"...Nilai seorang manusia bergantung pada apa yang dia berikan, bukan atas apa yang dia terima..."
--Albert Einstein
PEKERJAAN apa yang paling berat di dunia? Bahkan pekerjaan sebagai kuli bongkar-muat di pelabuhan tidak juga bisa mengalahkan beratnya pekerjaan ini. Kalau menurut kapasitas Anda, pekerjaan Andalah yang paling berat, saya yakin bebannya masih kalah dari beban pekerjaan yang saya maksud.
Menurut pengalaman kawan saya baru-baru ini, pekerjaan yang paling berat di dunia ternyata adalah memberi-dan-memberi kebermanfaatan kita bagi orang lain apabila kita tidak terbiasa, dan selalu mengharapkan balasan untuk setiap pengerahan sebagian dari dari apa yang kita miliki. Bukan memberinya itu sendiri yang berat, melainkan upaya menumbuhkan sikap mental dalam diri kita untuk senantiasa merasa tulus dan ikhlas dalam memberi sebagian dari kelebihan kita--tanpa harus menguntungkan diri kita, apakah itu harta, ilmu, waktu atau pun tenaga, bagi orang lain yang kekurangan.
Pekerjaan ini berat tetapi pekerja sebaiknya tidak mengharapkan upah. Jika si pekerjanya berpamrih, berharap mendapat balasan yang sepadan di kemudian hari, ia akan merasa ringan ketika melakukan pekerjaan itu tetapi keberatan belakangan, karena biasanya imbalannya tidak sesuai harapannya. Kebanyakan orang, paling tidak, mengharapkan pujian atas tindakannya memberi kepada orang lain, sehingga cenderung menampakkan hal itu. Jika hal itu tidak terpenuhi, biasanya mereka kapok memberi di kemudian hari.
Yang akan saya ceritakan berikut ini adalah pengalaman Yudha (bukan nama sebenarnya), salah seorang kawan, mitra kerja dan saudara Subud saya, persis seperti yang ia tuturkan ke saya, sekadar untuk menggambarkan betapa beratnya pekerjaan memberi-dan-memberi itu--dalam kapasitas Yudha, tentu saja.
Sekitar satu setengah jam setelah Yudha tiba di rumah dari Latihan Kejiwaan di S. Widjojo Centre pada 19 Februari 2008, ia mendapat kunjungan dari seorang kawan satu sekolah waktu SMP dan SMA, yang bernama Latief (juga bukan nama sebenarnya). Sudah lama sekali Yudha tidak bersua dengannya, sehingga Yudha sempat pangling, siapakah gerangan dia. Yudha juga bertanya-tanya dalam hati, kenapa pula Latief mengunjunginya, mengingat bahwa semasa SMP dan SMA dahulu Yudha tidak akrab dengan dia; Latief tergolong murid pintar se-SMP Negeri xxx Jakarta Selatan, sedangkan Yudha selalu masuk ranking terakhir di kelas. Semasa SMP, Latief digandrungi cewek, sementara Yudha melulu disandungi masalah cewek. Pendek kata, Yudha tidak termasuk dalam lingkaran pergaulan Latief.
Setelah saling tanya kabar, bercerita tentang perjalanan hidup masing-masing selepas pendidikan menengah, Latief menyampaikan maksud dan tujuannya datang ke rumah Yudha. Ternyata seperti yang Yudha duga sebelumnya--perbedaan dunia pergaulan mereka semasa sekolah seperti yang saya ceritakan di atas membuat Yudha sudah syak sejak Latief datang ke rumahnya malam itu; pasti masalah keuangan. Latief kehabisan uang untuk pulang ke Tasikmalaya buat mengunjungi anak-istrinya, yang telah ditinggalkannya selama hampir empat bulan untuk mencari nafkah di Bogor. Usaha beternak ayam potong di kawasan Megamendung yang dirintisnya bersama seorang mitra jatuh pailit setelah sang mitra kabur, meninggalkan utang ke bank sebesar Rp 120 juta, yang mengakibatkan penyitaan atas aset-aset peternakan itu.
Kisah yang dituturkan Latief terdengar klise bagi Yudha, tetapi, bagaimanapun, dari sinilah dimulai pekerjaan yang paling berat di dunia itu. Apa pun alasannya, Yudha harus memberi Latief. Jangankan uang, memberi nasihat saja bagi Yudha terasa berat, karena dengan memberi nasihat ia akan memikul beban moral untuk melakoni apa yang ia nasihatkan ke orang lain. Contohnya, adalah konyol bila dia menasihati orang agar tidak merokok, sementara dia sendiri menghabiskan sebungkus rokok dalam sehari--makanya, Yudha menolak untuk mengerjakan kampanye iklan layanan masyarakat anti-rokok, karena akan terkesan munafik.
Latief minta uang untuk ongkos pulang ke kampung halaman istrinya, seberapa pun sanggupnya Yudha. Si Setan Beban memberati diri Yudha, betapa pun ia berusaha melawannya. Yudha duduk diam, agak lemas, di kursi di ruang tamu rumahnya di mana ia menemui Latief. Yudha sebal dengan dirinya sendiri, kok susah banget bersikap spontan dalam memberi respons segera untuk menyisihkan sebagian hartanya buat orang yang membutuhkannya.
Di tengah-tengah Yudha menceritakan pengalamannya itu, ingatan saya melayang ke saat ketika saya bertemu Pak Wito, seorang anggota Subud Yogya, yang saya kunjungi bersama saudara-saudara Subud dari Jakarta seminggu setelah gempa bumi melanda Yogya pada Mei 2006. Rumah beliau rata dengan tanah dan beliau sendiri luka-luka, tetapi beliau menyambut musibah itu dengan suka cita, berterima kasih kepada Tuhan atas nikmat yang diberikanNya. Meski kedukaan baru saja menimpa beliau, tetapi beliau malah "menyedekahkan" kesukacitaan kepada saudara-saudara Subud yang datang berkunjung dengan keprihatinan mendalam tergambar pada wajah masing-masing. Membagi kegembiraan juga merupakan perwujudan dari sikap memberi-dan-memberi. Hebatnya, dalam kasus Pak Wito: yang melipur lara orang yang merasa berduka atas nasib korban adalah korban sendiri, bukan sebaliknya!
Setiap kali saya menjadi saksi langsung atas pancaran kebaikan semacam itu muncul pertanyaan-pertanyaan berikut di benak saya: Kok bisa ya orang sedemikian ikhlas melayani sesamanya? Kok tampak (dan terasa) tidak terbebani sama sekali? Apa kiatnya?
Permenungan kilat yang saya lakukan sambil mendengarkan kisah Yudha diakhiri oleh gaung pernyataan Kazuo Murakami, Ph.D. perihal sikap memberi-dan-memberi, di kepala saya. Dalam bukunya, The Divine Message of the DNA -- Tuhan Dalam Gen Kita ( Bandung : Mizan, 2007), hlm. 99-100, Murakami menulis:
"[S]aya telah membuktikan bahwa memberi-dan-memberi ternyata lebih tepat. Jika Anda ingin menyalakan gen Anda, sikap memberi-dan-memberi jauh lebih efektif. Memberi-dan-memberi berarti bahwa ketika saya memberikan sesuatu, saya akan mendapatkan sesuatu sebagai balasannya. Tetapi jika Anda memikirkannya, kebanyakan 'balasan' adalah hal-hal yang tidak perlu dibesar-besarkan; biasanya mereka hanyalah hasil alami, seperti mendapatkan tiket kereta ketika Anda memasukkan uang ke dalam mesin penjualan tiket. Kita menerima balasan yang terbesar dari Sang Pencipta. Sebaiknya, kita menghadapi kehidupan dengan sikap 'memberi-dan-memberi'."
Secara fisik, Yudha tidak termasuk kelas berat seperti halnya saya, tetapi toh dia susah bangun dari kursi yang didudukinya. Yang membuatnya susah bangun bukanlah berat badannya, melainkan sulitnya bersikap ikhlas "memberi-dan-memberi". Makanya, Yudha memohon kepada Tuhan agar diberi kekuatan melawan si Setan Beban. Suara dirinya berbisik, "Ingat kata-kata orang bijak, 'Hadiah terindah dari Allah bagi orang yang beriman adalah pengemis yang berdiri di depan pintu rumahnya'." Saat itulah, Yudha mampu bangkit dari kursi dan meninggalkan Latief sejenak di ruang tamu untuk mengambil uang di dompet yang ditaruh Yudha di kamarnya. Begitu dompet ia buka, menyembul selembar uang kertas Rp 50 ribu--dan itu satu-satunya uang yang tersisa di dompet Yudha. Si Setan Beban muncul kembali, menjadikan memberi-dan-memberi lagi-lagi merupakan pekerjaan paling berat di dunia. Untuk melawan si Setan Beban, Yudha buru-buru membawa uang itu ke Latief. "Setelah dia menerimanya, lepaslah beban itu, apalagi setelah dia mohon diri," kisah Yudha dengan bersemangat kepada saya.
Sepeninggal kawannya itu, Yudha melakukan permenungan lagi di kamarnya. Kejadian Selasa malam itu merupakan ujian sesungguhnya bagi penyerahan dirinya yang merupakan prasyarat dalam Latihan Kejiwaan Subud; bahwa berserah diri dengan sabar, ikhlas dan tawakal bukan semata niat dalam hati. Kisah yang diceritakan Yudha itu memberi saya pelajaran, bahwa secuil keikhlasan saja bisa meringankan pekerjaan paling berat di dunia.©
Jakarta, 26 November 2008