungi saya, yang belum dikenal oleh BC.
Akhirnya, saya WhatsApp E, menanyakan kemungkinan Wisma Subud Kulonprogo menampung anggota asing yang sedang krisis (menurut A, BC sedang krisis berat karena kelakuannya di masa lalu, suka main perempuan, suka menggoda para PRT di kompleks Wisma Subud Cilandak). E menjawab, bisa. Dan ajaibnya, dalam Latihannya, E mendapat dorongan untuk menyegerakan penyelesaian pembangunan rumah yang terletak sekitar 400 meter dari Hall Kulonprogo.
“Saya tadinya heran, kenapa harus segera selesaikan rumah itu. Rupanya mau ketempatan saudara Subud,” kata E ke saya. Dia memang pernah cerita ke saya, ketika 26-28 Januari 2018 saya ke Kulonprogo dalam rangka menghadiri pernikahannya saudari Subud di Magelang, bahwa dia berencana membangun rumah singgah bagi saudara-saudara Subud yang berkunjung ke Kulonprogo.
Kabar baik itu saya sampaikan ke Pak FG. Pak FG pun segera mengoordinasi para saudara sejiwa yang tergabung dalam geng Teras Timur untuk memuluskan pemindahan BC ke Kulonprogo. Adalah HI—inisial bukan nama sebenarnya, juragan sebuah kafe di Pasarminggu, Jakarta Selatan, yang mengontak perusahaan travel, dan kemudian, karena BC mau naik pesawat saja, memesankan tiket Super Jet Air untuk keberangkatan 27 Januari. Beruntungnya BC, lokasi Hall Kulonprogo dekat dengan Stasiun Wates, terminal bus AKAP maupun bandara baru Yogyakarta, jadi tidak masalah bagi E untuk menjemput.
Tanggal 26 Januari, sore, saya telepon Mbak J, pembantu pelatih wanita Cabang Kulonprogo dan KLM (Ketua Cabang Kulonprogo) untuk menginformasikan tentang niat BC tinggal di lingkungan Subud Kulonprogo. Mbak J terkenal sigap kalau mengurus penyambutan saudara-saudara Subud yang berkunjung ke Kulonprogo. Dewan pembantu pelatih dan pengurus Cabang Kulonprogo menyambut baik keinginan BC tinggal di Kulonprogo.
Sore, 27 Januari, BC meluncur ke Bandara Soekarno-Hatta. Penerbangannya jam 15.30 WIB. Jam 22.30, Pak FG WhatsApp saya, mengabari bahwa “paket” sudah tiba di Kulonprogo, dijemput E beserta istri dan anaknya (karena tidak bisa bahasa Inggris, E mengajak putranya yang bisa bahasa Inggris sedikit) di Yogyakarta International Airport.
Pesan moral
dari pengalaman ini adalah: Kalau mau bertindak tanpa ragu dan berupaya mencari
solusi, maka bimbinganNya pun bekerja, memudahkan segalanya. Puji Tuhan.©2022
Pondok Cabe, Tangerang
Selatan, 27 Januari 2022