Monday, April 14, 2014

Apa Dampak Dari AD/ART Subud serta Apa Arti Testing?

SAYA hanya ingin tahu, apakah Anggaran Dasar/Anggaran Rumah Tangga (AD/ART) organisasi Subud di seluruh dunia kurang kuat seperti di Indonesia. Ini terkait dengan usulan Palangkaraya-Rungansari sebagai salah satu calon tempat penyelenggaraan Kongres Dunia 2018 yang akan diajukan dalam Kongres Dunia 2014 di Puebla, Meksiko. Awalnya, Palangkaraya-Rungansari sempat diujicobakan dalam Kongres Nasional Subud Indonesia tahun 2009 untuk diajukan sebagai calon tempat penyelenggaraan Kongres Dunia 2010, dan keluar sebagai pemenang. Namun sayang, usulan itu terlambat diajukan, dan dikesampingkan dengan catatan: akan diajukan kembali pada Kongres Dunia 2014. Saya jadi teringat bagian ini karena saya pernah menjadi Wakil Sekretaris Nasional Pengurus Nasional Subud Indonesia tahun 2009-2011, yang bersama Suryadi Haryono menyusun usulan tertulis.

Tim untuk persiapan presentasi dan segala sesuatu yang berhubungan dengannya dibentuk dalam Kongres Nasional Subud Indonesia pada bulan Februari 2013 di Rungansari, yang dipimpin oleh Suryadi Haryono, yang telah bekerja keras untuk itu. Bahkan Gubernur Kalimantan Tengah telah memberikan dukungannya terhadap upaya tersebut. Namun, upaya keras yang dilakukan oleh tim, yang menggabungkan anggota dari Cilandak dan Palangkaraya-Rungansari, ditentang oleh Ketua Pengurus Nasional Subud Indonesia saat ini (2013-2015), Muhammad Ridwan, dalam apa yang disebut sebagai “Kongres Luar Biasa” pada bulan Februari 2014, dengan mengatakan bahwa Pengurus Nasional tidak terlibat dalam upaya tersebut dan dengan demikian diambil alih oleh ketua yang bertindak atas namanya, dan mencopot Suryadi sebagai ketua tim.

Pelanggaran berat terhadap AD/ART PPK Subud Indonesia dan pengabaian hasil testing sebelumnya (yang dilakukan oleh dewan pembantu pelatih nasional pada saat Kongres Nasional 2009) terjadi pada Rapat Nasional 14-16 Maret 2014 di Adipuri Wisma Subud Cilandak, Jakarta, ketika Ketua Umum Pengurus Nasional Subud Indonesia bersikeras bahwa untuk saingan Palangkaraya-Rungansari ia mengusulkan Jakarta, Jogjakarta dan Denpasar juga.

Mengabaikan fakta bahwa pada tahun 2009 Palangkaraya-Rungansari telah ditetapkan sebagai calon tempat Kongres Dunia 2014 atau 2018 sebagai hasil dari testing resmi yang dilakukan oleh Dewan Pembantu Pelatih Nasional (DPPN) saat itu, Ketua Umum Pengurus Nasional saat ini bersikeras bahwa testing harus dilakukan kembali, lagi-lagi oleh DPPN (saat ini), yang koordinatornya dipilih melalui testing pada Kongres Nasional 2009. Melalui testing yang dilakukan sedemikian rupa (PPN men-testing gulungan kertas yang berisi nama-nama calon tempat penyelenggaraan yang dimasukkan dalam empat gelas), Jogjakarta keluar sebagai pemenang.

Saya beserta banyak anggota Subud Indonesia lainnya menyesalkan bahwa anggota dan Pengurus Daerah (Pengda) V Jawa Tengah dan Yogyakarta bungkam saja tentang pelanggaran terhadap pedoman Bapak dalam menjalankan organisasi Subud; di antara mereka ada anggota yang sudah tua yang dekat dengan Bapak. Ada desas-desus tentang anggota dan pengurus Pengda V Jawa Tengah dan Yogyakarta yang disuap—biaya mereka untuk datang ke Jakarta untuk menghadiri Musyawarah Nasional itu sebenarnya ditanggung oleh Ketua Pengurus Nasional—jadi tidak heran tidak ada seorang pun dari daerah yang mengatakan sepatah kata pun tentang hal itu. Ketika saya mengunggah ini di Grup Facebook Subud Indonesia, seorang anggota dari Yogyakarta mengatakan bahwa saudara-saudarinya hanya menjaga kerukunan dan menghormati keputusan ketua! Saya pikir “ikut campur tetapi tidak mengerti” bukanlah budaya Subud.

Siapa saja yang memahami garis besar pedoman yang dibuat oleh Bapak, apalagi AD/ART yang pada umumnya dipersyaratkan oleh negara, tentu akan melihat bahwa keputusan-keputusan yang diambil oleh Ketua Umum Pengurus Nasional Subud Indonesia saat ini tidak “bersifat Subud”, sarat dengan kepentingan pribadi (ditambah lagi keinginan Ketua Umum untuk mencalonkan diri sebagai “Ketua Umum WSA” demi mengamankan tindakannya) dan tidak menghormati Kongres sebagai satu-satunya lembaga yang memiliki kedaulatan penuh bagi para anggotanya—dan bukan singgasana kekuasaan Ketua Umum yang saat ini sedang terang-terangan menunjukkannya.

Pertanyaan saya, apa gunanya ada AD/ART kalau terus-terusan dilanggar? Dan apa gunanya melakukan testing atas sesuatu sebelum dilaksanakan? Apakah sekarang sudah tidak ada lagi yang menghormati Bapak?!©2014


Kalibata Selatan II, Pancoran, Jakarta Selatan, 15 April 2014

Monday, April 7, 2014

Cengkeraman Virus Akalbudi


SEBAGAI konsultan branding, saya mendapat informasi perkembangan terbaru di industri komunikasi bahwa “merek” (brand) sudah tidak lagi relevan dengan kekinian. Yang menjadi fokus analisis para praktisi branding maupun pemasar adalah memetika. Ketika hal ini mengemuka sekitar tahun 2012 lalu, saya pikir apakah mungkin Indonesia akan segera merangkul fenomena memetika dalam komunikasi pemasaran dan korporat, sebagaimana Amerika Serikat dan Eropa lewat merek-merek mereka yang sudah mendunia. Ternyata tahun 2014 hal itu menjadi kenyataan: Memetika marak lewat kampanye calon presiden (capres) Republik Indonesia!            

Walaupun istilah “meme” sendiri jarang mengemuka, aksi-aksi penyebaran meme marak di masyarakat Indonesia saat ini. Istilah “meme” pertama kali diciptakan dan dikemukakan oleh ahli biologi evolusioner dari Universitas Oxford dan seorang Darwinian asal Inggris, Richard Dawkins, dalam bukunya The Selfish Gene (1976).

Apa sebenarnya meme itu? Bagi yang belum ngeh dengan istilah itu, tinggal periksa diri saja: Apakah Anda dengan mudah menerima berita-berita seputar kedua capres tanpa dicek benar tidaknya? Kalau iya, berarti Anda sudah dicengkeram meme! Meme adalah “virus akalbudi”; virus yang menular dari otak ke otak, menjangkiti pikiran kita, lalu membuat kita menyebarkannya. Virus akalbudi adalah segala gagasan, pemikiran, konsep, dan ideologi yang berebut tempat di kepala kita, lalu membuat kita menularkannya. Kepalsuan bisa dianggap sebagai kebenaran umum, dan sebaliknya. Begitulah meme itu bekerja!

Buku Virus Akalbudi karya Richard Reeves Brodie, sang kreator asli Microsoft Word, ini saya baca pada tahun 2006, walaupun pertama kali terbit versi bahasa Inggrisnya tahun 1996. Versi terjemahan Bahasa Indonesianya diterbitkan oleh Kepustakaan Populer Gramedia. Buku ini merupakan buku pertama yang membahas meme—virus akalbudi yang membentuk segala pemikiran dan peradaban manusia. Highly recommended bagi praktisi periklanan, branding maupun mereka yang ingin membentengi diri dari political branding yang menyesatkan!©2014

 

Jl. Kalibata Selatan II, Pasar Minggu, Jakarta Selatan 8 April 2014