“Baik dan buruk
tidaklah sebaik dan seburuk yang terlihat.”
~Samuel Taylor Coleridge
IBU saya (1 Agustus 1933-29 September 1996) lahir
di Langsa, Aceh, dan sempat melewati masa kecil di Lhokseumawe sebelum akhirnya
menetap hingga dewasa di Medan, Sumatra Utara. Gaya bicara beliau terdengar
keras dan bernada galak, walaupun sesungguhnya beliau baik dan ramah.
Bagaimanapun, bagi orang-orang yang dibesarkan di budaya Jawa Tengah yang
halus, seperti ayah saya dan adik-adiknya, gaya bicara ibu saya dianggap kasar.
Hal tersebut sering menimbulkan salah paham: adik-adik ayah saya menganggap ibu
saya keras dan suka marah-marah. Mengikuti tolok ukur budaya Jawa Tengah, orang
berbudaya Sumatra Utara seperti ibu saya dipandang “buruk”.
Apakah orang Sumatra buruk dan orang Jawa baik?
Tidak fair kalau menilai seseorang
dari sudut pandang budaya kita. Kita haruslah mengenakan sepatu mereka agar
mendapat pemahaman menyeluruh.
Baik dan buruk tidak pernah jelas tolok ukurnya.
Kebanyakan kita dengan mudahnya menyatakan tidak suka perilaku buruk seseorang,
dan lebih memilih kebaikan di atas segalanya, tetapi ketika ditanya apa tolok
ukur dari masing-masing karakter tersebut kebanyakan kita juga bingung. Sebab,
yang buruk bagi suatu budaya, belum tentu buruk bagi budaya lainnya.
Dosen filsafat saya semasa saya kuliah di Jurusan
Pendidikan Sejarah IKIP Negeri (sekarang Universitas Negeri) Jakarta tahun 1986
pernah melontarkan pertanyaan kepada para mahasiswa yang mengikuti matakuliah
yang diajarnya, “Ada nggak budaya
yang negatif?”
Serempak semua berseru, “Ada!” Beberapa di antara
mereka mencoba mengingatkan dosen tentang perilaku orang Barat yang berciuman
di depan umum atau berjalan-jalan dengan bertelanjang dada, yang bagi mereka merupakan
budaya yang negatif. “Oh begitu ya?” kata sang dosen dengan santai. “Coba
saudara tanyakan pada orang Barat itu apakah budaya mereka negatif!”
Kontan para peserta matakuliah tersebut terbelalak.
Terlebih-lebih setelah dosen menyatakan bahwa tidak ada budaya yang negatif
atau buruk. Yang ada adalah budaya yang relatif!
Lantas, apa dong
tolok ukur baik dan buruk? Yang menyimpang dari kebiasaan suatu budaya disebut
“buruk”, sedangkan yang sesuai (compliant)
disebut “baik”. Yang sesuai bagi suatu budaya belum tentu sesuai bagi budaya
lainnya. Karena itu, tidak patut menilai sesuatu sebagai baik atau buruk
sebelum mengenal seseorang dan budaya dari mana ia berasal.
Orang Jawa yang menganggap dirinya beradab akan
memandang suku pegunungan Papua yang kaum wanitanya tidak mengenakan penutup
dada serta kaum prianya memakai penutup ala kadarnya di bagian pribadinya
sebagai tidak beradab. Mungkin sebaliknya orang Papua akan menganggap orang
Jawa terlalu lamban, yang tidak baik bagi kemakmuran, serta kurang tegas
sehingga bisa dijajah selama tiga setengah abad.
Memperdebatkan tolok ukur baik-buruk tidak akan pernah ada habisnya, karena setiap orang punya nilai-nilai pribadi yang dipengaruhi budaya masyarakatnya yang tidak selalu sama. Yang bisa kita harapkan adalah agar orang yang berasal dari budaya yang berbeda dari budaya kita bisa menyesuaikan diri ketika ia memasuki lingkungan budaya kita. Dan, sebaliknya, diharapkan kita pun demikian ketika berada di lingkungan budaya yang lain, paling tidak menghargai dan tidak mengecamnya. Seperti kata peribahasa, di mana bumi dipijak di situ langit dijunjung.
Kepada para siswa sekolah menengah atas Indonesia yang akan diberangkatkan ke Jepang dengan sponsor dari Yayasan Antarbudaya pada tahun 2010, seorang pakar kajian antar budaya mengatakan, “Kalau Anda disuguhi makanan yang mengandung babi, jangan kuliahi tuan rumah tentang ajaran Islam yang mengharamkan daging babi. Anda akan ditertawakan, karena agama tidak dianggap penting oleh orang Jepang. Bersikaplah arif dengan bilang, ‘Maaf, saya tidak makan daging babi karena saya tidak menyukainya’. Cara itu akan membuat Anda lebih dihargai.”
Jadi, di sisi
mana Anda berdiri—baik atau buruk?©2012
Lantai 7 Apartemen Citylofts Sudirman,
Karet Tengsin, Jakarta Pusat, 3 April 2012