Pantai Tablanusu di Distrik Depapre, Kabupaten Jayapura, Papua. (Foto oleh Toni Sri) |
“SEMUA tempat di Indonesia sudah saya kunjungi, tapi tidak ada yang setenteram dan senyaman di sini,” kata Andrea Thumshirn, Sales Representative AsiaAT (perwakilan promosi pariwisata Asia yang berbasis di Jerman), ke saya.
Perempuan asal Jerman yang mempromosikan pariwisata Indonesia di pasar Eropa itu merujuk pada kehidupan di kampung-kampung pantai di Kabupaten Jayapura, Papua. Saat itu, 25 Juni 2009, dia, saya, dan Undine Bischoff, seorang travelwriter yang juga berkebangsaan Jerman, tengah berada di kampung nelayan Sinokisi yang hanya terdiri dari lima rumah. Kami berada di Kabupaten Jayapura atas undangan bupatinya, Habel Melkias Suwae, untuk menghadiri Festival Danau Sentani ke-2, 19-23 Juni 2009, serta melongok potensi-potensi pariwisata Jayapura.
Sinokisi, seperti kampung-kampung tetangganya—Toikisi,
Bukisi dan Entiyebo—memiliki halaman depan yang menawan: segaris pantai yang
senantiasa berjodoh dengan debur ombak Samudra Pasifik yang airnya biru, kadang
toska, memikat mata.
![]() |
Pantai Sinokisi, Distrik Yokari, Kabupaten Jayapura, Papua. (Foto oleh Toni Sri) |
Kecuali Entiyebo yang berada di wilayah Distrik Depapre, dan merupakan kampung wisata dari mana Habel Suwae berasal, Toikisi, Sinokisi dan Bukisi termasuk Distrik Yokari. Namun baik Depapre maupun Yokari berada di daerah yang dipimpin bupati yang dikenal gemar menghabiskan akhir pekannya di kampung kelahirannya dengan memancing itu.
Sebelum mencapai Yokari, Anda harus ke Depapre terlebih dahulu. Tersedia angkutan umum ke wilayah yang namanya mengemuka di lembaran sejarah Perang Pasifik karena menjadi lokasi pendaratan pasukan amfibi Sekutu pada April 1944 itu, juga kendaraan roda empat yang disediakan oleh hotel-hotel di kota Sentani, +45 kilometer sebelah tenggara Depapre. Saya sendiri berangkat ke Tablanusu naik mobil bersama Mian Simanjuntak, General Manager Hotel Sentani Indah merangkap konsultan pariwisata bagi pemerintah daerah Kabupaten Jayapura. Hotel Sentani Indah, yang hanya berjarak lima belas menit dari bandar udara Sentani, merupakan satu-satunya hotel berbintang tiga di kabupaten yang menaungi sembilan belas distrik itu. Sebuah hotel berbintang empat berada di Kota Jayapura, +30 kilometer sebelah timur Sentani.
Semua orang yang saya tanyai di Jakarta menjawab kalau Jayapura adalah ibukota provinsi Irian Jaya. Kesimpulan saya, tidak ada yang tahu Jayapura juga nama kabupaten. Kota Jayapura itu kotamadya yang terletak di pinggir Teluk Yos Sudarso (dulunya bernama Teluk Humboldt), +30 kilometer sebelah timur kota Sentani, sedangkan Kabupaten Jayapura adalah wilayah seluas +17.500 kilometer persegi yang dipunggungi Kotamadya Jayapura. Banyak orang dari luar Papua yang keliru mengenai hal ini; mereka yang mendarat di Bandara Sentani mengira mereka telah tiba di Kota Jayapura, padahal mereka masih harus berkendara 45 menit lamanya, melewati kota Sentani dan Abepura untuk sampai di kota itu.
Kampung Wisata
Eksklusif
KAMPUNG-kampung di sepanjang pesisir Kabupaten Jayapura umumnya berteraskan pantai landai yang berpasir putih nan bersih, memberi kesan pada turis yang baru pertama kali melihatnya, seperti saya, Andrea dan Undine, bagai pantai-pantai yang digambarkan di kartu pos: eksotis dan murni. Hanya Entiyebo yang pantainya tidak berpasir, melainkan berbatu dan berkarang, namun tetap fotogenik untuk dipasang pada kartu pos.
Kampung Entiyebo, atau terkenal dengan nama “Tablanusu” menurut penamaan
setempat, kini sedang dikembangkan menjadi kampung wisata. Untuk itu, sebuah
jalan beraspal tengah dibangun, menerobos hutan yang menyimpan banyak kenangan
Perang Dunia Kedua, antara lain berupa tangki-tangki penyimpan bahan bakar yang
dibangun Sekutu.
![]() |
Pantai Tablanusu tidak berpasir tapi berkerikil. (Foto oleh Toni Sri) |
Di belakang kampung terletak telaga yang dihuni banyak ikan, airnya jernih
dan tersambung ke laut lewat kali bening yang membelah kampung. Perahu-perahu
milik penduduk setempat banyak yang parkir di sepanjang kali, termasuk speedboat Pak Bupati yang acap
dipakainya untuk menyalurkan hobi memancingnya. Yang mengherankan, walaupun
terhubung dengan laut air telaga tetap tawar, tidak asin, dan menjadi sumber
air minum warga kampung.
![]() |
Pantai Tablanusu di mana air tawar sungai bertemu dengan air asin laut. (Foto oleh Toni Sri) |
Sebelumnya, siapa pun yang ingin ke Tablanusu harus menumpang perahu
bermotor dari dermaga nelayan di Depapre. Pemilik perahu akan “menodong” Anda
Rp500.000 jika Anda tidak sabar dan berniat mencarter untuk Anda sendiri. Tanpa
Anda carter, perahu baru akan meninggalkan dermaga apabila sudah dipenuhi
penumpang dan barang. Syukurlah, Habel Suwae, yang menyadari bahwa daerah yang
dipimpinnya dapat berkembang pesat melalui pariwisata, memerintahkan
pembangunan jalan darat ke Tablanusu.
Di Tablanusu kini juga sudah ada enam bungalow dan akan dikembangkan menjadi 25 hingga tahun 2011. Sebuah bangunan yang diperuntukkan bagi restoran juga sudah berdiri, di samping sejumlah homai (gazebo) untuk turis berteduh, walaupun pantainya sendiri sudah dirindangi pepohonan kelapa. Pengembang kampung wisata, yaitu pemerintah daerah, bermaksud menjadikan Tablanusu tujuan wisata yang eksklusif, agar terpelihara eksotika dan kemurniannya.
Tablanusu dilihat dari jalan di atas bukit. Jalan beraspal ini dibangun semasa pemerintahan Bupati Jayapura 2001-2011, Habel Melkias Suwae. (Foto oleh Toni Sri) |
Karena itu, terlepas dari bungalow-bungalow yang tidak berpendingin udara, karena wisatawan mancanegara (wisman) dari Eropa umumnya menyukai udara laut, fasilitas yang tersedia cenderung menghalangi wisatawan domestik (wisdom) untuk datang. Pengembang berasumsi, wisdomlah yang suka merusak lingkungan dengan membuang sampah sembarangan. Pendapat ini memang boleh ditentang, tetapi, seperti kata Andrea, yang didaulat jadi penasihat dadakan bidang pariwisata bagi Pak Bupati, wisman memang menyukai keaslian dan kebersihan.
Sejumlah perahu bermotor akan dipersiapkan pemerintah daerah di Tablanusu untuk mengangkut wisatawan yang mau snorkeling di seputaran pulau-pulau karang mungil yang tercecer di sepanjang lepas pantai-pantai di Jayapura. Air lautnya sangat jernih, memamerkan terumbu karangnya yang masih terpelihara, dan mengundang untuk diselami.
Perahu-perahu bermotor itu juga bisa membawa Anda ke kampung-kampung
Toikisi, Sinokisi dan Bukisi. “Kisi” dalam bahasa setempat berarti “pasir”, dan
ketiga kampung tersebut memang memiliki pantai berpasir putih yang nyaris
mulus. Berada di ketiga kampung tersebut membuat saya, Andrea dan Undine merasa
seolah berada di sebuah pulau terpencil di tengah Lautan Teduh.
Pantai Toikisi tidak berpenghuni sehingga kami menyinggahinya. Pantai ini terletak di Distrik Yokari, Kabupaten Papua, Papua. (Foto oleh Toni Sri) |
Toikisi dan Bukisi akan dikembangkan pula menjadi tujuan wisata, namun atas saran Andrea, pemerintah daerah Kabupaten Jayapura memutuskan untuk membiarkan kedua kampung itu apa adanya.
Daya Tarik Ganda
MENDARAT di pantai di muka Kampung Bukisi, saya, Andrea dan Undine serta
Pak Bupati dan jajarannya disambut penduduk setempat di bibir pantai. Ke
hadapan kami dihidangkan buah kelapa muda yang langsung dipetik dari pohonnya.
Seingat saya, saya belum pernah bertamu ke rumah orang di mana saya
dipersilakan duduk di “ruang tamu” beratap pepohonan kelapa yang rindang, yang
hanya beberapa meter dari pemandangan pantai yang bibirnya senantiasa disapu
buih putih dari laut nan biru, dan minum air kelapa langsung dari buahnya. Ini
pengalaman yang selalu membekas di hati saya.
Pantai Bukisi, Distrik Yokari, Kabupaten Jayapura, Papua. (Foto oleh Toni Sri) |
Bukisi, yang berarti “air di sebelah pasir”, merupakan kampung nelayan yang terbagi menjadi tiga bagian, masing-masing dikepalai oleh seorang ondoafi (ketua adat). Air yang dimaksud berwujud sungai panjang yang mengalir dari Pegunungan Cyclops yang membentang di sepanjang pantai utara Jayapura. Perjalanan dengan perahu bermotor untuk mencapai hulu sungai konon memakan waktu tiga jam. Bisa dibayangkan berapa panjang sungai tersebut. Keindahan panorama Samudra Pasifik yang terhampar di muka kampung serta sungai panjang tersebut membuat Kampung Bukisi memiliki daya tarik ganda bagi wisatawan yang mengunjunginya.
![]() |
Saya di perahu yang menyusuri sungai berair jernih di belakang Kampung Bukisi di Distrik Yokari, Kabupaten Jayapura, Papua. (Foto oleh Toni Sri) |
Sungai tersebut amat jernih airnya, mengundang saya dan kedua bule Jerman yang seperahu dengan saya saat menyusuri sungai tersebut ingin menceburkan diri ke dalamnya. Airnya juga lumayan dingin, khas air pegunungan. Jangankan kami yang berasal dari luar Papua dan terpesona dengan lanskap Bukisi, penduduk setempat saja rupanya juga menikmati keindahan yang mewarnai lingkungan tempat tinggal mereka.
Anak-anak setempat suka menyelami muara sungai tersebut untuk mencari ikan—yang luar biasa berlimpah di sana, sementara orang dewasa sekadar mendayung ifa (perahu khusus pria yang dibuat dari satu batang pohon utuh, dengan atau tanpa cadik) atau kaji (perahu yang lebih besar dan lebar, biasanya dipakai kaum wanita untuk menangkap ikan atau panen sagu di tepi sungai, atau melewatkan waktu bersama anak-anak menikmati pemandangan sungai).
Sungai itu bermuara ke laut, dan Bukisi merupakan titik di mana air tawar sungai bertemu dengan asinnya air laut. Sungai dan hutan yang mengapitnya tersebut merupakan sumber penghidupan bagi penduduk Bukisi, karena sungainya direnangi banyak ikan, sementara hutannya ditumbuhi banyak pohon sagu dan aneka sayuran. Pohon sagu menghasilkan tepung yang merupakan bahan dasar Papeda, makanan pokok orang Papua, juga dihuni ulat sagu yang menjadi teman makan Papeda di samping ikan kuah kuning dan oseng-oseng daun dan bunga pepaya yang dipercaya dapat menyembuhkan malaria itu.
Keberlimpahan hasil alam di lingkungan tempat tinggal penduduk mungkin yang menyebabkan suasana kampung-kampung nelayan di pesisir Jayapura itu tenteram dan nyaman, sebagaimana dirasakan Andrea.
![]() |
Suasana Kampung Bukisi. Batu-batu yang disusun membentuk lingkaran itu merupakan "meja ada" atau Orudia, tempat pertemuan para tetua Kampung Bukisi. |
Sedikit di lepas pantai Bukisi ada keajaiban alam lainnya. Di satu titik di bawah air laut yang sangat jernih, di kedalaman sekitar satu meter ada liang mata air. Kepada Anda akan diperlihatkan oleh nelayan Bukisi bahwa dengan memukul-mukul dasar perahu dengan dayung akan membuat gelembung-gelembung air keluar dari liang. Gelembung-gelembung itu lalu ditangkup dengan kedua tangan dan bila diminum akan berasa air mineral yang segar seperti yang dipancarkan oleh mata air di pegunungan!
Pulau
Berpindah-Pindah
KETIKA saya duduk beristirahat di pantai Sinokisi sambil menikmati air kelapa dari buahnya yang terasa manis secara alami, sebuah pulau karang kecil di lepas pantai menarik perhatian saya. Siluetnya menyerupai kapal perang. Warga setempat menjelaskan ke saya bahwa semasa Perang Dunia Kedua, angkatan laut Belanda yang sedang patroli di kawasan itu mengiranya kapal sungguhan, sehingga mereka menembakinya. Konon, pulau itu bergerak ke sana ke mari selama ditembaki. Belanda berhenti menembak setelah sadar bahwa sasaran mereka ternyata hanya pulau karang.
![]() |
Pemandangan laut dilihat dari arah Pantai Sinokisi. |
Warga setempat maupun dari Tablanusu, yang ikut ke Sinokisi mengikuti rombongan Bupati, bercerita dengan semangat mengenai kesaksian mereka bahwa ketika masih kecil mereka melihat pulau karang itu berpindah-pindah posisinya seperti kapal. Cerita itu mungkin sulit dipercaya, namun di situlah daya tarik pariwisata Papua. Daerah-daerah wisata lain di Kabupaten Jayapura hampir selalu menyajikan kisah-kisah yang unbelievable, mewakili kisah bersejarah dari suatu masyarakat yang tidak mengenal budaya tulisan itu. Sejarah budaya Papua sebagian besar tersampaikan lewat mitologi dan legenda, karena masyarakatnya mengalami kendala dalam menerjemahkan bahasa asli mereka yang kaya nuansa ke dalam Bahasa Indonesia yang sederhana.
Di sebelah timur Tablanusu, masih ada pantai-pantai kecil berparas menawan lainnya. Seperti Amai, yang diincar wisman menjelang senja, karena mereka berkesempatan melihat terbenamnya matahari di pantai itu. Juga ada pantai Harlem, kira-kira sepuluh menit dari dermaga Depapre dengan berperahu motor. Harlem tak berpenghuni, namun nyaman karena menyajikan keindahan yang bakal membekas dalam kenangan Anda lewat pemandangan bawah lautnya yang bisa Anda nikmati tanpa harus menyelam ke dalamnya.
Menjelajahi pantai-pantai di Jayapura dengan perahu bermotor bisa memakan waktu seharian bahkan berhari-hari, apalagi bila ditambah dengan mengalami langsung hidup bersama penduduk setempat seperti yang kerap dilakukan oleh para wisman yang pernah datang ke sana. Kehidupan kampung yang asri, tenang dan tentram membuat siapa pun betah.
Andrea bilang ke saya, saat kami telah berada di atas perahu dan
melambaikan tangan ke arah penduduk Kampung Sinokisi yang kami tinggalkan,
“Kalau ada akses internet di tempat ini, saya mau tinggal di sini selamanya.”
Ia mengkhawatirkan pekerjaannya, seperti halnya saya. Tetapi baik saya, Andrea
maupun Undine menyimpan kekhawatiran mendalam terhadap kelestarian eksotika dan
kemurnian pantai-pantai di Jayapura. Apabila tidak dipelihara, nanti kita hanya
bisa menikmati keindahannya sebatas di kartu pos saja.©2009
Pondok Jaya VII,
Mampang Prapatan, Jakarta Selatan, 13 Juli 2009