KEJADIANNYA sendiri sudah lama lewat. Tahun 2018. Tapi kejadian itu menginspirasi saya untuk menulis artikel ini.
Kejadian tersebut membuka mata saya, betapa kita sering, sadar maupun tidak, menempelkan jabatan, peran, profesi, atau anggapan tertentu pada diri kita yang mempengaruhi sikap dan perilaku kita dalam interaksi sosial kita dengan orang lain, yang tidak melulu terkait dengan atribut semu itu. Ternyata, sangat susah tampil sebagai pribadi sejati kita, apa adanya.
Bulan September 2018, saya, bersama rombongan yang terdiri sebagian besar dari anggota Subud yang aktif di Kelompok Subud Tebet dan sisanya adalah anggota-anggota non-Tebet, bersilaturahmi ke Subud Cabang Purwokerto, Jawa Tengah. Para helper Tebet dan non-Tebet juga ikut serta.
Helper Tebet yang rumahnya ketempatan Latihan Kejiwaan anggota Kelompok Tebet tiap hari Jumat malam kebetulan juga pembantu pelatih daerah (PPD) Cabang Jakarta Selatan. Dan satu helper non-Tebet yang turut serta dalam silaturahmi ke Purwokerto tersebut juga sedang mengemban tugas sebagai international helper (IH) Area 1 (Asia-Pasifik).
Apa pun jabatan atau peran yang sedang melekat pada masing-masing kita saat itu, kunjungan ke Cabang Purwokerto saat itu murni silaturahmi, sebuah kebiasaan bagi saya dan tiga helper lainnya—termasuk PPD Jakarta Selatan dan IH Area 1 tersebut—sejak dahulu. Apalagi saya ke Purwokerto sudah sangat biasa, karena dari ibukota Kabupaten Banyumas ini ayah saya berasal. Kakek-nenek saya dari garis ayah juga tinggal hingga meninggal di Purwokerto. Singkat kata, saya dan ketiga helper itu memiliki kedekatan emosional dengan kota dan Subud Cabang Purwokerto yang sudah tertanam sejak lama.
Beberapa saat setelah kami kembali ke Jakarta beredar omongan sumbang dari kalangan helper Cabang Jakarta Selatan, yang mengkritisi bahwa kunjungan ke Purwokerto itu tidak sesuai dengan kapasitas PPD Jakarta Selatan dan IH. “Kenapa PPD Jakarta Selatan kok ngurusi daerah lain di luar Jakarta? Kok IH ngurusi yang bukan wilayah yurisdiksinya?” demikian kabarnya omongan sumbang mereka.
Di lain kesempatan, saya juga menyaksikan seorang mantan pembantu pelatih nasional emoh memenuhi undangan peresmian hall Latihan Subud di tempat yang menurut sang mantan PPN melanggar aturan administratif kewilayahan menurut norma organisasi Subud Indonesia. "Kalau saya hadir, nanti kan dianggap saya setuju dengan keberadaan hall itu." Apakah dia lupa bahwa kehadiran bisa dan seharusnya sebagai pribadi, tidak bawa-bawa atribut? Entahlah.
Itu di Subud. Di luar Subud juga ada dan tampaknya sudah membudaya. Bertahun-tahun lalu, saya menemani kedua orang tua saya berkunjung ke rumah sepupu dari ibu saya yang tinggal di Kompleks TNI Angkatan Laut Pangkalan Jati, Jakarta Selatan. Suami dari sepupu ibu saya ini adalah purnawirawan laksamana bintang empat yang pernah menjabat Kepala Staf Angkatan Laut (KASAL). Saat sedang berbincang-bincang di ruang tamu, satu asisten rumah tangga memberitahu sang mantan KASAL bahwa majikannya itu diundang ke rapat di rumah Ketua RT.
“Ah, males! Ngapain saya yang datang? Dia dong yang datang ke sini. Dia kan letnan kolonel, kalau saya siapa?!” jawab suami dari sepupu Ibu saya, dengan nada tinggi.
Setelah saya mengerjakan pembuatan majalah TNI AL yang membuat saya kerap berinteraksi dengan jajaran perwira menengah dan tinggi TNI AL dua tahun terakhir ini saya jadi paham mengenai sikap “ter(p)ikat atribut” yang terdapat pada si mantan KASAL itu. Budaya egaliter atasan-bawahan tampaknya tidak ada di lingkungan kedinasan TNI AL, tapi bukankah kehidupan bertetangga seharusnya menafikan itu?
Kalau saya pribadi hanya mengandalkan bimbingan kekuasaan Tuhan dalam berinteraksi sosial. Untuk itu, saya harus mengosongkan diri, menanggalkan segala atribut yang bukan sejatinya saya. Harapan saya, saya bisa tampil manusiawi, yaitu manusia yang seutuhnya tanpa ter(p)ikat pada atribut-atribut yang keberadaannya bersifat semu.©2021
Pondok Cabe, Tangerang Selatan, 26 Februari 2021