Saya bersama Yakobus, warga Kampung Aurina II, Distrik Airu, Kabupaten Jayapura, Papua, di tengah hutan hujan Mamberamo. Perhatikan perlengkapan berburu di tangan Yakobus yang masih primitif. |
DESEMBER 2008, saya mendapat pengalaman yang kelak saya disadarkan akan
keunikannya. Pada awal bulan itu, saya mendapat penugasan ke daerah di KalimantanTimur yang dekat dengan perbatasan RI-Malaysia, untuk syuting profil video
sebuah perusahaan kontraktor pertambangan. Tiga hari saya bersama tim berada di
pedalaman, di tengah hutan yang di beberapa titiknya muncul penambangan
batubara terbuka (open pit coal mining)
dan perkebunan sawit.
Baru pertama kali itu saya benar-benar menyaksikan dengan mata kepala
sendiri yang namanya hutan hujan (rainforest).
Dan di tengah hutan itu saya merayakan ulang tahun saya yang ke-41 keesokan
harinya. Klien saya secara khusus menggelar pesta untuk saya pada malam
harinya, setelah sorenya mereka memberi saya kado spesial: Peledakan sebuah
bukit yang mengandung batubara. Ketika saya membagi pengalaman ini di akun
Facebook saya, banyak teman yang menyatakan iri—merayakan ulang tahun di tengah
hutan merupakan sesuatu yang ternyata diimpikan banyak orang!
Tetapi saya saat itu tidak menyadari di mana letak keistimewaannya. Saya
bukan pecinta lingkungan dan tidak menaruh perhatian yang serius pada
kelestarian lingkungan hidup pada saat itu. Bila saat itu saya memiliki
kepedulian terhadap lingkungan, tentu penambangan terbuka dan peledakan bukit
yang saya ceritakan di atas akan membuat hati saya pilu.
Pada bulan Desember 2009, saya mendapat undangan dari Bupati Jayapura, Papua, untuk bersama beliau dan jajarannya serta wartawan dari berbagai media lokal dan nasional mengunjungi distrik paling terpencil dari Kabupaten Jayapura, yaitu Distrik Airu, yang hanya dapat dicapai dengan berperahu motor selama delapan hingga sepuluh jam menyusuri Sungai Nawa. Sungai Nawa merupakan daerah aliran sungai dari sungai terlebar dan terbesar dalam volume air di Indonesia, yaitu Mamberamo.
Perjalanan panjang dengan perahu bermotor yang panjang namun sempit—selebar
badan saya—itu melewati kawasan lembah Mamberamo yang merupakan rumah bagi
hutan hujan yang sangat luas dan keanekaragaman hayati yang luar biasa. Di tempat
itulah pertama kali saya menyaksikan secara langsung burung kakaktua dan elang botak, rusa bertanduk (antler) dan babi hutan di habitat aslinya, dan bukan di kebun binatang.
Pengalaman di Mamberamo ini membuka pintu kesadaran saya akan pentingnya
hutan, dan bahwa masa depan sebuah bangsa ditentukan oleh kelestarian hutannya.
Kesadaran itu membuat saya mengerti mengapa perayaan ulang tahun saya di tengah
hutan Kalimantan Timur menimbulkan iri dari teman-teman saya; ternyata karena
hutan itu memang istimewa. Selain sudah tergolong langka di dunia, hutan hujan
itu menyediakan apa saja yang dibutuhkan manusia untuk hidup. Hutan hujan bahkan
dijuluki “pabrik farmasi terbesar di dunia”, karena lebih dari seperempat
obat-obatan alami ditemukan di situ.
Rasanya tidak berlebihan bila saya menyebut hutan itu masa depan kita. Tiada
hutan, tiada masa depan! Saya memperoleh wawasan yang kian mendalam dan luas tentang
manfaat hutan bagi kehidupan manusia setelah dua tahun belakangan ini terlibat
sebagai penulis buku tentang perusahaan-perusahaan peraih PROPER (Program Penilaian
Peringkat Kinerja Perusahaan dalam Pengelolaan Lingkungan Hidup) Emas dari
Kementerian Lingkungan Hidup Republik Indonesia.
Hutan itu sarat daun hijau yang memproduksi klorofil atau zat hijau daun. Klorofil itu mengandung nutrisi-nutrisi yang membantu meningkatkan jumlah dan kualitas sel darah merah dalam tubuh, sehingga meningkatkan sirkulasi dan produksi energi yang lebih banyak. Selain itu, kandungan magnesium dalam klorofil membantu mengangkut oksigen ke semua sel dan jaringan dalam tubuh kita, dan juga merangsang sel-sel darah merah, yang meningkatkan pasokan oksigen. Entah apa jadinya kelangsungan hidup makhluk di bumi ini bila hutan hujan terpangkas habis.
Membayangkan bumi ini berkurang koleksi hutan hujannya sungguh mencemaskan
saya. Terbayang masa depan, paling tidak, bangsa Indonesia tenggelam dalam
wabah penyakit mematikan yang ditimbulkan oleh kekurangan klorofil. Harapan saya
mulai beroleh dayanya kembali setelah menyaksikan—lewat pekerjaan saya menulis
buku tentang perusahaan-perusahaan peraih PROPER Emas—antara lain, upaya-upaya dunia korporasi dalam perlindungan keanekaragaman hayati. Berbagai
upaya yang ditempuh Greenpeace South East Asia (GPSEA) juga mengembalikan nyawa
harapan saya.
Program Protect Paradise dari GPSEA,
yang bermisi perlindungan dan pelestarian hutan dan lahan gambut di Indonesia, memiliki
potensi untuk membuat keanekaragaman hayati di negeri ini tumbuh secara alami
dan berkelanjutan. Dengan demikian, akan tumbuh harapan bangsa Indonesia akan
masa depan yang lebih cerah dengan insan-insan yang memiliki kualitas kesehatan
yang optimal, yang mampu berkontribusi bagi pembangunan berkelanjutan dalam
bidang ekonomi, sosial dan lingkungan hidup negeri ini!©
Kalibata,
Jakarta Selatan, 7 Februari 2014