“Kebahagiaan merupakan sikap. Kita sendiri yang membuat diri kita menderita, atau bahagia dan kuat. Upayanya sama saja.”
~Francesca Reigler
SAYA pernah bekerja di sebuah biro iklan yang berlokasi di kawasan Mampang Prapatan, Jakarta Selatan, pada tahun 2005. Terlepas dari profesi saya di bidang kreatif, yang konon merupakan sarangnya insan-insan unik—jika tidak bisa dikatakan aneh, saya dibilang sangat unik. Pendapat saya selalu berseberangan dari kebanyakan orang dan teguh pada pendirian saya jika sesuatu saya anggap kebenaran mutlak, meski seluruh dunia menentangnya.
Suatu kali, bos saya mendesak seluruh karyawan yang beragama Islam untuk mempergiat ibadah syari’at selama berada di kantor. Perusahaan dimana saya bernaung berturut-turut mengalami kebuntungan, yang memuncak pada kekalahan dalam tender sebuah bank nasional, dan bos, yang seorang haji, menganggap hal ini disebabkan oleh kurang rajinnya saya dan rekan-rekan lainnya beribadah. Kebetulan pada saat itu juga sedang bulan puasa Ramadan, sehingga bos tak henti-hentinya menganjurkan para karyawan agar meluangkan waktu untuk membaca Al Qur’an atau melakukan aktivitas ibadah ritual lainnya.
Semua karyawan mematuhi perkataan bos, meski sebenarnya itu cuma imbauan, bukan perintah, karena beribadah atau menjalani syari’at agama tidak boleh dipaksakan. Hanya saya yang tidak melaksanakannya. Sementara rekan-rekan saya salat berjamaah, saya asyik bermain game di komputer atau mendengarkan musik. Setiap kali diingatkan oleh rekan-rekan saya untuk salat atau berpuasa, dengan ringan saya tertawa, mengacuhkan anjuran itu.
Namun ada sesuatu yang mencengangkan rekan-rekan sekantor saya, yaitu setiap pagi ketika muncul di kantor, menurut mereka, saya selalu tampak cerah dan berseru dengan bersemangat, “Alhamdulillah! Gue dapet rezeki dan hidayah hari ini!”
Didorong oleh penasaran lantaran terus-menerus muncul di kantor setiap hari kerja dengan seruan yang mengisyaratkan diri saya mendapat sesuatu yang positif sehingga saya memuji nama Tuhan, satu rekan saya menyempatkan diri mengunjungi ruang kerja saya untuk membahas apa gerangan yang membuat saya demikian. Bukan hanya sekali dua kali, tetapi berkali-kali. Ia penasaran, mengapa manusia satu ini, yang sempat dihujat rekan-rekan saya lantaran mengabaikan ibadah wajib dari agama yang saya anut, malah mendapat keberuntungan, sedang rekan-rekan saya sebaliknya sering dirundung masalah.
Saya pun membeberkan rahasianya: Sikap positif terhadap apa pun yang ada atau hadir dalam hidup ini. “Percuma lu salat tapi hati lu menyimpan prasangka buruk kepada Allah!” kata saya dengan nada rada serius (saya dikenal di antara teman-teman saya sebagai sosok yang jauh dari serius, hingga seorang rekan saya pernah mengatakan bahwa pembahasan tentang Tuhan dengan diri saya membuat Sang Pencipta dipersepsi punya sense of humor yang tinggi, berbeda dengan yang digambarkan dalam kitab-kitab suci).
Dari saya, yang dibilang rekan-rekan saya terlihat sering tersenyum ini, meski keadaan sedang tidak menyenangkan, ia belajar tentang betapa sehat dan menguntungkannya menerapkan sikap mental yang positif terhadap segala sesuatu yang berlangsung dalam hidup ini. “Orang cenderung kembali ke sajadah ketika keadaan sedang tidak membahagiakan bagi dirinya. Kebahagiaan itu cuma pola pikir—a state of mind. Dalam pikiran pula bersemayam prasangka—seolah Tuhan sedang mengabaikan kita ketika kita didera cobaan,” kata saya, yang kontan menumbuhkan motivasi rekan saya untuk terus maju walau berbagai hambatan menghadang.
Inti dari kemampuan untuk bersikap positif adalah meredakan prasangka terhadap hidup, orang lain maupun Tuhan. Jangan serta-merta menimpakan penderitaan diri Anda pada hidup, orang lain atau Tuhan. Tuhan tidak pernah menyiksa hambaNya, melainkan manusia menganiayai dirinya sendiri, demikian diungkapkan di kitab suci. Kegagalan sesungguhnya merupakan cara alami Hidup untuk mengajarkan kita lebih banyak pengetahuan tentang diriNya. Dengan banyak pengetahuan itu wawasan kita bertambah luas.
Kegagalan merupakan energi pendorong kita untuk berusaha lebih baik, tidak mengulang kesalahan yang sama, dan lebih keras. Upaya-upaya yang kita tempuh dalam usaha tersebut akan memperkenalkan kita pada siapa sejatinya diri kita, dan apa yang mampu dilakukan oleh diri ini. Biasanya, dalam tahap itulah seorang manusia menyadari eksistensi suatu kekuasaan yang lebih besar daripada dirinya, yang tak henti-hentinya membantunya.
Salat demi mendapat keberuntungan, sebagaimana anggapan bos saya di atas, adalah seperti memerintah Tuhan untuk berbuat sesuai kehendak kita. Sejatinya salat adalah menghamba (merendahkan hati) dengan dibarengi sikap mental yang positif, yang pada gilirannya merupakan keluaran (outcome) dari sikap penyerahan diri yang sabar, tawakal dan ikhlas. Bebas prasangka dan bebas kehendak pribadi yang inginnya, kalau bisa, berseberangan dengan kehendak Tuhan. Sembahyang bukan sesuatu yang buruk atau negatif; ia sebaliknya merupakan kendaraan untuk mendekat kepadaNya—sesuai makna dari kata-kata derivasinya “sembah” dan “hyang” (Tuhan), selama sembahyang tidak dilekatkan dengan prasangka buruk kepada Tuhan.
Menyejajarkan kehendak kita dengan kehendak Tuhan (wihdatul iradah) memudahkan kita untuk dapat menumbuhkan sikap positif itu, walau dalam praktiknya sungguh susah menerapkan wihdatul iradah. Kesusahan itu utamanya disebabkan oleh ketidaksediaan kita untuk mempercayakan segala urusan kita kepada Tuhan, mengizinkanNya untuk membimbing dan menuntun kita melalui jalan-jalan yang seringnya tidak sesuai harapan kita. Itulah gunanya kita tidak kelewat memberdayakan akal pikir kita jika berurusan dengan bimbingan dan tuntunanNya; hanya menyerah saja!
Masalahnya, lantaran kurangnya pengetahuan, banyak orang menganggap berserah diri merupakan sikap pasif yang meniadakan upaya dalam bentuk apa pun, yang berakibat pada perilaku yang fatalistik (menyerah pada nasib). Padahal, berserah diri merupakan sikap fisik dan mental yang sangat proaktif untuk berusaha semaksimal mungkin tetapi pada saat yang sama mewakilkan (yang membentuk kata “tawakal” dalam bahasa aslinya) keluarannya kepada Sang Pencipta.
Orang yang selalu bersikap positif menandai dirinya dengan senyuman yang
senantiasa menghias wajahnya. Dr. Aidh al-Qarni dalam bukunya, Ibtasim--Tersenyumlah (Jakarta: Al Qalam, 2007),
menulis bahwa hidup harus dihadapi dengan senyuman, betapa pun beratnya masalah
yang dihadapi, karena dengan senyum, otak menjadi cerdas, masalah-masalah yang
berat bisa diperingan dan masalah yang rumit bisa diurai. Mengacu pada
penjelasan ini, barangkali alat ukur yang tepat untuk menetapkan apakah Anda
sudah bersikap positif atau belum adalah sebuah cermin, di mana Anda bisa
menyaksikan diri sendiri mengurai senyum sebagai tanda sikap positif.©2011
Perak Barat,
Krembangan, Surabaya Utara, 29 Agustus 2011