“Membangun hubungan itu sulit. Memelihara hubungan itu sulit.
Merusak hubungan itu sangat mudah.”
(Anto Dwiastoro, 5 Januari 2015)
“Mulat
sarira angrasa wani—Melihat diri sendiri harus dengan rasa berani menilai
diri sendiri.” (Pitutur Luhur Budaya Jawa)
“Di hadapan Tuhan, kita ini bukan siapa-siapa,
tidak tahu apa-apa dan tidak bisa apa-apa.” (Brigadir Jendral TNI (Purn)
Soetriman Mangkusoebroto di teras selatan Wisma SUBUD Cilandak, 18 Januari
2015)
“Sabeja-bejane
wong kang lali, luwih beja wong kang
eling klawan waspada—Seberuntung-beruntungnya orang yang lupa diri, masih
lebih beruntung orang yang selalu ingat dan waspada.” (R. Ng. Ronggowarsito,
Serat Kalatida, Bab 8, dalam tembang
Sinom)
“Bagi saya, tidak penting seberapa banyak yang
kamu capai di masa lalu. Yang penting adalah seberapa banyak kamu berubah sepanjang
kurun waktu itu hingga saat ini.” (Colin L. Powell)
“Manusia butuh dicintai. Tetapi dengan mencintai, kita mendistribusi energi
positif kita ke lingkungan kita, yang akan membuat hidup kita lebih ringan,
bercahaya, dan bebas masalah.” (Anto Dwiastoro, 4 Februari 2015)
“Bila bayi bisa hidup di dan keluar sendiri dari
rahim ibunya berkat tuntunan Tuhan itu natural.
Kalau hidupnya di dunia mengikuti tuntunan orang tua, guru, pendeta, syekh
mursyid, motivator, suami/istri, teman, masyarakat, dan lain-lain yang
tergolong ‘sesama manusia’ itu namanya normal.
Lebih seringnya penderitaan kita disebabkan oleh keharusan menjadi normal, alih-alih natural.” (Anto Dwiastoro, 11 Februari 2015)
“Bila mencintai Kereta Api itu dosa, maka aku
tidak akan pernah mau tobat—If the love for trains were a sin, then I would
never want to repent.” (Anto Dwiastoro, 12 Februari 2015)
“Tak ada yang dikutuk untuk menderita seumur
hidup, kecuali ia sendiri yang menghendakinya.” (Dr. K. Sri Dhammananda Nayaka
Mahathera, "Be Happy: Mengatasi Takut dan Cemas dari Akarnya dan Bahagia
Dalam Segala Situasi". Jakarta: Yayasan Penerbit Karaniya, 2004; hlm. 15)
“Sejarah itu dipublikasikan untuk dipelajari
agar masa kini lebih baik daripada masa lalu. Tetapi, tidak sedikit yang mempublikasikan
sejarah lewat tulisan atau foto untuk sekadar menegaskan senioritas, atau
pengalaman panjang yang telah dilalui sesuatu atau seseorang dengan harapan
agar tercipta persepsi bahwa sesuatu atau seseorang itu hebat, atau pesan
sublim: ‘Jangan main-main lu ama gue. Gue lebih hebat karena gue udah lama di
bidang ini daripada lu!’.” (Anto Dwiastoro, 7 Maret 2015)
“Pengalaman, seberapa pun panjangnya, tidak berarti apa-apa bila itu
tidak mengubahmu menjadi orang yang lebih baik daripada sebelumnya.” (Anto
Dwiastoro, 14 April 2015)
“Benda—ketika di angan
ia terasa mewah. Tetapi ketika sudah di tangan ia terasa sampah.” (Anto
Dwiastoro, 24 April 2015)
“Pada akhirnya, yang
paling penting itu hubungan antar manusianya.” (Anto Dwiastoro, 25 April 2015)
“Seseorang baru bisa
dianggap kreatif bila ia mampu menjinakkan kuda liar imajinasi, agar semua
orang bisa menungganginya.” (Anto Dwiastoro, 28 April 2015)
“Sucikan dirimu melalui
perbuatan, bukan perkataan dan penampilan.” (Anto Dwiastoro, 24 Mei 2015)
“Dalam bisnis, paling tidak ada dua jenis risiko: risiko finansial dan risiko sosial. Bisnis-bisnis sepanjang
sejarah hanya bisa meminimalisasi risiko finansial, sedangkan risiko sosial-lah
yang sejatinya merupakan tantangan terberat. Karena kamu harus mengelola
hubungan-hubungan dengan berbagai pemangku kepentingan, yang tidak selalu dapat
terjalin dengan baik meski kamu membayar mereka dengan layak. Uang itu simpel
karena ia benda, sedangkan manusia itu kompleks karena ia makhluk hidup. Bukti
bahwa Daya Materi lebih mudah diatasi daripada Daya Jasmani.” (Anto Dwiastoro,
11 Juli 2015)
“Mencintai Tuhan tidak
mungkin kamu lakukan, selain hanya dengan mencintai ciptaanNya! Sungguh di luar
kemampuan manusia untuk menjadi kekasih Tuhan, karena kita banyak
kekurangannya, sedangkan Dia Maha Sempurna. Seorang kekasih mau melakukan apa
saja demi yang dicintainya. Lha, apakah kamu sanggup? Sedangkan diberi kasihNya
berupa ujian kesetiaan saja kamu mengeluh. Cintailah semua ciptaanNya, meski
tidak berbalas. Hanya dengan begitu cinta kamu padaNya tersalurkan.” (Anto
Dwiastoro, 12 Juli 2015)
“Jangan lakukan karena
kamu harus. Tetapi lakukan karena
kamu perlu.” (Anto Dwiastoro, 25
Juli 2015)
“Kalau kamu ingin
perubahan, lakukanlah perubahan. Tidak usah mengkritik atau memaki orang yang
menjanjikan perubahan tetapi mengingkarinya. Tidak ada gunanya dan mengotori
hatimu saja.” (Anto Dwiastoro, 25 Juli 2015)
“Bayangkan air dalam
botol. Kamu mempermasalahkan botolnya. Buntutnya, botol pun pecah dan isinya
tumpah. Terbuang percuma. Ketika cuaca panas, kamu kehausan. Apa yang akan kamu
tenggak? Botol itu tidak bisa memuaskan dahagamu. Air itu bisa. Lalu, kenapa
kamu mempermasalahkan wadahnya, dan bukan isinya?” (Anto Dwiastoro, 1 Agustus
2015)
“Batu saja dapat
hancur oleh tetesan air terus-menerus. Maka keteguhan hati seseorang dapat
engkau luluhkan dengan kelembutanmu. Ikuti saja tuntunanNya. Berlakulah sabar,
ikhlas, dan tawakal selalu dalam semua langkahmu untuk mewujudkan apa yang kamu
impikan untuk kamu capai.” (Anto Dwiastoro, 7 September 2015)
“Kalau kita sudah
menginsafi kekuasaan Tuhan atas segala sesuatu, bahwa Dia Maha Mengatur, dan
segala sesuatu ada atau terjadi atas kehendakNya, lantas apa lagi yang kita
persombongkan? Apa lagi yang kita banggakan? Apa lagi yang kita permarahkan
atau dendamkan?” (Obrolan dengan saudara SUBUD, Johan Frisman, di teras rumah
tempat Latihan Kejiwaan Kelompok Tebet digelar—11 September 2015)
“Ketika kamu sudah
berada di posisi terdepan, saatnyalah kamu menengok ke belakang dan melihat
kenyataan bahwa berkat kehendak Tuhanlah kamu bisa berada di posisi sekarang.
Dengan begitu, kamu bisa merasakan damai dalam posisi di depan atau di
belakang.” (Anto Dwiastoro, 12 September 2015)
“Jangan sedih atau kecewa jika orang lain sulit memahami
sikap dan perilaku kamu. Manusia itu memang sulit dipahami. Hanya Penciptanya
yg memahami ciptaanNya sepenuhnya. Semakin mudah dipahami, maka kamu berhenti
jadi manusia.” (Anto Dwiastoro, 1 Oktober 2015)
“Tidak ada Anto baik
atau Anto buruk. Yang ada hanya Anto
sejati. Jadilah dirimu sendiri.”
(Anto Dwiastoro, 5 Oktober 2015)
“Jangan mengatur-atur Tuhan tentang bagaimana Dia mewujudkan
doamu. Tetapkan saja satu permintaanmu kepadaNya, selebihnya serahkan padaNya.
Jangan berdoa ‘Ya Tuhan, beri aku proyek yang banyak, yang akan memberiku uang
yang banyak buat aku beli tiket kereta api mudik ke Surabaya.’ Berdoalah yang
simpel dan tidak mengatur-aturNya: ‘Ya Tuhan, aku ingin mudik ke Surabaya.’.
Bagaimana Dia akan mewujudkannya untukmu, serahkan saja semuanya kepadaNya.”
(Anto Dwiastoro, 6 Oktober 2015)
“Jangan mencintai seseorang terlalu hebat; habis-habisan
sampai seluruh energimu terkuras ke orang itu. Sebab kamu akan mudah menjadi
munafik. Lihat saja: begitu ia melakukan hal-hal yang tidak sejalan dengan
nilai-nilai yang kamu anut, kamu akan membencinya sedemikian rupa sampai kamu
lupa bahwa kamu pernah mencintainya sedemikian rupa, dan berharap kamu tidak
pernah mengenalnya. Serahkan cintamu pada seseorang kepada Sumber Cinta dan
biarkan Dia yang mengatur dan mengendalikan perasaanmu itu.” (Anto Dwiastoro, 7
Oktober 2015)
“Baik belum tentu benar. Buruk belum tentu salah.” (Anto
Dwiastoro, 10 Oktober 2015)
“Orang
lain akan tampak membosankan bila kamu memandangnya dengan standar nilai-nilai
yang kamu anut. Hidup akan terasa lebih ceria dan membahagiakan bila kamu
selalu memandang orang lain sebagaimana mereka adanya.” (Anto Dwiastoro, 12 Oktober 2015)
“Sadarilah bahwa ketika kamu menjumpai seseorang yang
perilakunya membuatmu memandangnya dengan kebencian, sesungguhnya dirimulah
yang bermuatan energi negatif yang menarik orang itu masuk ke dalam hidupmu.”
(Anto Dwiastoro, 22 Oktober 2015)
“Hidup maupun sejarah bukanlah untuk orang-orang yang
mencari kesederhanaan dan konsistensi.” (Jared Diamond, dalam Collapse: Runtuhnya Peradaban-peradaban
Dunia (Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia, 2014), hlm. 467)
“Tantangan terberat dalam mencintai orang lain adalah
menjadi diri sendiri.” (Anto Dwiastoro, 23 Oktober 2015)
“Tahukah kamu apa yang menyebabkan banyak orang tidak siap
melangkah di jalan spiritual? Mereka tidak siap karena pikiran mereka penuh
dengan nilai-nilai yang menjadi landasan bagi mereka untuk menghakimi orang
lain atas dasar benar-salah. Alih-alih melihat diri sendiri, mereka melihat
orang lain. Spiritualitas tumbuh atas dasar kesejatian diri—menjadi diri
sendiri. Mengada apa adanya dan bukan mengada-ada.” (Anto Dwiastoro, 24 Oktober
2015)
“Tidak usah risau
bila ada orang(-orang) yang membenci atau menjauhimu. Tak mungkin seseorang
membencimu kecuali ia benar-benar mencintaimu. Itu sudah menjadi hukum alam.”
(Anto Dwiastoro, 25 Oktober 2015, pukul 07.44 WIB)
“Kecuali kamu punya
kepentingan pribadi, kamu seharusnya tidak bereaksi berlebihan terhadap
kritikan maupun pujian orang lain terhadap dirimu.” (Anto Dwiastoro, 25 Oktober
2015, pukul 23.07 WIB)
“Daripada mengobral kata ‘cinta’, lebih baik kamu mengumbar
rasa cinta. Kata ada batasnya, sedangkan rasa menafikan ruang dan waktu.” (Anto
Dwiastoro, 30 Oktober 2015)
“Hal terbaik dari berserah diri adalah bahwa kamu menjadi
tak terkalahkan. Meski hantaman dan serangan menyerangmu dari segala penjuru,
takkan menggoyahkanmu. Doa penuh nafsu dari orang-orang takkan mengusikmu.
Karena Tuhan telah mengambil alih beban yang kamu serahkan padaNya. Kejayaan
selalu berpihak pada mereka yang berserah diri.” (Anto Dwiastoro, 30 Oktober
2015)
“Ekspresi ‘cinta yang membingungkan’ memang membingungkan.
‘Cinta’ itu istilah buatan manusia untuk menamai fenomena rasa Ilahiah yang tak
berbatas dan tak terjelaskan dengan kata-kata. Hanya manusia yang membatasi—dan
mendapat kesulitan karenanya—bagaimana dan kepada siapa cinta itu harus
diberikan.” (Anto Dwiastoro, 31 Oktober 2015)
“Jangan berkompromi dengan kebenaran yang diperoleh dari
orang lain atau dari literatur. Sebaik-baik kebenaran adalah yang kamu pelajari
dari pengalamanmu sendiri.” (Anto Dwiastoro, 31 Oktober 2015, pukul 16.17 WIB)
“Sebuah pengalaman spiritual akan terdegradasi nilainya bila
diceritakan secara lisan atau tulisan. Perbendaharaan kata yang ada dalam
bahasa apa pun tak pernah cukup untuk mengungkap letupan rasa yang menyertaimu
ketika engkau melalui pengalaman itu.” (Anto Dwiastoro, 1 November 2015, pukul
23.40)
“Bila setiap langkahmu engkau nilai benar-salahnya,
baik-buruknya, engkau tidak akan pernah sampai di tujuanmu. Sambutlah setiap
langkahmu dengan sukacita, maka engkau dapat mencapai Pencerahan saat ini
juga.” (Anto Dwiastoro, 4 November 2015)
“Sebaik-baiknya guru adalah dirimu sendiri. Dirimu mengerti
kamu dari A sampai Z, kelemahan dan kekuatanmu, kekurangan dan kelebihanmu,
sejatinya engkau dan arah yang engkau tuju. Dia tahu pelajaran apa dan kapan
tepatnya harus disampaikan ke kamu. Dan dia mengajak, bukan mengajar
kamu.” (Anto Dwiastoro, 4 November 2015, pukul 08.39 WIB)
“Engkau telah merasakannya dan menyadarinya sendiri selama
ini bahwa semua karya tulismu sejatinya merupakan senandika. Dari Tuhan, oleh
kamu, dan untuk kamu.” (Anto Dwiastoro, 6 November 2015)
“Serah diri biar
hidup tidak membuatmu resah diri.”
(Anto Dwiastoro, 7 November 2015)
“Persistensi itu
bagus. Lebih bagus lagi tanpa tensi.”
(Anto Dwiastoro, 7 November 2015)
“Hidup itu seperti teka-teki silang—kadang mendatar, kadang
menurun. Tetapi bila kamu isi hidupmu dengan kebenaran, kamu akan mendapat
kejayaan.” (Anto Dwiastoro, 11 November 2015)
“Benar itu milik manusia, Kebenaran milik Tuhan.” (Anto
Dwiastoro, 11 November 2015 pukul 08.05)
“Tenangkan dirimu selalu agar riak-riak liar kehidupan
mengimbangi gaya gravitasimu.” (Anto Dwiastoro, 11 November 2015 pukul 11.35)
“Tuntunan Tuhan tidak pernah salah. Pikiran kamulah yang
salah memaknainya.” (Anto Dwiastoro, 11 November 2015, pukul 21.23 WIB)
“Kalau kamu merasa sembahyangmu terusik oleh keramaian di sekitarmu,
jangan salahkan sekitarmu. Tapi, tenangkan pikiran dan hatimu yang ramai oleh
segala sesuatu selain Dia.” (Anto Dwiastoro, 15 November 2015)
“Hanya orang bodoh yang memaksakan prasangka buruknya, yang berdasarkan
secuil pengetahuan teoritisnya
tentang sesuatu, pada mereka yang mengetahui banyak tentang sesuatu itu
berdasarkan pengetahuan empiris
mereka.” (Anto Dwiastoro, 16 November 2015)
“Waspadalah, kepuasan yang kamu rasakan atas hasil dari perkataan atau
perbuatanmu, pikiran atau perasaanmu bisa jadi hanya nafsu yang tanpa kamu
sadari menyeretmu ke jurang kenistaan. Bersikap sewajarnya saja, karena toh
hasil itu kamu dapatkan atas kehendakNya.” (Anto Dwiastoro, 16 November .2015
pukul 03.32 WIB)
“Luka hanya menunjukkan di mana kita pernah berada, tetapi tidak
mengarahkan ke mana kita harus pergi.” (Criminal
Minds, FOX, S S010 Eps 12—16 November 2015 pukul 09.10 WIB.)
“Kalau kamu meragukan kemampuan orang lain—bahwa ia bisa berubah dari
keadaannya saat ini—maka sesungguhnya kamu meragukan kemampuanmu sendiri. Dan
meragukan kemampuanmu sendiri adalah tanda lemahnya imanmu.” (Anto Dwiastoro, 16
November 2015 pukul 16.38 WIB)
“Menjadi dirimu sendiri memudahkanmu menjadi kreatif. Itulah
sebabnya ide-ide hebat lahir di toilet. Karena di toilet kamu sendirian dan
menjadi dirimu sendiri.” (Anto Dwiastoro, 19 November 2015)
“Orang biasa memperhatikan apa yang diucapkan orang lain dan
memetik ucapan itu sebagai pedoman untuk dirinya. Orang luar biasa
memperhatikan ucapannya sendiri dan menjadikannya pedoman untuk dirinya sendiri
maupun orang lain.” (Anto Dwiastoro, 19 November 2015 pukul 04.51)
“Segala sesuatu memiliki vibrasi. Kamu hanya
perlu merasakannya agar kamu berjumbuh dengan segala sesuatu.” (Anto Dwiastoro,
20 November 2015)
“Sampaikan perasaanmu dengan bebas,
bukan dengan beban. Perasaan
positif—seperti cinta—yang kamu sampaikan kepada seseorang dengan perasaan yang
terbebani hanya akan menghilangkan positivitas itu dan merusak dirimu. Jadilah
dirimu sendiri dan ungkapkan perasaanmu dengan bebas, tanpa beban. Ketika kamu
berserah diri kepadaNya, meski dunia membencimu atas perasaan sejati yang kamu
miliki, langkahmu menjadi ringan karena Tuhan membantu memikul bebanmu.” (Anto
Dwiastoro, 22 November 2015)
“Ya, semua akan indah pada waktunya. Sudah pasti itu. Hanya saja jam
kita kebanyakan jam karet. Waktu kita selalu ketinggalan jauh dari jamnya
Tuhan. Dan kebanyakan orang juga hanya membukakan pintu bagi kasih-sayangNya
pada waktu-waktu 'ibadah ritual' saja.” (Anto Dwiastoro, 23 November 2015 pukul
15.55)
“Di sini, di hati
ini, memenuhinya adalah rinduku padamu
Di sana, di alam semesta, vibrasi Cinta Agung menjangkaumu
Di sini, di saat yang bernilai ini, aku menyalurkan Cinta itu ke arahmu...” (Anto Dwiastoro, 25 November 2015 pukul 05.26)
Di sana, di alam semesta, vibrasi Cinta Agung menjangkaumu
Di sini, di saat yang bernilai ini, aku menyalurkan Cinta itu ke arahmu...” (Anto Dwiastoro, 25 November 2015 pukul 05.26)
“Jalan spiritual membuat kita menjadi diri sendiri, bukan menjadi orang beriman atau baik menurut
nilai-nilai bikinan manusia berdasarkan gagasan-gagasan memetis. Menjadi orang
beriman atau baik merupakan produk sampingan dari laku spiritual. Menjadi diri
sendiri berarti hidup secara sadar di saat ini.” (Anto Dwiastoro, 27 November
2015, pukul 06.45 WIB)
“Aku mencintaimu pada setiap napas yang kau tarik. Kau
mencintaiku pada setiap napas yang kau embuskan.” (Anto Dwiastoro, 27 November
2015)
“Kalau kamu merasa uang dapat membahagiakanmu, maka ia
takkan pernah cukup bagimu. Kamu akan mengikuti ajakannya untuk terus berusaha
menambahnya. Tapi kalau kamu merasa cintaNya dapat membahagiakanmu, maka Dia
akan melipatgandakannya bagimu setiap kali kamu berserah diri kepadaNya.” (Anto
Dwiastoro, 28 November 2015)
“Kalau kamu berkesadaran, ketika kamu menyerang orang lain
dengan pukulan atau kata-katamu, maka kamu tahu bahwa sesungguhnya kamu sedang
memukuli atau mengata-ngatai dirimu sendiri. Cepat atau lambat itu akan
berhimpun menjadi penyakit yang merusak kesehatan lahir dan batinmu.
Sebaliknya, ketika kamu mencurahkan cinta kepada orang lain, sejatinya kamu
sedang mencintai dirimu sendiri. Tubuhmu bereaksi, memancarkan kesehatan
sempurna.” (Anto Dwiastoro, 29 November 2015)
“Kumasuki hatimu dengan setitik terang
Yang dengannya kutulis puisi satu Kata memenuhi alam semesta
Seiring embus napasku panjang menjangkau damai untukmu:
Allah...” (Anto Dwiastoro, 29 November 2015, pukul 12.15
WIB)
“Kita lahir sebagai diri sendiri dan mati sebagai diri
sendiri. Mengapa pula hidup sebagai orang lain?” (Anto Dwiastoro, 30 November
2015)
“Cinta itu tidak menyakiti. Yang menyakiti itu hati yang
bermuatan nafsu, makanya ketika cinta pergi yang sakit adalah hatimu. Cintai
orang lain dengan jiwamu, jangan hatimu. Jiwa tidak pernah sakit, karena ia
dalam genggaman tanganNya.” (Anto Dwiastoro, 30 November 2015)
“Satu-satunya cara untuk mampu terus mencintai orang yang
telah menyakiti hatimu adalah memaafkannya dengan tulus. Saat itulah, Tuhan
mengisi hatimu dengan cintaNya yang kekal.” (Anto Dwiastoro, 2 Desember 2015)
“Ketahuilah, kalau kamu mencintai seseorang dengan pamrih
100%, maka kelak ketika kamu mengakhiri hubungan dengannya kebencianmu padanya
akan 100%—dan kebencian itu akan sulit kamu atasi. Kalau kamu mencintai
seseorang tanpa pamrih, kedalaman cintamu padanya akan terpelihara bahkan
ketika kamu sudah tidak berhubungan lagi dengannya.” (Anto Dwiastoro, 3
Desember 2015)
“Ketahuilah, kebencian itu menularkan sifat-sifat negatif
orang yang kamu benci ke dirimu. Kamu akan mencerminkan sikap dan perilaku
persis sama dengan dia. Itulah yang menjelaskan, antara lain, mengapa orang
yang orang tuanya bercerai akan mengalami perceraian pula dalam perjalanan hidupnya,
dan begitu seterusnya sampai keturunannya yang kesekian—semata karena ia
membenci salah satu atau kedua orang tuanya lantaran perceraian itu. Itu
merupakan hukum Alam yang untuk menghindarinya hanya dibutuhkan satu hal:
Jangan membenci sesamamu!” (Anto Dwiastoro, 4 Desember 2015 pukul 23.16 WIB)
“Berpikir dan bertindaklah seperti anak kecil dengan tingkah
polosnya. Anak kecil—kecuali yang dimanja orang tuanya—akan menangis sebentar
ketika jatuh, tapi akan segera berdiri dan berlari-lari lagi, seolah tidak ada
yang perlu ia risaukan. Risau itu
ibarat pisau: ia akan mengiris
semangatmu sedikit demi sedikit sampai tidak bersisa lagi, sehingga ketika kamu
jatuh kamu emoh bangkit lagi. Serahkan risaumu padaNya, daripada kamu
mendekapnya terus dan membiarkannya mengiris semangat juangmu.” (Anto
Dwiastoro, 5 Desember 2015)
“Kata mereka itu, hidup memberi kita pilihan. Tapi selalu
adalah ‘pilih salah satu‘ dari dua
atau lebih pilihan—itu hukum bikinan manusia yang berasal dari pikirannya,
bukan hukum alam. Kenyataannya, kamu bisa memilih salah dua, salah tiga, salah
empat, dan seterusnya. Kalau kamu bingung memilih di antara pilihan-pilihan
yang ada, pilihlah semua atau beberapa di antaranya, sesukamulah. Kalau kamu
bingung antara memilih spaghetti dan gulai, makan saja spaghetti siram kuah
gulai. Itu tidak akan membunuhmu atau membuatmu kelihatan bodoh. Yang bodoh itu
adalah ketika kamu merasa ‘tidak ada pilihan’.” (Anto Dwiastoro, 6 Desember
2015)
“Berpikir positif itu bukan cuma terhadap kejadian atau
perbuatan negatif orang lain terhadap dirimu. Tapi juga terhadap apa yang kamu
makan, terhadap semua aktivitasmu, terhadap semua tindakan-tindakanmu bagi diri
sendiri maupun orang lain. Yang kamu makan dengan pikiran positif tidak akan
merusak tubuhmu; aktivitas-aktivitasmu tidak akan merugikanmu; dan
tindakan-tindakanmu tidak akan mencelakakanmu maupun orang lain yang
terhadapnya kamu bertindak.” (Anto Dwiastoro, 9 Desember 2015)
“Dengan bersabar, kamu dapat dengan cepat memahami dan
menerima apa-apa yang tadinya tidak dapat kamu pahami dan terima lantaran
nafsumu tidak bersabar dalam menilai kenyataan di permukaan dan di bawah
permukaan.” (Anto Dwiastoro, 11 Desember 2015, pukul 20.00 WIB)
“Sampaikan kepada Tuhan apa yang kamu cita-citakan. Setelah
itu, siapkan mentalmu. Mengapa? Karena seringnya, cara Tuhan mewujudkan apa
yang kamu cita-citakan tidak sejalan dengan apa yang kamu bayangkan; yang kalau
kamu tidak sabar, kamu akan kecewa padaNya dan meninggalkanNya.” (Anto
Dwiastoro, 11 Desember 2015 pukul 21.18 WIB)
“Segala sesuatu dalam hidupmu terjadi bukan tanpa alasan—dan
alasannya baik untukmu, walau kamu kadang merasa tersiksa. Setiap kali kamu
merasa keburukan orang lain membuatmu menderita dan kamu marah karenanya,
camkanlah hal ini: Setan pun adalah ciptaan Tuhan.” (Anto Dwiastoro, 12
Desember 2015)
“SENANDIKA—SENANtiasa DIKaruniai Allah.” (Anto Dwiastoro, 12
Desember 2015)
“Usahakan agar tidak berpikir negatif. Terutama tentang dirimu
sendiri.” (Anto Dwiastoro, 14 Desember 2015)
“Jika bagian belakang dihadapkan ke depan, belakang akan
menjadi depan. Depan-belakang hanyalah sudut pandangmu. Jadi, setiap kali kamu
mengalami kemunduran dalam hidupmu lihatlah ke belakang—hadapkan dirimu ke arah
mundurmu. Niscaya kamu akan kembali maju.” (Anto Dwiastoro, 16 Desember 2015)
“Waspadalah terhadap jiwa-jiwa yang sakit di sekitarmu.
Sebagian dari mereka berbalut kebaikan atau kesucian. Cegah dirimu dari menilai
apa yang ada di permukaan—karena kebenaran hakiki ada di bawah permukaan.”
(Anto Dwiastoro, 19 Desember 2015)
“Setiap orang memiliki sisi gelap dalam dirinya. Namun,
tersedia senter Illahi bagi kamu untuk menyusuri sisi gelap itu dan menemukan
penyebabnya sekaligus mengembalikan terangnya. Baterai senternya adalah
penyerahan dirimu dengan sabar, ikhlas, dan tawakal.” (Anto Dwiastoro, 21
Desember 2015)
“Orang kreatif itu tidak dilahirkan. Mereka
diciptakan—diciptakan oleh diri mereka sendiri yang tidak kenal kata ‘berhenti’
dalam belajar. Setiap detik bagi mereka adalah momen penciptaan.” (Anto
Dwiastoro, 21 Desember 2015)
“Yang berbahaya adalah kata-kata yang gagal mengurai
kedalaman maknanya. Bukan oleh sebab kata-kata itu sendiri, melainkan oleh
pemahaman yang belum sampai.” (Anto Dwiastoro, 27 Desember 2015)
“Pencerahan itu bukan datang dari orang lain, melainkan dari
sampainya jiwamu pada pemahaman atas apa yang disampaikan orang lain. Biar
seribu kata disampaikan kepadamu, bila jiwamu belum sampai pada pengertiannya,
maka kamu tidak akan tercerahkan. Paling banter, hanya pikiran dan nafsumu yang
terpuaskan.” (Anto Dwiastoro, 28 Desember 2015)