SEJAK
kecil, saya dibebani fobia akan jarum suntik atau trypanophobia. Penyebabnya adalah trauma dari pengalaman saya
menyaksikan sepupu saya disuntik pahanya oleh seorang dokter di ruang
praktiknya dan jarumnya tetap menancap di pahanya ketika sang dokter mencabut
tabung suntiknya. Kesaksian itu membekas di benak saya hingga saya dewasa,
sehingga saya sangat takut disuntik, melihat orang disuntik, maupun hanya melihat
alat penyuntiknya.
Menurut
Wikipedia, fobia atau gangguan anksietas fobik adalah rasa ketakutan yang
berlebihan pada sesuatu atau fenomena. Fobia terhadap jarum suntik menghambat
kehidupan saya. Perasaan takut akibat fobia itu sulit dimengerti banyak orang. Itu
sebabnya, saya sering dijadikan bulan-bulanan oleh orang-orang di sekitar saya.
Ada
perbedaan “bahasa” antara pengamat fobia dan pengidap fobia. Pengamat fobia
adalah orang-orang di sekitar saya; mereka menggunakan bahasa logika, sementara
saya sebagai pengidap fobia menggunakan bahasa rasa. Bagi pengamat, dirasa lucu
jika seseorang berbadan besar takut dengan benda kecil seperti jarum suntik. Sementara
di bayangan mental saya, subyek tersebut menjadi benda yang menakutkan.
Dalam
keadaan normal, setiap orang memiliki kemampuan mengendalikan rasa takut. Tetapi
bila seseorang terpapar terus-menerus dengan subyek fobia, hal tersebut
berpotensi menyebabkan apa yang oleh Willy F. Maramis, dalam bukunya yang
berjudul Ilmu Kedokteran Jiwa
(Surabaya: Airlangga University Press, 2009), disebut sebagai “fiksasi”.
Fiksasi adalah suatu keadaan di mana mental seseorang menjadi terkunci, yang
disebabkan oleh ketidakmampuan yang bersangkutan dalam mengendalikan perasaan
takutnya. Penyebab lain terjadinya fiksasi, menurut Willy F. Maramis, adalah
suatu keadaan yang sangat ekstrem, seperti trauma bom, terjebak dalam lift,
dan, seperti yang saya alami, jarum suntik tertinggal di paha sepupu saya.
Berbagai pendekatan
pernah saya coba, mulai dari menggantungkan alat penyuntik di tempat-tempat di
mana saya biasa berada, seperti di ruang kerja saya (digantungkan di sisi layar
komputer yang saya pakai untuk bekerja), atau di sebelah tempat tidur saya,
sehingga setiap kali saya akan tidur saya melihatnya dan ketika terbangun saya
tidak kaget dengan keberadaannya. Semua pendekatan ini tidak pernah berhasil.
Tetapi,
bukan berarti saya tidak pernah disuntik selama usia dewasa saya. Walaupun tidak
sering, untuk keperluan-keperluan yang mendesak, seperti akan bepergian ke luar
negeri, sebagai persyaratan melamar pekerjaan, mengambil surat izin mengemudi,
dan dirawat di rumah sakit, saya tetap harus merelakan diri saya disuntik
dan/atau diinfus. Meskipun hal itu menimbulkan keadaan yang cukup memalukan, yaitu
saya meronta-ronta sehingga harus dipegangi beberapa orang, atau saya menjerit
histeris, atau menangis di sudut ruangan di mana dokter atau perawat menanti
untuk menyuntik saya.
Ketika tahun
2006 saya dirawat di rumah sakit karena infeksi lambung yang saya derita, ada
satu perawat pria yang ahli menusukkan jarum infus ke punggung tangan saya
tanpa saya merasa takut atau melawan. Ia mengajak saya mengobrol tentang
berbagai hal dan becanda, tanpa memperlihatkan bahwa saat itu ia sedang
mempersiapkan penusukan jarum infus ke tangan saya. Tiba-tiba saja, ia berkata,
sambil memperlihatkan tangan saya yang telah tersambung dengan selang infus, “Tuh, sudah masuk.”
Bagaimanapun,
untuk membuat saya mau dirawat di rumah sakit saja, sejumlah kerabat saya harus
berusaha keras meredakan ketakutan saya yang sempat menolak untuk dirawat inap
di rumah sakit—meskipun saya merasa sangat kesakitan di perut akibat infeksi
lambung—lantaran saya membayangkan situasi-situasi di mana saya harus ditusuk
jarum suntik atau jarum infus!
Keadaan-keadaan
menakutkan sekaligus memalukan ini mendorong saya senantiasa mencari cara
terbaik untuk mengatasinya. Saya pernah membaca sebuah artikel di majalah Femina bertahun-tahun yang lalu tentang
seorang dokter gigi yang menerapkan hipnoterapi pada pasien-pasiennya yang
takut terhadap pemeriksaan dan perawatan gigi, yang melibatkan alat-alat yang
bagi seorang pengidap fobia dentophobia
(fobia terhadap dokter gigi) atau trypanophobia
tergolong menakutkan. Hipnoterapi adalah aplikasi hipnosis untuk tujuan
perbaikan (therapeutic).
Membaca
artikel tersebut, saya menjadi penasaran dengan cara kerja hipnotisme. Tapi saya
urungkan niat saya untuk menggunakan pendekatan hipnoterapi untuk mengatasi
fobia saya, karena teringat pada sejumlah pengalaman saudara-saudara SUBUD saya
yang gagal dihipnotis, lantaran, konon, Latihan Kejiwaan yang meniadakan kerja
akal pikir tidak dapat ditembus oleh pendekatan-pendekatan yang mengadakan
kerja akal pikir.
Tapi, itu
masih “katanya”, sedangkan sebagai anggota SUBUD, kita harus mengalami
kenyataan, bukan sekadar teori atau “kata orang lain yang pernah mengalaminya”,
meskipun orang itu nabi yang menerima wahyu ilahiah sekalipun. “Jangan percaya
Bapak, sebelum Nak mengalaminya sendiri,” ucap pendiri Perkumpulan Persaudaraan
Kejiwaan Susila Budhi Dharma (SUBUD), Bapak Muhammad Subuh Sumohadiwidjojo
(1901-1987) sering kali. Karena itu, saya, cepat atau lambat, harus mengalami
hipnoterapi. Saya tidak mau memaksakan diri jika belum waktunya, melainkan saya
bergantung pada bimbingan Tuhan Yang Maha Kuasa.
Nah, waktu
yang dikehendakiNya tiba baru-baru ini. Pada tanggal 10 September 2019, saya
ada janji untuk berkonsultasi dengan seorang dokter spesialis anestesi (dokter
spesialis yang bertanggung jawab memberikan pembiusan sebelum pasien menjalani
operasi atau prosedur medis lainnya. Selain itu, ia juga membantu dalam
manajemen nyeri dan perawatan pasien) di sebuah rumah sakit swasta di bilangan Ciputat,
Tangerang Selatan, Banten. Seorang perawat laki-laki yang saya kenal sejak Februari
tahun 2019, yang datang ke rumah saya untuk merawat luka di kedua kaki saya
yang tak kunjung sembuh, menjadi perantara pertemuan saya dengan sang dokter.
Dokter Andi namanya (bukan nama sebenarnya).
Kepada
Dokter Andi saya ceritakan apa keluhan saya. Ia menyuruh saya mengetuk-ketukkan
jari jemari tangan kanan saya pada sisi bawah tangan kiri saya dan sebaliknya
selama saya bercerita. Menurut Dokter Andi, hal itu dapat meredakan ketegangan
emosi.
Setelah cukup
mendengar cerita saya, ia mulai melakukan serangkaian tindakan yang tampaknya
merupakan bagian dari hipnoterapi. Mulai dari mengusap-usap kepala saya tanpa
menyentuh, meletakkan jari telunjuknya di kening saya, sampai memijat-mijat
bahu dan punggung saya. Sang dokter juga berbicara dengan suara dan konten yang
ia ulang-ulang dan meminta saya mengulangi ucapannya. Rangkaian tindakan itu, bagaimanapun,
tidak membuat sistem saraf saya tertidur, sebagaimana yang ditawarkan oleh arti
dari asal kata “hipnotisme”, yaitu “neuro-hypnotism”.
Saya tetap sadar akan sekitar saya, dan saya tetap takut pada jarum suntik yang
dipegang oleh perawat laki-laki kenalan saya, yang saat itu mengasisteni Dokter
Andi.
Dokter
Andi terkejut dan terheran-heran. Ia mengatakan bahwa “lapisan-lapisan” yang
membentengi saya sangat tebal, sehingga tak mudah ditembus. Menurutnya pula,
belum pernah ada pasiennya yang tidak bisa dihipnoterapi. Kasus saya baginya
istimewa, karena menantang ilmu pengetahuannya mengenai hipnotisme.
Merasa
upayanya menghipnotis saya gagal, Dokter Andi mengulangi rangkaian tindakannya
mulai dari nol lagi. Lagi-lagi gagal! Saat itu, saya baru tersadar: Ini pasti
karena Latihan Kejiwaan telah mengisi saya, sehingga meskipun tidak saya
niatkan Latihan itu telah membentengi saya dari segala unsur yang bukan
ilahiah/alami. Dokter Andi berulang kali menekankan agar saya pasrah dan
ikhlas. Saran itu justru semakin “mengisi” energi Latihan Kejiwaan pada diri
saya. Di tengah terapi, anggota badan saya, yang sedari awal selalu dalam
posisi duduk, bahkan bergerak-gerak seperti menari dan berjoget—persis ketika
saya sedang Latihan Kejiwaan.
Saya ingin
sekali menjelaskan kepada Dokter Andi dan asistennya bahwa saya anggota SUBUD
yang aktif berlatih kejiwaan, yang konon tidak bisa dihipnotis, tetapi mulut
saya serasa tercekat. Akhirnya, saya melepas keinginan saya untuk menjelaskan. Saya
biarkan prosesnya berjalan alami. Saya ingin mendapatkan kenyataan.
Saya pun
kemudian memohon kepada Tuhan, dalam hati, agar si dokter dimampukan untuk
menghipnotis saya. Tapi, tiba-tiba saya tersadar dan “mendengar” suara dari
dalam, yang berkata, “Mengapa kamu tidak minta pada Tuhan Yang Menciptakanmu
agar diberanikan menghadapi jarum suntik? Minta padaNya agar kamu mampu melepas
ketakutanmu.”
Saya pun
melakukan apa yang diperintahkan suara batin saya. Tiba-tiba, semuanya berubah.
Saya menantang si asisten dokter untuk menaruh alat penyuntik di depan saya,
hal mana ia lakukan. Saya menyentuhnya, memegangnya, dan sambil tersenyum
memandangi alat penyuntik dengan jarum logam yang menghunus. Saya tidak merasa
ngilu melihat benda itu, tidak seperti sebelumnya. Saya yakin, saya ditolong
oleh Tuhan melalui Latihan Kejiwaan yang diwariskan Bapak Subuh. Pada akhirnya,
saya mengerti mengapa Bapak selalu menganjurkan “Latihan saja, Nak!” untuk
mampu menghadapi berbagai perasaan negatif.
Bagaimanapun,
saya menghargai usaha Dokter Andi dan asistennya untuk menyembuhkan saya. Saya
yakin pula bahwa mereka berdua merupakan kepanjangan tangan Tuhan untuk membuat
saya belajar mengenai diri saya sendiri dan mengenai kekuatan dari Latihan
Kejiwaan SUBUD yang saya tekuni. Puji Tuhan!©2019
Green Permata Residence, Jl. Pondok Cabe
III, Tangerang Selatan, 12 September 2019