Tuesday, June 21, 2016

Menapaktilasi Perjalanan Pak Subuh Dari Stasiun ke Stasiun

TANGGAL 22 Juni setiap tahun, para anggota Perkumpulan Persaudaraan Kejiwaan Susila Budhi Dharma (PPK SUBUD) memperingati hari lahirnya Bapak Muhammad Subuh Sumohadiwidjojo. Lahir di Desa Kedungjati, Kecamatan Kedungjati, Karesidenan Semarang (sekarang masuk Kabupaten Grobogan), Jawa Tengah, pada 22 Juni 1901 dan meninggal di Jakarta pada 23 Juni 1987, Pak Subuh merupakan penerima pertama dari Latihan Kejiwaan, pada tahun 1925, dan pendiri perkumpulan SUBUD di Jogjakarta, 1 Februari 1947.

Sebagai pehobi kereta api (railfan) yang juga anggota SUBUD, saya lebih tertarik untuk memperingati hari lahir Pak Subuh dengan menapaktilasi perjalanan beliau “dari stasiun ke stasiun”. Ya, di samping menyebarluaskan Latihan Kejiwaan ke lebih dari 75 negara di dunia sejak tahun 1957, Pak Subuh sebenarnya lekat dengan sejarah perkeretaapian Indonesia, karena beliau sempat berkarir cukup lama di badan usaha kereta api (KA) swasta Hindia Belanda, Nederlandsch Indische Spoorweg Maatschappij (NIS).

Foto tahun 1930 dari gedung "Lawang Sewu" di Kota Semarang
yang merupakan kantor pusat NIS. (KITLV)
Berkantor pusat di Kota Semarang, menempati bangunan yang kini dikenal sebagai “Lawang Sewu”, NIS memainkan peran signifikan dalam sejarah perkeretaapian Indonesia, karena perusahaan itulah yang pertama kali membangun jaringan KA di Nusantara. Dimulai dari pembukaan jalur antara Stasiun Kemijen (KMJ, +1,8 mdpl) di Semarang dan Stasiun Tanggung (TGG, +20 mdpl) di Grobogan sepanjang 25 kilometer pada tanggal 10 Agustus 1867, NIS memicu revolusi transportasi berbasis rel di Hindia Belanda. Jalur itu kemudian diperpanjang hingga tiga kota di Jawa Tengah—Semarang, Solo, dan Jogjakarta—melalui Kedungjati, sebuah tempat terpencil di pedalaman Jawa Tengah di mana Pak Subuh dilahirkan dan kelak bekerja untuk NIS sebagai pegawai di salah satu stasiun tertua di Indonesia, yaitu Stasiun Kedungjati (diresmikan pada tahun 1873).

Paling tidak ada lima stasiun warisan Hindia Belanda (heritage) disebut-sebut dalam buku Autobiografi RM Muhammad Subuh Sumohadiwidjojo (diterbitkan pertama kali pada 1991), yaitu Stasiun Telawa(h), Stasiun Kalitidu, Stasiun Buyaran, Stasiun Pamotan, dan Stasiun Kedungjati.

Stasiun Telawa(h), Stasiun Kalitidu, dan Stasiun Kedungjati dikelola oleh NIS, sedangkan Stasiun Buyaran dan Stasiun Pamotan pada masanya merupakan halte trem (kereta api jarak dekat) bertenaga uap yang dimiliki oleh Samarang-Joana Stoomtram Maatschappij (SJS), atau Perusahaan Trem Uap Semarang-Juwana yang juga berkantor pusat di Semarang.

Stasiun Telawa(h) (TW, +63 mdpl) berada di jalur KA Brumbung-Gundih, tepatnya di Desa Pilangrejo, Kecamatan Juwangi, Kabupaten Boyolali, Jawa Tengah. Jalur KA Brumbung-Gundih merupakan jalur heritage yang oleh PT Kereta Api Indonesia (Persero) sebisa mungkin dipelihara keasliannya sebagaimana keadaannya pada masa kolonial Hindia Belanda, antara lain dengan tidak mengganti sistem persinyalan mekanik dengan sistem elektrik. Tiga stasiun di jalur ini sudah non-aktif/mati, yaitu Gedangan, Jetis, dan Jambean.

Stasiun Kalitidu tahun 2015. (Wikipedia)
Dalam Autobiografi RM Muhammad Subuh Sumohadiwidjojo, disebutkan bahwa karir beliau di NIS dimulai ketika beliau diterima bekerja di Stasiun Kalitidu, berkat bantuan Pak Reksodiharja, adik dari eyang putri beliau yang menjabat sebagai “sep” (chef) Stasiun NIS Kalitidu. Stasiun Kalitidu (KIT, +24 mdpl) di jalur KA Gambringan-Kandangan masih aktif hingga kini, berlokasi di wilayah Kabupaten Bojonegoro, dan merupakan salah satu stasiun di Lintas Utara Jawa yang dilalui KA-KA relasi Jakarta-Surabaya pp, antara lain Argo Bromo Anggrek dan Jayabaya.

Bangunan bekas Stasiun Buyaran yang berubah fungsi menjadi toko.
Dalam perjalanan pencarian spiritualnya, Pak Subuh dan beberapa teman beliau diceritakan dalam Autobiografi RM Muhammad Subuh Sumohadiwidjojo meninggalkan rumah seorang kyai dan menuju Stasiun Buyaran, naik KA pagi yang datang dari Demak menuju Semarang. Stasiun Buyaran (BYA) yang berlokasi di Desa Pulosari, Kecamatan Karangtengah, Kabupaten Demak, Jawa Tengah dibangun pada tahun 1885 di jalur KA Semarang Tawang-Demak oleh SJS, sebuah perusahaan swasta trem uap yang dahulu mengelola jalur KA sepanjang 417 kilometer di Kabupaten-Kabupaten Demak, Kudus, Pati, Rembang, Jepara, Blora, Grobogan, dan sebagian Tuban. Stasiun Buyaran ditutup Perusahaan Jawatan Kereta Api (PJKA) pada tahun 1986 bersama stasiun-stasiun lainnya di jalur KA Semarang Tawang-Demak. Bangunan bekas Stasiun Buyaran kini menjadi toko.

Peta jalur-jalur Samarang-Joana Stoomtram Maatschappij pada bulan Mei 1902. (KITLV)


Bangunan bekas Stasiun Pamotan yang merana di usia tuanya.
Stasiun Pamotan melekat di kenangan Pak Subuh lantaran di stasiun inilah beliau melihat perempuan yang kelak diperistri beliau turun dari gerbong trem SJS yang ditumpangi Pak Subuh. Ibu Rumindah, istri pertama Pak Subuh memang bertempat tinggal di Pamotan. Dibuka pada tahun 1900, Stasiun Pamotan kini tinggal bangunan tua yang merana, dengan area stasiun digunakan sebagai pangkalan truk. Papan penanda “Aset Milik PT KAI” yang dijumpai di muka bangunan menegaskan bahwa di Desa Pamotan, Kecamatan Pamotan, Kabupaten Rembang, Jawa Tengah pernah ada stasiun kereta api. Stasiun Pamotan ditutup oleh PJKA pada tahun 1989.

Overkapping (atap peron) Stasiun Kedungjati yang desainnya
menyerupai yang terdapat di Stasiun Ambarawa dan Stasiun Purwosari.
Ketika ditugaskan di Stasiun Kedungjati, Pak Subuh boleh dibilang beruntung, lantaran rumah di mana beliau dilahirkan pada 22 Juni 1901 hanya berjarak sekitar 50 meter dari stasiun tersebut. Bahkan lahan kosong di sebelah rumah orang tua Pak Subuh saat ini dipasangi papan penanda “Aset Milik PT KAI”; artinya, Desa Kedungjati merupakan bagian dari kompleks Stasiun Kedungjati. Stasiun Kedungjati (KEJ, +36 mdpl) juga masih aktif saat ini di jalur Joglosemar (Jogja-Solo-Semarang) atau yang dikenal sebagai Lintas Tengah Jawa. KA Bangunkarta, Matarmaja, Majapahit, Kalijaga, dan KA Semen rutin meniti jalur ini dalam perjalanan mereka pergi-pulang Semarang-Solo. Saat ini, bahkan tengah berlangsung proyek konstruksi dalam rangka reaktivasi jalur Tuntang-Kedungjati yang pernah berjaya di era kolonial Hindia-Belanda. ©2016
Saya berselfie ria dengan latar belakang Stasiun Kedungjati yang saya kunjungi pada 7 Februari 2016.




Kalibata Selatan, Jakarta, 22 Juni 2016